Modernis.co,Surakarta – Dalam kehidupan sehari-hari kadangkala kita pasti dihadapkan dengan pada sebuah cobaan yang dapat membuat kita kesal sekaligus marah. Untuk mengentaskan perasaan yang terlarut panas, terkadang juga mengedepankan emosi yang berlebihan sebagai bentuk luapan amarah.
Kadang, hal yang seharusnya bisa kita maafkan di benak kita pasti ada celah untuk tidak memaafkan. Memaafkan itu murni urusan antara diri kita sendiri, memaafkan adalah cara kita untuk berdamai dengan diri sendiri.
Memberi maaf termasuk kebaikan hati yang dapat menghindarkan diri dari permusuhan dan dendam yang tidak pernah padam. Hakikatnya memaafkan itu memang sulit, cukup sulit, dan sangat sulit, apalagi kepada orang yang telah menyakiti, berbuat tidak adil, melecehkan, merobohkan harga dirinya. Perlu diingat juga betapa merugi orang yang gemar memelihara dendam bahkan dendam ditanamam subur di dalam tubuhnya.
Mereka justru akan menuai dampaknya sendiri. Balas dendam hanya akan meneruskan rantai-rantai permusuhan sampai terus menerus kecuali salah satu pihak sudi untuk mengakhirinya dan mengalah untuk memaafkan jauh sikap ini adalah sikap seorang ksatria.
Belajar Memaafkan Ala Buya Hamka
Kita dapat meniru betapa besar hatinya seorang Buya Hamka dengan jiwa pemaafnya, Buya Hamka adalah putra dari seorang ulama yang cukup terkenal di Minangkabau, namanya Abdul Karim dan ibunya bernama Shaffiah. Hamka adalah anak sulung dari empat bersaudara. Sebagai anak seorang ulama, ayahnya pun berharap Hamka kelak menjadi ulama.
Hamka sosok yang sederhana seperti yang digambarkan oleh anak-anaknya. Salah satu akhlaknya adalah berusaha menghindari konflik sekecil apapun dengan siapa pun. Ketika Buya Hamka terpilih sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia, berbagai fitnah datang bertubi-tubi datang menghampiri Buya Hamka. Tidak hanya dilakukan di satu tempat saja, melainkan di setiap kesempatan. Buya Hamka mendapat perlakuan tersebut lantaran Presiden Soekarno membuat konsep negara yaitu mengawinkan paham agama, nasionalis, dan komunis.
Paham Nasakom tumbuh dengan begitu subur di Indonesia. Dalam waktu yang singkat, hampir semua elemen masyarakat dan pemerintahan dilandasi dengan paham Nasakom ini. Meski sudah meluas akan tetapi tidak dapat diterima dengan mudah begitu saja oleh masyarakat di Indonesia pada waktu itu. Buya Hamka adalah salah seorang ulama yang dengan terang-terangan menolak dan menentang secara tegas atas pencampuradukan ketiga paham yang dinilai tidak sejalan.
Setiap kali Buya Hamka berceramah secara tegas kepada jamaah ia menyampaikan sikapnya menentang ide Bung Karno kala itu. Sikap Buya Hamka seperti itu tidak dapat dibiarkan begitu saja oleh Bung Karno, karena mempunyai kekuasaan yang besar, maka mudah saja bagi seorang Soekarno untuk memenjarakan Buya Hamka.
Dan akhirnya Bung Karno pun melakukan penahanan terhadap Buya Hamka selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan dan dalam masa penahanan Buya Hamka dapat menyelesaikan karya fenomenal Tafsir Al-Quran yang diberi nama Al-Azhar.
Selama orde lama berlangsung Buya Hamka menikmati kehidupan di balik jeruji besi sebelum orde lama tumbang dan berganti menjadi orde baru. Dan pada jatuhnya orde lama ini, paham Nasakom juga turut jatuh. Pada masa orde baru, Buya Hamka terbebas sedangkan Soekarno kemudian menjadi tahanan kota. Pemerintahan orde baru tampaknya membuat sang proklamator itu menderita di akhir masa hidupnya. Kondisi Soekarno sebelum meninggal sangat memprihatinkan.
Pada tanggal 16 Juni 1970, tiba-tiba Buya Hamka dihubungi oleh Mayjen Soeryo (ajudan Presiden Soeharto). Pagi-pagi Mayjen Soeryo datang ke rumah Buya Hamkauntuk membawa pesan dari keluarga Soekarno. Pesan itu adalah pesan terakhir Soekarno dan dikabulkan oleh Soeharto.
Isi pesan Soekarno itu adalah:
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku,”
Soekarno wafat di Rumah Sakit Pusat Aangkatan Darat setelah menderita komplikasi penyakit yang cukup parah. Hari-hari terakhir Soekarno dihabiskan dalam kesendirian, diasingkan oleh bangsanya sendiri. Tampaknya Buya Hamka menyanggupi untuk datang menjadi imam shalat jenazah, pesan Soekarno yang pernah memenjarakanya dengan mantap ditunaikan olehnya. Akibatnya sifat Buya Hamka yang meluluskan permintaan terakhir Soekarno ternyata mendapat respons negatif dari orang-orang dekat Buya Hamka. Bahkan mengatakan untuk mencoba mengingatkan dengan peristiwa masa lalu ketika di penjara.
“Apa Buya tidak dendam kepada Soekarno yang telah menahan sekian lama di penjara,”
Semua pandangan tersebut dijawab dengan lembut oelh Buya Hamka. “Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik. Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Semua itu adalah anugerah dari Allah, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Quran 30 juz. Bila bukan di dalam tahanan, tidak mungkin dapat menyelesaikan pekerjaan itu,” Jawab Buya Hamka santun.
Mungkin tulisan ini dapat menjadi sandaran bagi diri kita untuk menjadi seorang yang pemaaf, Wallahua’lam
*Oleh : Faiz Rijal Izzuddin (Mahasiswa FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta, kader PK IMM Hajjah Nuriyah Shabran).