Dimana Milenial Mathla’ul Anwar?

Milenial Mathla'ul Anwar

Modernis.co, Banten – Indonesia di abad 20 berada dalam dominasi imperialisme kolonial Belanda. Kondisi ini membuat keadaan rakyat Indonesia memburuk dan berada dalam penuh tekanan.

Di awal abad 20 muncul kebijakan politik etis 1901 yang dikeluarkan Ratu Wilhemina, ini sedikit membuka kran harapan kemajuan.

Klaimnya kebijakan politik etis muncul sebagai jawaban bahwa pemerintah Belanda saat itu punya tanggung jawab secara moral. Untuk kesejahteraan warga jajahan, peningkatan taraf hidup dan strata sosial masyarakat kolonial yang dianggap berada di paling bawah. Pendirian secara besar-besaran sekolah baru pribumi di pelosok desa adalah bagian dari kebijakan politik etis.

Tapi, yang ambil bagian dalam program pendidikan ini mengalami presentase rendah. Adanya fatwa haram atau kurang Islami, khawatir akan misi kristenisasi, orientasi sekuler, dan ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi biaya operasional (SPP) sekolah pribumi. Adalah beberapa alasan program politik etis kurang diperhatikan oleh masyarakat pribumi. Kebijakan ini tidak memberi ruang yang bebas bagi pribumi dan daya serapnya masih kecil.

Hal di atas mendorong para pendiri Mathla’ul Anwar mengenalkan pendidikan Islam dengan gaya modern. Tidak tertinggal seperti pesantren, juga tidak terpengaruh westernisasi khas pendidikan dasar ala Belanda. Pada tahun 1916 fenomena ini diikuti oleh gagasan para Kyai lokal Menes tentang urgensi modernisasi pendidikan Islam di Menes.

Berbeda dengan pendidikan kolonial, madrasah yang dinisiasi para Kyai Mathla’ul Anwar adalah sebagai entitas dari perjuangan kelas. Mengangkat derajat kaum lemah, kaum tak berdaya. Kaum pinggiran, mustadhafin, dhuafa, dengan mempermudah dan mendekatkan semua umat manusia pada akses pendidikan. Para Kyai sadar betul akan kebutuhan kaum tertindas. Beliau menjadikan madrasah sebagai modal dasar dalam perjuangan menuju penyadaran (conscientization).

Langkah Progresif Kyai Mathla’ul Anwar (1916-1950)

Ini sudah menjadi masalah umum, bahwa semua lembaga pendidikan swasta akan mengalami kesulitan terkait sarana dan prasarana pendidikan.

Pada awal pendirian, para Kyai terhalang masalah tanah dan sedikitnya biaya untuk mendirikan madrasah. Dengan cepat, masalah tanah terpecahkan oleh Kyai Mustaghfiri yang menjadikan rumahnya (Sekarang SKH Mathla’ul Anwar Menes) sebagai ruang pembelajaran sementara. Dengan fasilitas seadanya, KH Mas Abdurrahman selaku direktur bidang pendidikan menyusun formula kurikulum madrasah.

Berjalan beberapa bulan, madrasah Mathla’ul Anwar mendapat energy positif bagi masyarakat Menes. Banyak warga memercayakan anak-anaknya untuk dididik dengan pola didikan Mathla’ul Anwar. Ini berhasil meyakinkan saudagar asal Menes, Demang Entol Jasudin untuk mewakafkan tanahnya kepada madrasah (yang sekarang menjadi lokasi Perguruan MA Pusat Menes).

Kolaborasi semua segmen dilakukan. Priyayi-kiyai, tradisionalis-modernis, golongan tua-golongan muda menjadikan Mathla’ul Anwar terus menunjukkan taringnya. Bukan hanya pengembangan kelembagaan, MA terus melakukan perluasan akses dakwah ke luar Menes.

Ekspansi dakwah dari Menes yang dilakukan oleh para Kyai dan santri Mathlaul Anwar pada periode 1916-1930 ke beberapa daerah. Terkhusus pedesaan Jawa Barat, Banten, dan Lampung, berhasil mencetak dan menciptakan karakter manusia desa lewat pendidikan. Ribuan alumni kala itu meneruskan estafeta visi dakwah Mathlaul Anwar dan Islam yang rahmatan lil-alamin.

Kekuatan “Beras Perelek” yang dikumpulkan secara kolektif oleh warga Mathla’ul Anwar sebagai jaring pengaman berbasis sosial juga berhasil digunakan sebagai upaya kemandirian ekonomi organisasi, kelak hasil dari pengumpulan ini ialah untuk kepentingan madrasah. Dari sinilah ada tambahan slot untuk biaya beberapa pembangunan madrasah, pembeliaan tanah, dsb.

Dengan kekuatan-kekuatan ini, pada periode 1960-an menjadikan posisi Mathlaul Anwar yang tadinya ada di urutan 8 berangsur naik dan berada pada urutan ke 3 ormas Islam terbesar di bawah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Kontinuitas Progresifitas Mathla’ul Anwar (1950-1990)

Progresifitas MA berlanjut saat Muktamar ke VIII 1952 di Ciampea, Bogor. Hasil-hasil Muktamar Ciampea berupaya mengembangkan dan memfasilitasi kader-kader dengan pembentukan PANTJI (Pandu Tjahya Islam), PMA (Pemuda Mathla’ul Anwar), dan MUSMA (Muslimat Mathla’ul Anwar). Suatu tradisi baru dalam Muktamar-muktamar MA yang sudah berlalu.

Dari generasi kedua inilah, MA semacam berpatron pada Negara. Dengan menambah struktur baru (Dewan Penasihat dan Dewan Pelindung) dalam Pengurus Besar, yakni Adam Malik saat menjabat Menteri Luar Negeri (1966-1973) dan BM Diah Menteri Penerangan (1966-1967) sebagai Dewan Pelindung PB Mathla’ul Anwar dan ulama-ulama Banten sebagai Dewan Penasihat PB Mahla’ul Anwar.

Berlanjut dengan para pemimpin muda Mathla’ul Anwar yang bergabung dengan sayap organisasi anti-komunis, mendirikan Komite Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September pada 1965 dan melakukan aksi demonstrasi di Menes (tepatnya di Kacapi Amis dan Banjarwangi) menuntut agar aktivis PKI di sana diadili.

Ternyata arus patron-klien MA pada Negara sempat mengalami kendala pada tahun 1975-an, sebagian alam elit Mathla’ul Anwar mengalami pembaruan pemikiran keagamaan yang puritan. KH Muslim Abdurrahman dan KH Nafsirin Hadi adalah dua tokoh sentral yang vokal menyuarakan penetapan syariat Islam dan melakukan penolakan terhadap ideology Pancasila yang dipaksakan oleh Negara.

Namun demikian, sepanjang periode 75-85 an, tahun-tahun itu juga mendapat pertentangan yang luar biasa dari para pemimpin muda MA, diantaranya KH Irsyad Djuwaeli, KH Uyeh Baluqia, dan KH Entol Burhani yang mendukung upaya filtrasi dan adopsi Pancasila dalam tubuh lembaga (AD/ART) dan melakukan scenario pendekatan politik yang akomodatif dengan Negara.

Alhasil, Alamsyah Ratu Prawiranegara dan Ibnu Hartomo (klan orde baru-negara) berhasil masuk dalam struktur Dewan Pembina PB Mathla’ul Anwar. Ditambah dengan statement KH Uyeh Baluqia di hadapan para peserta Muktamar 1986 bahwa MA harus bergandengan dengan Negara.

Capaian lainnya adalah perkembangan jumlah perwakilan di luar Lampung dan Jawa Barat, pembentukan cabang yang semakin cepat. Dan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang baru terlaksana pada tahun 1991 yaitu dengan nama awal PERTIMA (Perguruan Tinggi Mathla’ul Anwar) yang kini menjadi UNMA (Universitas Mathla’ul Anwar).

Progresifitas para pemimpin dan kader Mathla’ul Anwar sepanjang abad 20 berjalan dengan amat panjang, dan melalui hasil dailektika para tokoh MA yang diterpa di berbagai organisasi.

Kader Mathla’ul Anwar Menyambut Abad 21

Menyambut abad 21, kader-kader Mathla’ul Anwar memahsyurkan nama organisasi dalam skala nasional. Dengan perluasan cabang, kecuali di Papua, Bali, dan Timor-Timur. Para pejabat Negara menjadi unsur penting (narasumber, pembuka) dalam setiap muktamar-muktamar MA. Try Sutrisno, Jusuf Kalla, sampai Joko Widodo pernah membuka Muktamar MA.

Juga para Menteri dari berbagai periode kepemerintahan yang pernah menjadi keynote speaker dalam kegiatan-kegiatan formal Mathla’ul Anwar. Media nasional menyoroti dan meliput kegiatan-kegiatan MA, memantapkan diri sebagai salah satu organisasi Islam terbesar, bersama dengan NU dan Muhammadiyah.

Memetakan Porsi Juang Milenial Mathla’ul Anwar

Milenial Mathla’ul Anwar adalah komponen penting dalam roda organisasi. Menjadi kekuatan besar dan utama, meneguhkan proses kaderisasi dan laju Mathla’ul Anwar sesuai tantangan dan strategi. Milenial Mathla’ul Anwar harus senantiasa menjaga ghirah, memiliki sikap keikhlasan sebab Allah SWT, menjadi wajah organisasi yang menyentuh sampai ke akar rumput (grass root).

Karakteristik setiap generasi tentulah berbeda. Milenial berkembang dan tumbuh dengan cepat. Ada kekhasan ciri generasi ini diantaranya: filantropisme/volunterism/kerelawanan, platform media sosial, ekonomi wirausaha, dan politik kebangsaan.

Singkatnya, secara sederhana posisi milenial Mathla’ul Anwar adalah dengan melihat sejauh mana keaktifan konten dakwah atau hal lain yang sifatnya informatif-edukatif dan kampanye baik dimasifkan di media sosial.

Gerakan kerelawanan yang tumbuh dalam lingkungan milenial Mathla’ul Anwar. Seperti platform MA Care yang bergerak sebagai volunteer sosial/tanggap bencana dan Gerakan Milenial Mathla’ul Anwar Mengajar di MI Mathla’ul Anwar Seupang yang dilakukan saat bencana banjir bandang Lebak di awal tahun ini dapat menjadi gerakan yang sekuel dan teragendakan.

Memperkaya dan mengisi cita-cita para pendahulu organisasi terkait kemandirian ekonomi dengan konsep “beras perelek” harus diupgrade sebagai bagian dari wujud ekonomi-wirausaha atau kemandirian ekonomi organisasi.

Dan yang terakhir adalah moralitas Milenial Mathla’ul Anwar akan politik kebangsaan tidak boleh apatis. Posisinya harus tegas dalam persoalan kebangsaan dan kebhinekaan, menelurkan ide-ide yang substantif dalam hal pembangunan internal Mathla’ul Anwar yang kosmopolitan di abad ke 21.

Dimanakah Milenial Mathla’ul Anwar?

Sebagai suatu organisasi yang sudah berjalan selama satu abad, maka MA paham betul bahwa kepemimpinan organisasi harus ada regenerasi. Kesadaran kolektif-kolegial menjadikan kesadaran menempatkan diri warga Mathla’ul Anwar, menempatkan diri sebagai warga kultural dan warga struktural.

Dulu, para Kyai Mathla’ul Anwar melakukan transfer of knowledge, transfer of value, transfer of skill pada masyarakat Menes dengan mendirikan madrasah Mathla’ul Anwar, para beliau menjadikan Mathla’ul Anwar sebagai sarana perjuangan bagi kebebasan mereka.

Yang terpenting adalah para Kyai meyakini bahwa pendidikan kaum lemah tidak dapat dikembangkan oleh kolonial, melainkan oleh dan bersama kaum lemah.

Seperti yang diimpikan oleh masyarakat Menes, bebas dari eksploitasi kolonial dan dominasi kebodohan dilakukan oleh para Kyai MA dengan mengolah secara kolektif Mathla’ul Anwar dan membuat masyarakat sekitar muncul satu kewajiban atau sense of belonging terhadap Mathla’ul Anwar. Ribuan madrasah Mathla’ul Anwar yang tersebar adalah jejak rekam pada saat sekarang ini, yang telah menjadikan Mathla’ul Anwar sebagai laboratorium insan terdidik.

Lalu, untuk melihat kondisi sekarang muncul pertanyaan, Dimana Milenial Mathla’ul Anwar?

Ini harus mendapatkan jawaban dari para milenial Mathla’ul Anwar agar bergerak untuk tetap menghidupkan ruh organisasi. Dengan ruh itu, maka MA akan hidup sampai akhir zaman. Melakukan kontinuitas progresifitas yang dicipta oleh generasi-generasi sebelumnya.

Rasa-rasanya milenial Mathla’ul Anwar belum menyentuh beberapa aspek sederhana di atas sebagai manifestasi kesadaran kolektif-kolegial dan upaya progresifitas organisasi. Gerakan-gerakan kekinian tadi belum mendapat porsi yang cukup di kalangan milenial Mathla’ul Anwar.

Ini tidak bisa dipandang remeh, media sosial, gerakan volunterisme, kemandirian ekonomi, dan politik kebangsaan adalah instrumen kekuatan dari gerakan kultural (pendidikan, dakwah, dan sosial) Mathla’ul Anwar. Sebab dari gerakan inilah kelak melahirkan kemampuan yang luar biasa untuk kontinuitas progresifitas dalam estafeta kader-kader MA berikutnya.

Dalam akhir diskusi pemantik ingin menyampaikan pertanyaan, terlalu berat sebenarnya pertanyaan ini, tapi mungkin sangat tepat untuk ditanyakan. MAU DIBAWA KEMANA MATHLA’UL ANWAR KITA?

*Disampaikan saat diskusi Mathla’ul Anwar dalam Perspektif Milenial: Mau Dibawa Kemana MA di Abad 21?

Faiz Romzi Ahmad
Faiz Romzi Ahmad

Warga Mathla'ul Anwar

Related posts

Leave a Comment