Modernis.co, Pandeglang, – Gusdurian Pandeglang menggelar nonton bareng film ‘Beta Mau Jumpa’ sekaligus membedah isi film, Sabtu (29/02) di Kawedanan Menes.
Film ini merupakan rancangan para pendidik, jurnalis, serta masyarakat, melalui kolaborasi antara Center for Relegious and Cross-cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM, the Padree School of Global Studies Boston University, dan Watchdoc Documentary dengan dukungan dari Henry Luce Foundation New York.
Dalam bedah film ‘Beta Mau Jumpa’ Gusdurian Pandeglang menghadirkan Ervi Siti Zahroh Zidni yang merupakan Fasilitator Agama Islam Universitas Indonesia, dan Herawati yang merupakan Advokat dan aktivis perempuan.
Konflik berdarah yang terjadi 21 tahun silam menyisakan duka nestapa. Kini, masyarakat Ambon sedang merajut kembali semangat keragaman dan berusaha untuk merawat kerukunan. Film yang berdurasi 35 menit ini menceritakan bagaimana konflik Ambon dan rekonsiliasi perdamaian itu diwujudkan.
Menurut Ervi Siti Zahroh Zidni, film ‘Beta Mau Jumpa’ memperlihatkan bahwa peran perempuan sebagai salah satu aktor yang sangat sentral dalam mewujudkan kerukunan di Ambon.
“Bagaimana seorang biarawati menjadi inisiator atas pendirian GPP (Gerakan Perempuan Peduli). GPP menjadi wadah para kaum ibu dari lintas agama untuk berkumpul untuk memformulakan perdamaian di masa depan. Karena egosentris identitas ia beranggapan bahwa keselamatan perempuan dan anak-anak merekalah yang menjadi acuan,” ucapnya.
Film ini juga mengingatkan ia pada komitmen Gusdur untuk mewujudkan perdamaian di Ambon.
“Ketika Gusdur kesana, ia mengutus para Menterinya terlebih dahulu untuk membaca situasi Ambon. Setelah itu, ia mengumpulkan para pemuka agama untuk mewujudkan rekonsiliasi perdamaian,” sambungnya.
Menurut Ervi bahwa konflik Ambon yang terjadi dalam rentang waktu 1999-2002 dan menewaskan ribuan orang awalnya bukan perang agama, tapi persoalan individual yang sepele.
Herawati, Aktivis perempuan asal Pandeglang ini menyayangkan perbedaan yang ada di masyarakat dijadikan sumber konflik oleh beberapa pihak. Dalam menyikapi film ‘Beta Mau Jumpa’ ia beranggapan bahwa konflik dapat dipecahkan oleh kearifan lokal dan kohesi-kohesi sosial yang ada di masyarakat.
“Semua elemen harus terlibat aktif dalam penyelesaian konflik. Para pemuda/I dengan nilai-nilai idealnya bisa menjadi pengurai konflik itu. Kalau di kita adalah budaya siling asah, siling asih, siling asuh menjadi kearifan lokal untuk mengcounter perpecahan,” katanya.
Ahmad Bachtiar Faqihudin selaku Koordinator Penggerak Gusdurian Pandeglang menyoroti porsi relasi kaum perempuan untuk mewujudkan perdamaian di Ambon.
“Ibu-ibu, kaum emak-emak di wilayah eks konflik mengambil inisiatif untuk mewujudkan rekonsiliasi perdamaian. Lewat kehidupan sehari-hari kaum ibu mewujudkannya, komunitas kristen berkunjung ke komunitas muslim, komunitas muslim berkunjung ke komunitas Kristen. Dengan harapan rekonsiliasi yang ada di Ambon ini berlangsung secara kultural atau alamiah,” ungkapnya.
Nonton bareng dan bedah film ‘Beta Mau Jumpa’ yang diinisiasi oleh Gusdurian Pandeglang mendapatkan perhatian dari para aktivis mahasiswa dan para pelajar. (FZ)