Reformasi Jilid 2 Sebelum Tahun Politik?

reformasi jilid dua

Modernis.co, Malang – Reformasi 1998 menjadi catatan penting sejarah Indonesia dalam perjalanan perpolitikan negara. Ditandai tumbangnya rezim orde baru pada tanggal 20 mei 1998. Sepertinya kala itu indonesia akan menghadapi proses masa transisi menuju demokrasi yang hakiki.

Terkait rentetan proses perjalanan reformasi 1998, hampir sama memiliki pola serupa dengan sekarang ini. Sehingga sangat menarik untuk dianalisis secara koheren dan sistematis. Pada nantinya akan menimbulkan suatu pertanyaan, “akankah terjadi reformasi jilid 2 atau melanjutkan kembali nilai-nilai reformasi yang belum tuntas?”

Secara historis, 1997 adalah tahun kemenangan terakhir rezim orde baru. Sebelum lengser dari singgasana totaliternya yang kurang lebih hampir 32 tahun. Hal ini yang menarik untuk diulas kembali terkait indikator-indikator keruntuhan rezim pak Harto.

Secara garis besar indikator yang pertama adalah Krisis perpolitikan yang ditandai tereduksinya kepercayaan masyarakat pada institusi pemerintahan. Merajalelanya tindakan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) pada rezim orde baru. Adanya tindakan represif militerisme pada sipil yang melatarbelakangi agama dan etnis berbeda. Krisis ekonomi yang berakibat naiknya mata uang dolar dan berindikasi pada kenaikan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan. Akibat perkembangan ekonomi dan pembangunan yang berujung pada ketimpangan ekonomi.

Krisis monoter pada bulan juli 1996 berindikasi pada lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar yang juga ternyata belum mampu direduksi oleh negara. Krisis ekonomi tersebut tidak hanya menimbulkan kesulitan negara, juga sangat terasa dampaknya pada keuangan nasional. Utang negara memuncak hingga 63,462 miliar. Utang swasta mencapai 73,962.  Hal ini juga yang melegitimasikan bahwa rezim orde baru tidak mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul, khususnya ekonomi.

Maka dengan rangkaian kejadian tersebut, timbullah gerakan-gerakan golongan bawah yang menuntut kemunduran rezim orde baru. Dimotori oleh Gerakan Mahasiswa. Rentetan agenda reformasipun terus membuming diberbagai penjuru kota. Menimbulkan konflik-konflik baru. Dengan demikian bahwa rasa ketidak puasan masyarakat mulai tercerminkan pada tahun-tahun berikutnya hingga tahun 1998.

Kondisi faktual

Ketegangan Pemilihan Umum Presiden tahun 2014 memiliki dampak yang signifikan terhadap pemilihan umum selanjutnya. Maka menjadi suatu keniscayaan akan terjadinya konflik kembali pada tahun 2019 ditandai sebagai tahun politik.

Pada masa kepemimpinan rezim Jokowi-Jk, sejak terpilihnya sebagai presiden hingga menjelang satu tahun sebelum pemilihan umum, situasi geo-politik mengalami ketegangan kembali akibat konflik pemilihan presiden sebelumnya. Namun hal yang menariknya adalah gambaran pola-pola diatas sebagai proses perjalanan reformasi 1998 terjadi kembali dengan pola yang sama, namun aktor dan metode yang berbeda.

Analisis awal yang perlu dibangun adalah bagaimana kondisi perpolitikan negara menjelang tahun politik. Adanya gerakan gerakan politik pragmatis yang kerap menggunkan segalacara untuk menunjang elektabilitas. Catatan kerja KPK terkait data kasus korupsi pada tahun 2017 terdapat 114 kasus. Ditahun yang sama Komisi Antirasuah menyelidiki 118 kasus dan 94 kasus kegiatan penuntutan perkara korupsi.

Data pada tahun 2016, tingkat tindakan korupsi melesat naik dibanding 2016 hanya 96 kasus. Data hasil penyelidikan KPK sedang melakukan supervisi pada 289 perkara. Bila melihat data sebelumnya pada tahun 2014 hingga 2016, kasus korupsi terus naik. 2014 terdapat 56 kasus, 2015 menjadi 57 kasus, 2016 mencapai 96 kasus dan 2017 114 seperti penjelasan data diatas. (m.liputan6.com/news/read3190046/)

Belum lagi baru-baru ini yang sempat menjadi topik perbincangan adalah terdapat 10 kepala daerah yang terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) diberbagai daerah, dan kasus korupsi E-KTP oleh Ketua DPR-RI Setya Novanto. Belum lagi kasus yang terjadi baru ini adalah dari 45 orang anggota DPRD Kota Malang, 41 orang diantaranya terjerat kasus korupsi.

Indikasi tersebut menuntut kemungkinan bahwa kepercayaan masyarakat kepada instansi pemerintahan mulai melemah seperti yang digambarkan pada kondisi pra-reformasi 1998. Pola yang sama berikutnya adalah adanya represif atau bentuk kristalisasi kegiatan masyarakat dalam berekspresi.

Dengan disahkannya Perppu Ormas yang mengatur beberapa ketentuan organisasi masyarakat justru mengumpan opini publik yang menjastifikasikan tentang tindakan totaliter untuk membungkam kelopok-kelompok yang berani mengkritik pemerintahan.

Bila dilihat pada kasus tahun 1998 tentang tindakan penghilangan paksa kala itu dilakukan secara tidak terang-terangan, namun kondisi hari ini dengan berlakunya Perppu Ormas ini dikemas sedemikian rupa sebagai bentuk represif dan pembelengguan masyarakat. rezim Jokowi-Jk seolah menampakan totaliter secara halus dan membahayakan otonomi masyarakat dan bangsa.

Belum lagi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU MD3 yang menuai kontroversi diberbagai kalangan. Tindakan tersebut sangat menjastifikasikan bahwa rezim sekarang ini sangatlah anti terhadap kritk sekaligus mereduksi peranan KPK yang menjadi salah satu instansi yang berdiri pasca reformasi yang berorientasi pada pemberantasan kasus korupsi.

Dan pola terakhir adalah bagaimana peningkatan prekonomian indonesi yang didapat dari hasi pajak negara, APBN dan APBD. Awal bulan september dua tahun lalu, prediksi rezim Jokowi tentang ekonomi akan naik meroket dan mengalami perkembangan hingga 5%. Namun kontekstualisasi saat ini justru malah sebaliknya, nilai tukar rupiah ke dolar kembali melemah.

Puncaknya baru-baru ini nilai tukar dolar mencapai 15.000 rupiah dan kembali menurun sampai sekarang ini menjadi 14.795,75 rupiah. Capaian utang negara tahun 2018 bulan april sudah sampai pada angka 356,9 Miliar Dolar AS atau sama dengan 4996.6 triliun rupiah. Hingga saat ini, utang terus melesat jauh mencapai 8,7% dibanding priode sebelumnya. Berdasarkan data statistik BI utang tahun ini mencapai 387,5 Miliar atau sekitar 542,5 Triliun.

Melihat kondisi yang sedemikian rupa, utang negara pada tahun 1998 lebih rendah dibanding 2018 pada masa 4 tahun priode Jokowi. Pembahasan ini tidak berbicara soal nominal, melainkan pola prekonomian yang hampir saja membludak dengan nominal yang terus bertambah dan inflasi komoditi. Melihat RAPBN tahun 2019 kini kembali disoroti akibat dana perlindungan sosial naik signifikan mencapai 32%.

Program perlindungan sosial ini berupa dana bantuan desa dan program keluarga harapan yang naik dua kali lipat hingga iuran beasiswa dan BPJS. Bukan hanya dana perlindungan sosial saja, tetapi kenaikan gaji aparat sipil negara dan pensiunan naik sebesar 5%. Hal ini diimbangi dengan kenaikan belanja pegawai pemerintah dengan nominal 26 triliun rupiah.

Namun terasa aneh bila beberapa anggaran belanja negara tidak dapat menurunkan nilai tukar rupiah ke dolar dan memberantas kemiskinan yang dengan angkanya 25,95 juta orang. Inflasi bahan-bahan pokok seperti bahan pangan dan bahan minyak gas terus naik, kasus gizi buruk dan kelaparan di Asmat Papua juga masih kurang mampu direduksi.

Gambaran pola-pola diatas persis sama dengan pola pra-reformasi hingga puncak agenda reformasi tanggal 20 mei 1998 yang ditandai dengan mundurnya Suharto sebagai Presiden RI. Bila melihat dari aspek gerakan, maka menjelang tahun politik ini terdapat hal signifikan untuk diamati.

Bahwasanya pada masa reformasi, gerakan mahasiswa memplopori dan menjadi pelaku utama mobilisator gerakan masyarakat. Dengan tindakan demonstrasi dan lainnya untuk menuntut rezim orde baru untuk mundur. 20 tahun pasca reformasi tepat pada taun 2018 sebelum menjelang tahun politik. Gerak-gerakan lama yang hilang tersebut perlahan muncul dengan aktor yang berbeda tetapi metode yang sama. Cikal bakal hal tersebut semenjak hampir satu priode jokowi perlahan berjalan secar sistematis.

Hal yang dimaksud adalah dengan kondisi gambaran diatas seperti mengacu pada perekonomian, politik, hukum, budaya, pendidikan, dan agama.  Rezim Jokowi serasa menghilangkan kepercayaan masyarakat dengan tindakan-tindakan diatas. Tingkat kepuasan masyarakat perlahan hilang pada instansi pemerintahan dan menimbulkan kerusuhan dibeberapa kota-kota besar.

Deklarasi tokoh-tokoh penting di Kota Riau yang mendeklarasikan untuk rezim Jokowi-JK untuk mundur sebagai presiden secara terhormat. Aksi-aksi mahasiswa  di beberapa kota. Juga sempat terjadi akibat naiknya nilai tukar dolar, dan beberapa tindakan preksekusi tokoh-tokoh.

Analisis sederhananya adalah kita tengah dihadapkan pada kondisi negara yang serba membingungkan. Desintegritas negara perlahan terlihat sedikit-demi sedikit, rasa kepuasan masyarakat merendah serta juga menurunkan elektabilitas pemerintahan.

Dengan munculnya tagar #2019gantipresiden, konflik-konflik kecil terjadi dibeberapa kota sehingga sangat mampu dianalisis bahwasanya sangat memungkinkan konflik terus berkembang serta berkelanjutan dan membesar sebelum tibanya tahun politik yang ditunggu.

Maka dengan demikian kita akan kembali pada pertanyaan yang dilontarkan diawal terkait beberapa pola yang sama pada reformasi 1998 dengan sekarang ini 20 tahun pasca reformasi. “Akankah terjadi reformasi jilid 2, atau kembali melanjutkan nilai-nilai reformasi yang belum tuntas”

*Oleh : Achmad Nur Cholis (Aktivis IMM Renaissance FISIP UMM) 

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment