Modernis.co, Malang – Belakangan ini publik sempat geger dengan pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan di berbagai media, dengan headline popular yang menegaskan bahwa ada ataupun tidak adanya kasus Covid-19 di Indonesia, mega proyek pemindahan Ibu Kota Negara akan tetap berjalan, tentu dengan alasan investor besar tidak boleh dikecewakan.
Di sisi lain, per tanggal 30 April 2020 korban kasus Covid-19 terus meningkat, laman katadata.co.id menyebutkan ada 1.217 kasus dengan angka kematian pada 122 jiwa. Hal ini pun terus diprediksi akan meningkat seiring belum tegasnya kebijakan pemerintah terhadap kasus Covid-19 yang terjadi di Indonesia. Lagi-lagi pertimbangan terbesarnya adalah ekonomi. Rapid test yang diwacanakan sejak pertengahan bulan Maret lalu pun belum terlihat dampaknya, bukannya di gratiskan kepada masyarakat akhirnya tetap berbayar juga.
Sebelum wabah Covid-19 menyebar di Indonesia, WTO yang dipimpin AS mencabut predikat Negara Berkembang dari Indonesia menuju Negara Maju, konsekuensinya besar, termasuk ditiadakannya fasilitas Official Development Assistance (ODA) yang memungkinkan Indonesia mendapat pendanaan dari pihak eksternal dan memperoleh bunga rendah dalam berutang. Para Pakar Ekonom kampus besar pro dan kontra terhadap predikat negara maju itu. Melihat kondisi Indonesia seolah sangat aneh mengherankan. Itu terjadi bulan Februari lalu.
Akhir bulan Februari, secara mengejutkan muncul kabar ada WNI yang terkena Gejala Covid-19 terus meluas hingga saat ini hampir di seluruh Provinsi. Para Ekonom melihat perkembangan jual beli saham dalam satu bulan terakhir kembali terguncang, bahkan sering harus sering diberhentikan selama 30 menit akibat kurva yang tak menentu, entah ke mana arah pembangunan Indonesia nanti pasca wabah Covid-19 ini.
Bukti kuat lemahnya ekonomi Indonesia selain anjloknya harga saham adalah nilai tukar rupiah yang kian merosot ke angka Rp. 16,357 per dolar AS, angka ini bahkan melampaui angka tertinggi nilai tukar rupiah pada krisis era Soeharto.
Publik di tataran Grassroot justru semakin bingung menyikapi pernyataan Menteri Luhut itu, ibarat kata kondisi krisis dan kritis tapi malah dibiarkan begitu saja. Jadi manakah yang harus menjadi prioritas negara ketika wabah seperti saat ini ? Kemanusiaan yang terancam akibat Covid-19 atau Ekonomi yang terancam akibat kaburnya investor ?
Secara basic needs keduanya adalah prioritas, tapi mungkin yang menjadi berbeda adalah cara membaca dan menyikapinya.
Kaburnya investor bisa jadi bentuk lemahnya trust kepada pemerintah oleh pasar nasional pun internasional. Kerangka berpikirnya sederhana. Ambil tindakan tegas atas Covid-19, tekan suspect dan death rate, berikan waktu pemulihan, aktifkan kembali ekonomi lokal, nasional, internasional. Hasilnya justru akan meningkatkan kepercayaan publik dan pasar karena ada wujud tindakan tegas dan cepat. Muncullah perasaan aman untuk investasi jangka panjang.
Ya, dahulukan Humanity untuk Economy. Yang terlihat saat ini adalah justru keduanya terbengkalai, niat ingin menjaga ekonomi dengan Influencer agar tetap promosi wisata Indonesia ke dunia, yang terjadi sebaliknya wisatawan merasakan sendiri ketidaksigapan Indonesia mengatasi Covid-19, mereka memilih undur diri.
Menariknya, kasus Covid-19 di Indonesia berkali-kali jadi sorotan dunia, bukan hanya di kolom berita bahkan hingga jurnal dan riset ilmiah, anehnya semua hasilnya adalah berita negatif, mulai diragukannya kemampuan deteksi virus, prediksi peningkatan angka kasus positif yang luar biasa, dan presentase angka kematian pun ternyata lebih tinggi daripada Kota Wuhan sendiri sebagai lokasi awal mula penyebaran virus. Jelas bermakna rendahnya health care di Indonesia.
Lagi-lagi masalah utamanya adalah low public trust. Minimalisir spekulasi negatif terhadap Indonesia, dari segala aspek, ekonomi, politik, social walfar dan public health !, beberapa waktu kemudian kita bisa menuju economic recovery. Libatkan semua stakeholder di dalamnya.
Perspektif terkuat untuk menilai kemampuan negara menghadapi wabah Covid-19 adalah dari segi waktu dan korban jiwa, barangkali kita belum mampu seperti Korea Selatan dan China ketika berhadapan dengan wabah ini, dalam sekejap sampai angka nol kasus positif, dalam hitungan pekan. Setidaknya Malaysia, Thailand dan Philipina yang sama-sama di kawasan ASEAN menjadi ukuran terdekat Indonesia.
Malaysia yang sudah bergejolak sejak 24 Januari 2020 lalu sejauh ini pada angka 2,626 kasus dan 37 meninggal. Philipina yang juga bergejolak sejak 29 Januari 2020 sejauh ini pada angka 1,546 kasus dan 78 meninggal dunia. Thailand yang bermula sejak 12 Januari 2020 sejauh ini pada angka 1,524 kasus dengan total 9 meninggal dunia. Sedangkan Indonesia yang kasus pertama terlapor pada 1 Maret 2020 hingga saat ini telah tembus angka 1,414 dengan total 122 meninggal dunia (www.worldometers.info/coronavirus/) per 31 Maret 2020. Padahal secara kondisi sosial di ketiga negara tetangga tersebut di dominasi masyarakat komunal dengan banyak sekali ritual yang melibatkan banyak orang.
Kembali pada judul besar di atas bahwa memang yang terjadi di Indonesia adalah Economics Above Humanity yang sejauh ini dilihat oleh banyak pengamat sebagai salah langkah pengambilan kebijakan pemerintah. Sedangkan arah seharusnya adalah Economics for Humanity. Barangkali saat ini sudah waktunya pemerintah harus mengembalikan gerbong itu kepada rel yang seharusnya, demi tercapainya tujuan bersama untuk kemakmuran bagi masyarakat Indonesia.
Saat ini MUI dan beberapa stakeholder lainnya sudah banyak yang menyinggung soal anggaran mega proyek ibu kota baru agar dialihkan ke penanganan Covid-19 di Indonesia, itu harusnya dilihat sebagai dampak dari salah langkah kebijakan yang semestinya tidak dipertontonkan.
Sebagai hemat akhir, barangkali penulis perlu menyampaikan bahwa kebijakan apapun yang diambil yang diambil oleh pemerintah dalam kasus ini, akan tetap berpengaruh pada perekonomian nasional dan bahkan internasional. Sederhananya akan tetap ada kerugian akibat wabah ini, ya, secara ekonomi !.
Maka bukankah seharusnya pemerintah harus mulai berpikir menuju recovery yang efektif dan efisien. Teorinya Take and Give, Take Risk untuk sementara, Give the best recovery untuk Indonesia ke depannya, apapun bentuk kebijakan itu yang jelas harus tegas untuk mengurangi kesempatan perluasan penyebaran Covid-19.
Barangkali beberapa fakta itu cukup untuk menggugah hati, demi arah kebijakan yang pro humanity, biarlah krisis APD di bahas oleh kritikus lain nantinya.
Oleh : Muhammad Alwany Mufid (Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang)