Wajah Islam sebagai Wajah Perdamaian

negara perdamaian

Modernis.co, Malang – Umat Islam kini dihadapkan pada tuduhan sebagai teroris dan radikalis. Stigma negatif kembali dituduhkan kepada Islam oleh kalangan intelektual, politisi, dan akademisi Barat. Kasus WTC 9/11, dan pemboman di mana-mana membuat citra umat Islam semakin terpuruk. Umat Islam dinilai terbelakang, bodoh, fanatik, dan miskin. Negara-negara Islam juga tidak mampu bersaing dengan negara-negara maju seperti China, India, Brasil dan juga negara-negara Barat lainnya secara ekonomi, industri, sumber daya manusia dan dalam bidang kemajuan lainnya.

Islam kini dianggap sebagai “virus” bagi kelangsungan peradaban umat manusia. Hal ini seharusnya menjadi concern bagi kita umat Islam. Sebagai muslim, kita mempunyai kewajiban untuk membersihkan nama baik Islam. Islam bukanlah agama yang begitu saja menganjurkan kekerasan. Islam adalah agama wahyu yang menyuarakan perdamaian dan keadilan. Segala kekerasan atas nama Islam diakibatkan oleh berbagai macam faktor dan konteks. Tindakan Barat melakukan invasi terhadap Afghanistan dan Irak telah memicu gerakan radikalisme dan terorisme. Barat harus merasakan akibat dari apa yang dilakukannya terhadap umat Islam di berbagai negara.

Menurut Pabotinggi (1986:217), superioritas Barat atas segala sesuatu yang “bukan Barat” merupakan pesan tunggal. Salah satu menifestasi terkuat dari hegemoni kultural-ideologis ini ialah diskursus Barat yang disebut dengan orientalisme. Strategi orientalisme tergantung secara konstan pada superioritas Barat yang dapat diwujudkan dalam berbagai posisi yang selamanya menempatkan superioritas Barat atas Timur.

Edward W. Said dalam karyanya, Orientalism. Menurut Said, “studi ketimuran” sebagai disiplin keilmuan secara material dan intelektual terkait dengan ambisi politik dan ekonomi Eropa, dan orientalisme telah menghasilkan “gaya pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologis antara “Timur” dan “Barat” dalam banyak hal. Said melanjutkan, bahwa orientalisme Barat mengembangkan cara-cara “pembahasan” tentang  Islam (khusunya  Arab) sehingga memapankan dan menyempurnakan rasa superioritas budaya Barat atas budaya lain.

Said juga melihat adanya bias dalam tulisan-tulisan para sejarawan kolonial, misionaris, dan sarjana Barat. Bias yang paling populer menurut Said adalah proyeksi media tentang Arab saat ini sebagai masyarakat yang terbelakang, irrasional dan penuh nafsu birahi (Martin, 1985: 14-15). Pencandraan (citra negatif) yang dibangun oleh Barat dalam menilai Timur (baca: Islam) itu sudah sedemikian kuatnya, sehingga Barat dikonotasikan sebagai kemajuan, desentralisasi, stabil,  sementara Timur identik dengan stagnasi, sentralisasi, kacau dst (lihat Sayyed, 1997:100).

Manusia memang makhluk berwajah ganda bahkan berwajah banyak atau multi dimensional. Ali Syariati, Pemikir dan Sosiolog muslim dari Iran, memposisikan manusia sebagai makhluk Tuhan di antara malaikat yang serba suci atau baik dengan iblis yang serba kotor atau buruk, dan disitulah letak ketegangan kreatif yang bersifat abadi antara tuntutan untuk berbuat baik atau buruk dalam manusia sepanjang hayatnya.

Agar manusia hidup tak salah kaprah dan berjalan sekehendaknya tanpa kompas petunjuk hidup, maka agama mengajarkan arti (makna, hakikat) dan fungsi (misi dan tugas mulia) serta arah dan tujuan hidup. Agama mengajarkan kehidupan yang suci, yang benar, yang pantas, dan nilai nilai adilihung lainnya dalam kehidupan umat manusia. Agama juga mengajarkan bagaimana menghindarkan atau menyingkirkan hal-hal yang nista, yang jahat, yang buruk, yang keji, dan hal-hal mungkar lainnya dalam kehidupan manusia.

Sehingga hidup manusia menjadi beradab, berakal-budi, dan berbudaya mulia sebagaimana layaknya perangai makhluk Tuhan yang unggul, bukan manusia yang rendah nista. Jika ilmu pengetahuan mengajarkan kebenaran rasional dan empirik, ketika mengerjakan susila, dan seni mengajarkan keindahan, maka agama selain menyentuh dimensi-dimensi tersebut, hal yang terpenting mengajarkan makna dan tujuan hidup yang hakiki. Bagi para pemeluknya yang berusaha taat, agama adalah pedoman kehidupan yang sangat vital dan sangat menentukan.

Agama adalah acuan bagi seluruh tindakan hidupnya, lebih lebih menghadapi kritis. Agama meminjam pendapat berger adalah kanopi suci (sacred canopy), yakni sebagai langit suci pelindung bagi kehidupan setiap manusia. Bagi umatnya yang taat, agama bukanlah seperti pakaian yang berfungsi sekedar sebagai penutup aurat dan hiasan, lantas dengan mudah dilepas dan diganti dengan yang lain. Agama adalah totalitas kehidupan yang sangkral, mendalam, dan memandu serta menentukan arah kehidupan.

Dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan karya ilmu pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberikan bekal hidup yang kokoh bagi manusia.Buya Hamka mengatakan bahwa, Rasa agama membawa kepada cinta, bukan benci. Memberi maaf, bukan membalas dendam. Kagum, terharu melihat keindahan/jamal. Kemuliaan/jalal, kesempurnaan/kamal.

Rasa agama yang tinggi membawa pengakuan akan adanya penguasa tertinggi pengatur semesta. Yang maha kuasa, daripadanya datang segala kekuasaan. Yang maha agung, daripadanya sumber segala keagungan. Roh raya yang daripadanya mengalir sekian roh. Agama yang tinggi menimbulkan tasamuh, toleransi, berlapang dada, bukan picik dan ta’asub, di awak segala benar, diserang segala salah. Kadang-kadang dibawanya orang ke dalam suasana cinta, sehingga melebihi terhadap diri sendiri. (PROF,DR,HAMKA, PANDANGAN HIDUP MUSLIM, Hal:164-165).

Agama yang benar memperluas pandangan kita. Menjadikan terangkatnya kaki yang terpaku di bumi ini, membawa kita terbang ke angkasa luas. Lepaslah kampung dan halaman, kota dan negeri, suku dan bangsa. Tidak ada yang membatas kita dengan manusia sekalian, walau di mana berdiam. agama yang benar tidaklah mengenal batas kaum, suku, bangsa, jenis, warna kulit. Karena agama yang benar menyeru manusia pulang bersama kembali ke hadirat Tuhan rabbul alamin.

Dia bukanlah tuhannya orang yang berdarah asia atau berdarah semit semata. Tetapi dia adalah Tuhan dari bumi dan langit dan segala isinya. Dia sendiri yang menjadikan hakim, dan kita semuanya sama derajat, sama kedudukukan di hadapanya. Kalau pun ada yang terdekat, hanyalah karena iman dan taqwa. (HAMKA, Hal:166-167).

Adapun intisari ajaran islam yang telah dibawakan oleh Nabi Muhammad sejak 14 abad, ialah bahwa “manusia adalah satu” dan semuanya terikat dalam “persaudaraan semesta”.
Agama ini bernama “islam, kalimat “islam” itu satu rumpunnya dengan kalimat “salam”. Apabila seseorang disebut “islam”, maka hakikatnya islah “menyerahkan diri kepada Tuhan dengan tidak ada keraguan”. Karena arti “islam” itu ialah “penyerahan”. Dan juga berarti “salam”, artinya “damai”.

Apabila seseorang telah berdamai dengan Tuhan, dengan sendirinya dia pun berdamai dengan sesama mansia, dengan sendirinya diapun berdamai dengan sesamanya makhluk. Dan “islam” juga berarti “selamat”. Nabi bersabda:, “orang yang disebut muslim ialah yang selamat (terpelihara) sesamanya islam dari lidahnya dan tangannya’.(HR. Ahmad).

Muslim artinya orang yang menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Dan apabila berjumpa seorang muslim dengan seorang muslim, diucapkanlah “assalamualaikum”. (mudah-mudahan damai dan bahagia meliputi diri tuan). Sendi utama dan pertama dari ajaran islam islah kesatuan. Satu makhluk ini semuanya dan satu pula tuhan yang menciptanya. Kesatuan makhluk insani dipusatkan kepada kesatuan turunan, yaitu adam dan hawa.

Lebih lanjut, perbedaan warna dan warna kulit, pertentangan kelas dan kasta tidaklah diterima oleh islam dan tidak diakuinya. Pengakuan kelebihan seseorang daripada yang lain, bukanlah dalam ukuran benda, pangkat, kebesaran dan kekayaan. Perbedaan tinggi derajat manusia atau rendahnya, menurut islam hanyalah pada amalnya dan pada taqwanya.

Fitrah TA
Fitrah TA

Pegiat Isu Keislaman dan Keindonesiaan

Related posts

Leave a Comment