Modernis.co, Malang – Mahasiswa merupakan predikat bagi manusia yang terdaftar secara administrasi sebagai peserta didik pada jenjang perguruan tinggi. Predikat ini seharusnya dimanfaatkan sebaik mungkin, dan jangan sampai disalahgunakan sedemikian mungkin.
Berkaca pada tidak sedikitnya kawula muda yang belum dapat merasakan bangku kuliah karena hal tertentu dalam hidupnya. Sangat disayangkan jika mahasiswa tidak lagi berkonotasi positif karena konvensi subjektif masyarakat yang terakumulasi, sehingga semakin ke sini semakin objektif-empiris.
Stigma negatif mahasiswa disesalkan oleh banyak kalangan yang menaruh harapan besar namun justru dilanda keraguan. Masyarakat bertanya, apakah mahasiswa mampu memposisikan dirinya sebagai agen perubahan, agen kontrol sosial, agen penjaga nilai-nilai, dan sebagai aset bangsa (iron of stock), serta tauladan insan yang bermoral.
Keraguan masyarakat muncul saat menyaksikan realita menunjukkan bahwa mahasiswa terlena, sehingga hanyut dalam arus globalisasi, melupakan jati diri, dan senantiasa memprioritaskan pemenuhan kesenangan pribadi.
Entah gambaran apa yang cocok untuk fenomena sosial pada level tertinggi pendidikan formal, yang status peserta didiknya disebut maha dibandingkan jenjang lain. Mungkin hedonisme, pragmatisme, liberalisme, dan globalisme telah berkolaborasi dan mampu membuat mahasiswa lupa esensi dirinya sendiri, berakibat menurunkan kadar idealisme mahasiswa.
Serba praktis dan instan menjadi gaya hidup mahasiswa masa kini. Dewasa ini, era digital-network membuat segalanya terkesan mudah, pun dalam melanggar atau menyimpang dari hal yang semestinya.
Perilaku gemar cangkrukan atau nongkrong di warung kopi atau lebih modern disebut kafe atau kafe siber tanpa bahasan yang bermanfaat, dugem, seks bebas, kumpul kebo, dan lainnya menjadi alat untuk memenuhi sisi gelap globalism mahasiswa. Dewasa ini mahasiswa lebih suka yang praksis, namun buta teoritis.
Pembahasan teoritis dibilang tidak realistis. Hanya yang empiris yang diterima, teoritis dijauhi dan menjadikannya sebagai manusia materialistis. Mahasiswa sosialita, ternyata sebatas kedok untuk menemukan self image positif agar tetap eksis.
Mahasiswa juga lebih sibuk bersolek diri agar dianggap ada. Bergaya hidup modern agar dianggap sekoloni dan layak ditemani. Hari ini kampus menjadi prosenium ajang adu gengsi, menunjukkan trend terkini.
Sebagai insan kiriman dari jenjang pendidikan SLTA sederajat dengan IQ di atas rata-rata, cukup bagi mahasiswa untuk membedakan baik-buruk, benar-salah, sesuai-tidak sesuai dengan tepat. Mahasiswa merupakan golongan masyarakat yang sadar dan paham karena kekayaan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Mahasiswa mestinya mau dan mampu menjadi agen-agen dalam masyarakat. Mau berarti mempunyai keinginan untuk terus belajar dan mencari esensi dirinya, untuk kemudian mampu berperan dan bertindak dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
Ilmunya perlu digunakan dengan bijak dan arif, menjadikannya sebagai filter dari promo globalisasi yang sangat menggiurkan dan persuasif. Adanya mahasiswa sejatinya sebagai angin sejuk dan lampu terang bagi keadaan sosial. Menjadi garda terdepan melawan ketidaksesuaian oksidentalisasi dan kebijakan kontra rakyat.
Filter ini harus diimbangi dengan fasilitas eksternal untuk mengoptimalkan hasilnya. Jangan disalahkan bila belum ada pengarahan. Seperti halnya orang tua yang tidak tahu apakah cara mendidik anaknya benar atau salah, jika belum mendapatkan edukasi tentang cara mendidik anak yang baik dan benar.
Anhar Putra mengatakan, ada hal yang menarik pada dunia perkuliahan. Di mana perguruan tinggi berorientasi pada sebuah pekerjaan. Walhasil teori-teori yang disajikan tidak terinternalisasikan, tidak diimplementasikan untuk menciptakan hal baru.
Selebihnya, PT hanya menghasilkan output yang tunduk dan patuh pada kekuatan pemodal dan kaum elite kapitalis. Mahasiswa dalam niatannya mencari ilmu di PT adalah mencari kebenaran, meskipun kebenaran yang ditemukannya tidaklah bersifat mutlak.
Namun teori-teori akan kebenaran yang harusnya melekat untuk diamalkan tersebut justru terabrasi oleh kultur pragmatisme, hedonisme, liberalisme, sehingga mengikis idealisme. Masalah benar-salah, baik-buruk, sesuai-tidak sesuai malah dilupakan, sehingga tidak jarang tindakan hina misalnya korupsi, kolusi, juga nepotisme dilakukan oleh kaum terdidik.
Tidak ada yang mau jika mahasiswa terjerumus lembah hitam oksidentalisasi, westernisasi, modernisasi, dan globalisasi. Kaum elite, pemodal, dan kapitalis menggiring kaum intelektual muda seperti mahasiswa untuk menikmati hingar-bingar dunia, dan selanjutnya dijadikan pekerja yang taat kepada jabatan dan uang.
Ilmu pengetahuan dari bangku kuliah dan hasil pencarian personal merupakan tanggungjawab moral yang menjadi penentu arah masa depan bangsa. Itupun jika seorang mahasiswa mau berpikir lebih luas.
Ambil saja tahun 1966 era Soekarno dan tahun 1998 era Soeharto, di mana mahasiswa merupakan tokoh pemersatu bangsa, membanggakan kebenaran, dan membuat tatanan sosial menjadi lebih baik. Namun, kita terpisah antara ruang dan waktu yang berbeda. Tapi setidaknya, sebagai mahasiswa, kita harus tahu esensi kita.
Selain tertera dalam tridharma perguruan tinggi, esensi mahasiswa juga terletak pada perannya terhadap masyarakat. Oleh karenanya mahasiswa merupakan pelaku akademik dan non-akademik, dan tanggungjawabnya meliputi kedua hal tersebut.
Sebagai pelaku akademik, tanggung jawabnya adalah berkontemplasi dan menjadi ahli dalam bidang yang ditekuni. Sedangkan tanggung jawab non-akademik adalah tanggungjawab moral, yakni di mana mahasiswa sebagai anggota masyarakat yang terdidik, mampu memberikan manfaat positif.
Sekiranya perlu orang-orang yang benar untuk merumuskan kultur yang benar, dan menjadikan kultur tersebut sebagai kendaraan menuju perubahan mendasar bagi kemajuan kualitas bangsa, orang-orang tersebut yakni mahasiswa. Sebagai golongan masyarakat istimewa, hendaklah menyadari bagaimana seorang mahasiswa mengemban tanggung jawab yang besar.
Lebih dari catatan kertas akhir semester, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa nilai merupakan hal penting bukti dari proses belajar dibangku kuliah. Namun, kelas hanya memberi 20 persen pengetahuan dan pengalaman, selebihnya harus dicari di luar kelas.
Mahasiswa harus melek, menjadi mahasiswa fakultatif yang kerjanya mengikuti seminar, kepanitiaan, dan menulis makalah atau laporan adalah hak individu. Namun lebih luas lagi, kuliah merupakan aktivitas universal, yang artinya mencari sebanyak mungkin pengetahuan dan pengalaman yang komprehensif.
Selain mengetahui dan menyadari dirinya sebagai mahasiswa, mereka juga harus mengetahui kontribusinya kepada masyarakat. Sejatinya mahasiswa merupakan kelompok sosial murni, dalam artian mahasiswa merupakan pergerakan dari hati nurani yang menuntut transparansi, kesungguhan sistem demokrasi, keadilan dan sebagainya sepenuhnya demi kemaslahatan umat.
Sehingga lucu sekiranya terdapat mahasiswa yang masih merem sosial dan menyangkutpautkan semua hal pergerakan dengan kepentingan kelompok tertentu atau politik tanpa penggalian informasi terlebih dahulu.
Sebagai mahasiswa kita memang dituntut untuk ahli dalam bidang yang sedang kita tekuni, namun tidak dengan menyisihkan peran sosial kita. Untuk menyadarkan diri sendiri sebagai pemuda yang masih mencari jati diri bukanlah semudah menggoyangkan jari, apalagi harus menyadarkan pemuda lain.
Kesadaran dimulai dari diri sendiri, mengaktualisasi diri sebagai pelaku akademik dan non-akademik serta menjadi mahasiswa yang melek akan situasi terkini sekompleks mungkin, baik dalam lingkup kecil yakni kampus, maupun yang lebih besar yakni masyarakat. Semakin kita tahu, semakin sedikit kita tahu. Maka dari itu, implementasi makna literasi adalah jawabannya.
Cara menghargai tulisan adalah dengan membacanya, cara menghargai bacaan adalah menulisnya. Cara menyikapi kesalahan adalah dengan tidak membiarkannya. Syukron.