Deradikalisasi dan Moderasi

deradikalisasi dan moderasi

Modernis.co, Malang – Merujuk Pepres No. 46 Tahun 2010 Pasal 36 ayat (1) mengamanatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk melibatkan unsur-unsur masyarakat salah satunya adalah Muhammadiyah. Sebagai ormas yang dianggap sangat dinamis, Muhammadiyah tentu memiliki kesamaan tujuan yakni menjaga keutuhan Negara Kesatuan Negara Indonesia (NKRI).

Di sisi lain, dalam klausul isu strategis yang telah dirumuskan dalam sidang Muktamar ke-47 Muhammadiyah tahun 2015 di Makassar. Muhammadiyah mengajak umat Islam, khususnya warga Persyarikatan, untuk bersikap kritis dengan berusaha membendung perkembangan kelompok takfiri melalui pendekatan dialog, dakwah yang terbuka yang mencerahkan, mencerdaskan, serta interaksi sosial yang santun (Draft Muktamar Muhamamdiyah ke-47 Makassar 2015). Muhammadiyah yang memiliki asset dalam membangun Indonesia tentu akan turut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan terorisme Indonesia.

Radikalisme yang dilakukan kelompok takfiri seakan-akan menjadi momok bagi banyak negara terutama Indonesia. Selain polanya yang kompleks dan bentuknya yang beragam, dilakukan dalam skala makro dan mikro. Dampaknya penanganan radikalisme pun bervariasi. Di Indonesia penanganan radikalisme tidak hanya dengan sistem keamanan (hard approach).

Sistem yang ketat dilakukan tetapi tindak radikalisme tetap saja menjadi skala yang sangat di prioritaskan oleh pemerintah, buktinya TNI dan Polri adalah pengguna APBN terbesar setiap tahun. Hal ini menandakan keseriusan pemerintah. Lalu, apakah dengan cara ini radikalisme berkurang atau bahkan menghilangkan radikalisme?

Menurut data Kepolisian, Sepanjang tahun 2017, sudah ada 172 tersangka kasus terorisme. Hal ini dilaporkan oleh Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Pol Tito Karnavian. Ia menyebutkan, jumlah tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dua tahun sebelumnya yakni 163 di tahun 2016 dan 73 di tahun 2015. Dari 172 penindakan pelaku terorisme tersebut, sebanyak 10 di antaranya sudah mendapat vonis, 76 orang masih dalam proses persidangan, 68 orang masih dalam proses penyidikan, dan 16 orang tewas ditembak.

Apakah Tugas Aparat Melindungi atau Membunuh?

Deradikalisasi menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai upaya mentransformasi keyakinan orang yang terpapar ideologi radikal terorisme menjadi lebih moderat, toleran, plural dan menghargai perbedaan dengan pendekatan multi dan interdisipliner. BNPT menyusun strategi deradikalisasi secara masif dengan melakukan koordinasi antar instansi-instansi pemerintah terkait penanganan terorisme.

Instansi pemerintah tersebut antara lain Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Ditjenpas dan Satgas Bom Polri. Adapun strategi deradikalisasi secara khusus dilakukan oleh Deputi I bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi dalam bentuk program deradikalisasi. Tugas Deputi I secara khusus adalah merangkum program deradikalisasi melalui pendekatan reedukasi, rehabilitasi, reintegrasi dan resosialisasi.

Pada tataran implementasi, deradikalisasi seringkali tumpang tindih bahkan tidak bisa diterjemahkan secara konkrit. Ini terjadi karena pada tataran konseptual, deradikalisasi menjadi debatable dan banyak ditentang oleh kalangan ormas Islam termasuk Muhammadiyah. Muhammadiyah memandang deradikalisasi sebagai upaya mereduksi dan atau menghilangkan ideologi seseorang dengan ideologi lainnya.

 Sementara bagi BNPT, deradikalisasi mengacu pada pengertian AS. Memiliki dua makna; pemutusan (Disengagement) dan deideologisasi (deideolozation). Disengagement diarahkan pada perubahan perilaku seperti keluarnya seseorang dari jaringan teroris atau perubahan aturan hidup seseorang dan meninggalkan aturan kelompoknya.

Sedangkan deideologisasi diarahkan untuk menghapus pemahaman ideologis atas doktrin politik Islam dan menjadikan Islam sebagai nilai-nilai luhur yang menyemai perdamaian, Bisakah hal tersebut dilakukan? Orientasi deradikalisasi adalah mengubah spektrum seseorang menjadi tidak lagi diposisi sebagai radikalis tetapi ke moderat.

Disini jelas bahwa deradikalisasi belum bisa memberikan efek jerah, bahkan jauh dari harapan. Deradikalisasi pada satu sisi sebagai alat untuk memberantas radikalisme. Akan tetapi, pada satu sisi sebagai alat untuk memfitnah, menganiaya serta membunuh para korban yang sangat jelas jauh dari kata radikalisme dan tidak perlu untuk di radikalisasi.

Deradikalisasi dan Moderasi

Ditengah kontroversial deradikalisasi dengan nila-nilai kemanusiaan, maka Muhammadiyah mengajukan statement kritis. Bahwa political spectrum hadir untuk mengkaji deradikalisasi maupun moderasi yang diinisiasi dan dilakukan oleh Muhammadiyah.

Oleh sebab itu, moderasi tidak akan menyisakan persoalan baru jika dilakukan karena memperhatikan substansi. Sebaliknya deradikalisasi akan menimbulkan dendam dan keinginan untuk balas dendam dengan cara yang lebih sadis. Namun, apakah moderasi dapat mengubah spektrum politik seseorang?

Moderasi menjadi tawaran alternatif yang menjunjung prinsip wasathiyah. Muhammadiyah memandang radikalisasi dilawan dengan deradikalisasi dan radikalisme kontra deradikalisme, terdapat pembongkaran atau penihilan terhadap radikalisme seperti suatu serum antibodi, sehingga diharapkan radikalisme hilang atau tereliminasi.

Paradigma yang dipakai Muhammadiyah, meminjam padanan konsep Tariq Ali, terjadi “clash of fundamentalism” atau benturan antar dua paham ekstrem kaum fundamentalis, yang satu cenderung serba tekstual-konservatif sedangkan yang satunya lagi serba kontekstual-liberal.

Moderasi Sebagai Pilihan

Deradikalisasi banyak ditentang oleh kalangan Muhammadiyah baik dalam tahap teoritis dan implementasi. Radikalisme (terorisme) adalah bagian dari konspirasi. Seperti di sampaikan Dahnil Anzar Simanjuntak ketika melihat pola penanganan radikalisme (terorisme) oleh Densus 88. Ia melihat adanya konspirasi besar sebagai wujud state terorism. Seharusnya, pola penanganan harus dengan pola hukum, selama ini pola penindakan cenderung dilakukan diluar hukum dan melanggar HAM.

Berdasarkan pernyataan tersebut, penindakan dipandang sebagai bagian dari deradikalisasi. Ini berbeda dengan pemaknaan Deradikalisasi dari pemerintah yang hanya pada skala tertentu. Deradikalisasi sebagai suatu proses yang dilakukan melalui metode sistematis dalam rangka reintegrasi sosial yang diterapkan terhadap orang atau kelompok orang yang terpapar paham radikal terorisme, dengan tujuan untuk menghilangkan dan membalikkan proses radikalisasi yang telah terjadi (RUU Terorisme Perubahan 2017).

Dalam pemaknaan lain, deradikalisasi sebagai upaya mentransformasi keyakinan orang yang terpapar ideologi radikal-terorisme menjadi lebih moderat, toleran, plural dan menghargai perbedaan dengan pendekatan multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan lainnya). Atas dasar itu, upaya deradikalisasi lebih berorientasi pada perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran dan keyakinan seseorang. Dengan demikian, deradikalisasi memiliki program jangka panjang.

Sekretaris Umum PP Muhamamdiyah, Abdul Mukti memberikan penjelasan lebih implementatif. Moderasi yang digagas Muhammadiyah dengan deradikalisasi yang menjadi acuan negara dalam penanganan terorisme pada dasarnya memiliki orientasi yang sama, tetapi secara psikologis berbeda.

Moderasi atau moderasi beragama punya langkah prefentif sekaligus kuratif. Bahkan, pemakaian pertama istilah deradikalisasi adalah Amerika Serikat, dan justru saat ini Amerika Serikat sudah meninggalkan istilah itu. Peneliti Pusat Kajian Radikalisme dan Terorisme, Adhe Bhakti juga mengonfirmasi perubahan tersebut.

 Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya sudah banyak mengevaluasi penggunaan istilah-istilah di isu terorisme. Violent extremism menjadi istilah yang banyak digunakan. Hal ini karena ada banyak istilah yang tidak sesuai dengan konsepnya. Ketika konsep keliru maka akan berdampak pada implementasinya. Deradikalisasi bertujuan untuk melawan radikalisasi. Radikalisasi tidak semua muncul menjadi terorisme.

Hal senada juga di sampaikan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nasir. Menurutnya Muhammadiyah secara tegas menolak radikalisme atau ekstrimisme apapun bentuknya, termasuk terorisme dan tindakan teror. Para pelaku teror yang mengatasnamakan Islam. 

Justru pemahaman agama secara teoritis tidak sempurna dampaknya dalam aplikasi tidak selaras dengan substansinya. Moderasi menjadi pilihan karena pikiran seseorang menjadi radikal tidak semata-mata karena doktrin agama yang radikal dan revolusioner. Ada persoalan-persoalan dasar yang luput dilihat, yakni ketidakadilan (injustice) di banyak bidang.

Ketidakadilan memang masih menjadi pekerjaam rumah pemerintah yang belum selesai. Misalnya persoalan mayoritas dan minoritas tidak melulu tertuju pada perbandingan jumlah suku dan agama. Alasan kalangan radikalisme dan terorisme adalah kerinduan untuk hidup sejahtera, adil dan makmur.

Alasan ini terkesan absurd tetapi faktanya, mereka menyalahkan sistem dan praktik liberalisme yang menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi serta politik. Pada satu kasus, minoritas orang kaya mendominasi mayoritas orang miskin.

Data dari Credit Suisse Global Wealth Report memperlihatkan, 1 persen orang kaya Indonesia menguasai 49.3 persen kekayaan Negara. Jika dinaikkan, 10 persen orang kaya menguasai 75,7 persen kekayaan Negara. Tidak hanya itu, persoalan politik dan hukum yang tahun 2016 terjadi rententan Aksi Bela Islam menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat pada penegakkan hukum di Indonesia.

Oleh sebab itu, Muhammadiyah melihat terorisme di Indonesia dimulai dari penegakkan keadilan, pemihakan pemerintah kepada rakyat Indonesia, bukan segelintir orang. Di sisi lain, pemerintah melakukan moderasi pemikiran bersama-sama elemen masyarakat termasuk Muhammadiyah.

Oleh : Mahdi Temarwut (Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Fakultas Agama Islam UMM / Aktivis IMM Tamaddun FAI)

Related posts

Leave a Comment