Modernis.co, Malang – Radikalisme merupakan topik yang hangat diperbincangkan dasawarsa ini. Apa sih radikalisme itu ? Apakah radikalisme itu berbahaya ? Apakah Radikalisme itu berbahaya ? Radikalisme secara sederhana adalah suatu pemahaman atau ideology seseorang untuk melakukan perubahan dalam waktu yang singkat dan menggunakan cara kekerasan atau ekstrem.
Dengan pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa radikalisme adalah sikap atau pemahaman seseorang atau kelompok yang bertentangan dengan persoalan-persoalan sosial.
Perbincangan tersebut menempatkan Islam sebagai salah satu unsur dari radikalisme, hal tersebut dapat kita lihat dengan munculnya kelompok ISIS (Islamic State Iraq and Syria) yang melakukan teror dengan simbol-simbol islam dalam setiap aksi suci mereka. Padahal persoalan tersebut bukan karena islam, tetapi persoalan politik identitas. Dalam arti kekesaran dalam skala besar untuk mendapatkan status quo atau mendapatkan perhatian publik.
Aksi yang dilakukan karena penolakan-penolakan terhadap kebijakan pemerintah, bahkan perlawanan yang keras dengan apa yang sedang terjadi penolakan secara terus menerus menuntut perubahan yang drastis tanpa pandang bulu, orang yang terpapar paham radikalisme juga tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan demi mewujudkan apa yang mereka inginkan.
Mereka beranggapan bahwa semua pihak yang berbeda pandangan dengan mereka salah. Ada bahasa yang sederhana,”tidak mungkin ada asap, kalau tidak ada api”. Pemahaman agama yang tidak selesai sehingga berdampak pada pemahaman yang sangat dan praktik pemahaman yang barbar.
Indonesia cenderung melabelkan radikalisme dengan kelompok beragaama islam, dengan melahirkan kosakata “Islam Radikal”, pelabelan tersebut berdampak pada tindakan represif pemerintah (aparat). Dimulai pelarangan dan sebagainya. Lantas ruang HAM bagi yang beragama dan berkeyakinan dimana ?
Dengan mengetahui pengertian, cara aksi, hal yang memicu timbulnya Radikalisme ini dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa radikalisme ini tidak dapat dikaitkan dengan agama islam ataupun agama lainnya karena radikalisme ini sendiri dari aksinya bertujuan untuk mencapai suatu keinginan yang harus terpenuhi dengan cara apapun, tapi sampai saat ini banyak tulisan di media cetak, online, jurnal, majalah dan sebagainya, secara gegabah menjelaskan penyebab yang memicu munculnya radikalisme adalah berpegang secara kaku kepada kepercayaan atau suatu ajaran agama.
Banyak upaya yang harus dilakukan untuk menetralisir Radikalisme yang menjamur dan menjalar di kalangan masyarakat, pada sekarang ini dapat kita kenal dengan istilah Deradikalisasi yang betujuan untuk mengurangi paham Radikalisme dengan definisi negara juga harus tetap melindungi hak asasi manusia dan hal sipil lainnya, serta Negara juga tidak boleh memegang komoditi utama untuk mencapai tujuan karna Negara masih memiliki rayat yang masih harus dilindungi hak haknya.
Radikalisme Bukan Ajaran Agama Manapun
Dewasa ini, istilah islam radikal sudah menjadi buah bibir banyak pihak, tanpa menghiraukan ketersinggungan penganut islam lainya dan seolah mengabaikan kesucian islam itu sendiri, mau tidak mau islam radikal sudah menjadi kosakata umum masyarakat indonesia.
Tetapi tidak dapat dipungkiri, dalam sejarah islam awal kelompok radikal itu sudah ada, yang di kenal dengan kelompok khawarij. Sebagian kelompok khawarij memang sudah lama punah, tetapi sebagai paham khawarijisme (radikalisme) masih ada. Abul Ala Maududi (1903-1979) menulis, “khawarij tidak sempat masuk ke indonesia karena keburu punah”. Tetapi karakteristiknya dijadikan sebagai kefanatikan mazhab oleh sebagian mazhab di Indonesia.
Secara spesifik, yang menjadi ciri khas kelompok radikal ini adalah pemahaman yang formalistis, patuh ritual tetapi kurang ukhuwah. Pertama, mereka sangat memberhalakan dengan dengan formalistis teks Al-Qur’an dan Hadits. Bahwa bunyi ayat dan hadits kurang dikontekstualisasiskan, akhirnya menjadi intoleran dan membabi buta. Kedua, patuh ritual tetapi kurang ukhuwah, mereka sangat kuat dalam ibadah mahdah dan ghairu mahdah tetapi dalam hubungan sosial sangat lemah karena mabuk dengan iman.
Kita tidak ingin hal ini menimpa masyarakat indonesia yang plural. Kita tidak boleh terjebak dalam hal yang ritus, dampaknya membuat kita buta. Tidak mengakui iman yang lain dan menganggap kelompok mereka yang paking benar. Bahwa aksi mereka bukan karena islam sebagai iman tetapi islamisme (kepentingan politik dan kekuasaan).
Oleh: Nadia Nuryasmi Azizah (Aktivis Forsifa UMM)