Modernis.co, Jakarta – Marjinalisasi adalah usaha membatasi; pembatasan, istilah marginalisasi nilai-nilai ajaran islami, berarti membatasi atau menggeser nilai-nilai yang diajarkan dalam ajaran islam. Belakangan ini buming tentang peristiwa kementrian agama yang ingin menghapuskan beberapa istlah di dalam pendidikan agama islam, istilah-istilah tersebut dianggap akan menularkan doktrin kepada peserta didik menjadi orang dengan paham radikalisme.
Paham radikalisme inilah yang dikhawatirkan oleh kementrian agama, karena paham tersebut diajarkan kepada peserta didik di tingkat madrasah ibtidaiyah sampai tingkat aliyah, yang mana mereka sangat renta untuk mengikut dan manut-manut, sehigga doktrin radikalisme dapat merasuk ke dalam hati bahkan sampai tindakan, seakan-akan otak mereka telah dicuci untuk merasa memiliki paham paling benar.
Tidak hanya khawatir terhadap peserta didik di sekolah, rupanya pemerintah juga khawatir kepada jamaah masjid, sehingga setiap masjid ketika akan menyelenggarakan kajian harus memiliki lisensi dan pengawasan ketat oleh pihak keamanan Negara.
Kehawatiran itu menjadi argument kuat bahwa kementrian agama secara perlahan akan mengerogoti paham-paham radikalisme melalui cara relevan yaitu, mulai menghapuskan istilah-istilah dalam pendidkan agama islam yang berbau ajaran penentangan terhadap pemerintah dan penanaman paham melalui kajian-kajian di masjid akan diawasi secara ketat.
Argument kementrian agama dikuatkan oleh kenyataan, bahwa paham radikalisme mampu merusak tatanan system demokrasi, merusak system pancasila, karena menurut pandangan kementrian agama, paham radikalisme dihubungkan dengan nilai ajaran islam yang menganut aliran kanan extreme. Padahal agama islam sendiri tidak mengajarkan demikian, yang diajarkan dalam islam adalah radikal dalam berfikir dan bertindak (maju dan tajam dalam berfikir dan bertindak).
Tentu momen-momen ini akan menjadi polemik, khususnya pihak kontra bahwa dengan cara memarjinalisasikan nilai-nilai pendidikan islam akan melemahkan dan akan memojokkan umat islam dalam sudut pandang dunia, dan mengecam bahwa mayoritas umat islam di Indonesia adalah umat islam lemah anti perdamaian dan agama yang mengajarkan kekerasan.
Jika tali pada busur panah ditarik untuk melesatkan anak panahnya, maka harus ditarik kuat supaya anak panah bisa menembus jantung pertahanan, ibarat kita belajar sejarah, bahwa istilah radikalisme muncul ketika terjadi seranggan di America tepatnya di menara WTC, pada 11 september 2001, yang konon diketuai oleh orang islam. Pada saat itulah hujaman-hujaman kebencian mulai dilancarkan oleh mayoritas penduduk dunia.
Dari sejarah penyerangan menara WTC timbul dua dugaan, pertama umat islam memang sengaja dikesampingkan oleh kaum yang membenci dan tidak lapang ketika melihat perkembangan dan persatuan umat islam semakin singnifikan. Kedua, peristiwa itu menurut pandangan dunia mengklaim bahwa pelaku murni adalah umat islam.
Jika diambil poin pertama maka istilah radikalisme memang sengaja diberikan kepada umat islam, tapi dunia telah dicekoki paham yang memojokkan umat islam sehingga, seakan semua telah percaya bahwa islam adalah agama yang tidak mengajarkan perdamaian, agama yang tidak menjunjung persatuan. Akan tetapi semua itu hanyalah tuduhan dari kaum pembenci agama islam, sehingga dimunculkannya lah konspirasi.
Argument tadi menyataan bahwa paham radikalisme hanyalah buatan barat yang segaja memojokkan umat islam karena mereka takut umat islam semakin berkembang dan bersatu secara singnifikan.
Masalah tersebut menujukkan bahwa, istilah radikalisme yang diberikan kepada umat islam adalah made by Islamic heatrs, untuk menjatuhkan dan meminggirkan agama islam dari pandangan dunia dan mengklaim ajaran islam adalah agama intolelir. Rupanya pemerintah Indonesia gencar-gencarnya untuk memojokkan agama mayoritas di negri ini, bahwa pemerinta telah tercekoki paham dari konspirasi Islamic heatrs, untuk memarjinalisasikan nilai-nilai ajaran islam.
Marjinalisasi nilai-nilai ajaran islam yang buming di Indonesia akhir-akhir ini menjadi momok pembicaraan banyak pihak yaitu, DPR dan ORMAS ISLAM, kedua belah pihak ini sepakat bahwa, ketika kementrian agama memutuskan menghapus materi keagamaan berkaitan dengan fikih yaitu, materi khilafah dan jihad, kedua materi pelajaran ini dianggap akan memunculkan sikap nirdemokrasi.
Pihak kontra menyarankan bahwa, jangan dihapus materi pelajaran khilafah dan jihad, karena disitulah umat islam di indonesia akan mengerti sejarah peradaban umat islam terdahulu bisa berkembang pesat melalui dua jalur tersebut, jika materi ini dihapuskan maka secara otomatis umat islam di indonesia tidak akan mengerti sejarah peradaban islam terdahulu. Pihak kontra memberikan saran kepada kementrian agama bahwa, dua istilah tersebut jangan dihapuskan melainkan ditambahi keseratan makna yang mengajarkan akan nilai demokrasi.
Dalam masalah lain, ormas Islam mengecam tidak setuju bahwa pemerintah sebagaimana dilontarkan Wapres Ma’ruf Amin akan mengawasi (mamata-matai) masjid. Ini merupakan tindakan kurang tepat, karena masjid adalah tempat untuk beribadah tempat untuk munajat kepada illah, tempat yang mengajarkan kajian-kajan agama, tempat yang seharusnya mendatangkan ketentraman justru mendatangkan rasa khawatir dan was-was.
Tentu tindakan memarjinalisasikan niali-nilai ajaran islam adalah tindakan tanpa disadari akan mencamari reputasi umat islam di belahan dunia khususnya di Indonesia, mengapa selama ini yang diurus hanyalah tentang isu-isu radikalisme? Bukannya ada aspek lain yang lebih utama dan tidak mencemari reputasi umat islam, padahal dunia telah mengecam bahwa teroris tidak memiliki agama, mengapa islam di Indonesia gencar-gencarnya dituduh sebagai agama teroris?.
Oleh: Ahmad Fridaus, Kader Imm Tamaddun FAI UMM