Bantuan Bernuansa Politis dan Lemahnya Aturan Pilkada

Bantuan Bernuansa Politis

Modernis.co, Bima – Harapan terselenggaranya demokrasi yang bebas jujur dan adil, tentu tidak sembarang lahir dari orang-orang yang tidak menyatu akal dan hatinya atas kepentingan bersama. Dan tidak pula lahir pada orang yang tugasnya hanya memperkokoh dinasti kekuasaan semata. Ya, harapan itu akan lahir pada orang-orang yang menempatkan demokrasi sebagai penghargaan teringgi terhadap harkat dan martabat kemanusian.

Namun bagaimana jika sistem demokrasi yang telah disepakati bersama tersebut, kemudian dicederai serta dikhianati oleh sekolompok orang yang tidak bertanggung jawab? Dan bagaimana jika  prinsip dinasti kekuasaan, menjadi tuan atas demokrasi kita saat ini?

Jika ingin melihat perwujudan prinsip demokrasi diterapkan, maka lihatlah aktifitaskepemiluan, disitu kita dapat melihat dimana kedaulatan rakyat serta hak dipilih dan hak memilih, mendapatkan keistemewaan, namun disitu juga kita dapat menyaksikan praktik-praktik demokrasi yang tidak berakeadilan, seperti praktek politik uang (money politic), kampanye hitam(black campaign), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)yang kemudian meruntuhkan akidah keagamaan masyarakat dan merusak sendi-sendi demokrasi kita.

Pelaksanaan demokrasi kita akan di uji kualitasnya melalui kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung tahun ini, yang dilaksanakan oleh 261 Kabupaten/Kota dan 9 Provinsi di Indonesia. Namun Pemerintah dan DPR RI telah bersepakat untuk menunda tahapan pilkada–yang seharusnya digelar pada september 2020. Hal ini disebabkan pandemi “virus corona” dan berdasarkan PKPU Nomor 18 tahun 2020,bahwa tahapan pilkada akhirnya dilaksanakan pada Desember mendantang.

Ditengah masa penundaan itu, terjadi beberapa kasus kepemiluan, yang diduga melibatkan Kepala Daerah aktif dan merupakan peserta pilkada, yang diakhir  masa jabatan mereka, getol melakukan aksi-aksi kemanusian yang “mencurigakan”. Misalnya, kasus Bupati Klaten yang diduga memanfaatkan moment, dimasa Covid-19 memberi bantuan kepada masyarakat, dimana pada paket bantuan tersebut, terdapat gambar dirinya. Ini menunjukan adanya indikasi memanfaatkan menyeret bantuan bencana untuk kepentingan politiknya.

Pembagian bantuan yang bernuansa politik juga terjadi di kabupaten Bima NTB. Hj. Indah Damayanti Putri sebagai Bupati kabupaten Bima turut melakukan aksi pembagian bantuan kepada masyarakat yang tidak mampu:masyarakat terdampak Covid-19. Pembagian bantuan tersebut, mendapat sorotan para aktivis dan LSMmaupun masyarakat umum. Karena dicurigai pembagian  bantuan yang dilakukan oleh bupati Bimamemiliki tujuan politis dan diduga melabeli simbol-simbol warna tertentu, yang terlihat mengarah pada politik transaksional.

Tidak hanya itu, pada paket bantuan berupa beras yang telah dibagikan, terdapat stiker berwarna kuning campur putih, yang ada gambar Bupati Bima dan Wakil Bupati Bima juga terdapat tulisan berupa “Jaring Pengamanan Sosial” terdampak Pandemi Covi-19 Bima Ramah.

Kegiatan pemberian bantuan oleh Bupati Bima tersebut, sama sekali  tidak ada pengawasan atau tegurandari pihak yang berwewenang. Yang seharusnya setiap perbuatan yang diduga melanggar aturan hukum, perlu dilakukan penindakan untuk mencegah terjadinya suatu perbuatan yang menyebabkan kerugian bagi bagi negara dan bakal calon yang lain.

Padahal dalam Surat Edaran  Nomor:273/487/SJ, tertanggal 21 Januari 2020 Tentang Penegasan Dan Penjelasan Terkait Pelaksana Pilkada Serentak, memuat tentang upaya pencegahan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh kepala daerah, pejabat negara, maupun pejabat daerah yang menggunakan kewenangan untuk kepentingan politik praktis. Dan yang paling utama dalam SE tersebut yaitu petahana yang kembali mencalonkan dirinya dipilkada tahun ini.

Dalam Undang-undang No. 10  Tahun 2016  Pasal 71 ayat (3) yang berbunyi, “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu  6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih”. Jika terbukti  melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana ketentuan Pasal 71 maka akan dipidana sesuai dengan bunyi Pasal 188 dan atau Pasal 187 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016.

Tetapi masalahnya, baru bisa terpenuhinya unsur-unsur Pasal yang telah dijelaskan di atas harus mencantumkan visi-misi pasangan calon atau calon kepala daerah perseorang. Namun karena lemahnya, dasar hukum positif yang tidak secara teperincir mengatur terkait hal mana saja yang teramasuk perbuatan pelanggaran kepemiliuan, sehingga membuat Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) sebagai badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu tidak bisa berbuat banyak. Seakan-akan terlihat memberi peluang besar bagi  pasangan calon incumbent untuk melakukan aktifitas “nakal” seperti mencuri start kampanye.

Hal ini tentu sangat mencederai demokrasi serta meresahkan masyarakat sebagai pemilih.Dengan adanya kelemahan pasal dalam undang-undang Pilkada tersebut, yang tidak memiliki kemampuan menjeratperilaku petahana atau pejabat daerah yang diduga melakukan politik praktis, yang mengarah pada pelanggaran pemilu, bukan berarti kita harus membiarkan praktik yang mencoreng nilai-nilai demokrasi tersebutdibiarkan terus terjadi. Karena walaupun terjadi kekosongan norma atau kelemahan pada Pasal pada UU pilkada. Masih ada ketentuan norma yang wajib kita patuhi yaitu Norma Hukum yang hidup dalam masyarakat (livinglaw), karena jika perbuatan tersebut menyebabkan keresahan di dalam  masyarakat maka pihak yang memiliki kewenangan, dalam hal ini adalah BAWASLU, dapat melakukan penindakan lain,  yang dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran Pemilu.

Nah, bagi saya, walaupun pembagian bantuan sembako yang tertempel stiker wajah Bupati Bima dan Wakil Bupati Bima tersebut bukan merupakan bagian  yang melanggar ketentuan Hukum Positif. Tetapi jika perbuatan tersebut berpotensi merugikan bagi calon lain dan meresakan masyarakat, Bawaslu wajib menindaklanjuti  dengan menggunakan kewenangan diskresi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 9 dan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang diskresi.  Yang berbunyi “Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan  untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undanangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tindak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan”.

Kemudian yang berkaitan dengan lembaga yang berhak melakukan diskresi, yaitu di atur dalam Pasal 1 UU N0 30 Tahun 2014. Yang berbunyisebagai berikut: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyenggaran Negara lainya”.Jika dilihat dari bunyi Pasal ini, terkait dengan frasa “maupun penyelenggara negara lain” artinya bawaslu juga merupakan penyelenggara Negara, karena berkaitan dengan tugas mereka mengawasi pemilu, yang merupakan berwujudan dari demokrasi itu sendiri.

Oleh : Hikmah S.H. M.H. (Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Bima dan merupakan Dosen Fakultas Hukum Muhammadiyah Mataram)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment