Modernis.co, Malang – Ada sebuah istilah mengatakan, “To effectively communicate, we must realize that we are all different in the way we perceive and use this understanding as a guide to our communication with others or what the most important thing in communication is hearing what isn’t said.”
Istilah tersebut menyadarkan kita bahwa setiap dari kita semua memiliki cara yang berbeda-beda dalam memandang atau memahami sesuatu dan bagian terpenting dalam komunikasi adalah mendengarkan apa yang tidak terucap.
Jika kita berbicara tentang sosial maka kita berbicara tentang berinteraksi antara satu dan lainnya. Jika kita berbicara tentang sosial maka kita berbicara tentang komunikasi. Nah, lalu bagaimana dengan mereka yang berbeda? Bagaimana dengan mereka yang berkebutuhan khusus dalam bersosial dan berkomunikasi? Bagaimana cara mereka bisa memperoleh informasi dan berita yang sangat penting di zaman yang serba maju dan era millenial ini?
Majelis Umum PBB telah menyatakan 23 September sebagai Hari Bahasa Isyarat Sedunia untuk meningkatkan kesadaran akan pentinganya bahasa isyarat dalam perwujudan penuh hak asasi manusia dari orang-orang yang tuli. Berdasarkan World Federation of the Deaf (WFD), sekitar 62 juta orang mengalami tuli di seluruh dunia. Sekitar lebih dari 80% dari mereka, tinggal di negara berkembang dan menggunakan lebih dari 300 bahasa isyarat berbeda. Selain itu, kekurangan pada pendengaran sering berdampak pada kemampuan verbal pada orang dengan gangguan pendengaran sehingga mereka menggunakan bahasa isyarat dan bahasa tubuh untuk berkomunikasi.
Bahasa isyarat merupakan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan menggunakan gerak bibir dan bahasa tubuh, termasuk ekspresi wajah, pandangan mata, dan gerak tubuh. Selain itu, bahasa isyarat adalah gerakan-gerakan yang sudah disepakati maknanya dan digunakan untuk bertukar informasi.
Di Indonesia, terdapat dua bahasa isyarat yang digunakan, yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). BISINDO merupakan bahasa isyarat yang muncul secara alami dalam budaya Indonesia dan praktis untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga BISINDO memiliki beberapa variasi di tiap daerah.
Sementara itu, SIBI merupakan sistem isyarat yang yang diakui oleh pemerintah dan digunakan dalam pengajaran di Sekolah Luar Biasa untuk Tunarungu (SLB/B). Salah satu perbedaan BISINDO dan SIBI yang cukup terlihat adalah BISINDO menggerakkan dua tangan untuk mengisyaratkan abjad, sedangkan SIBI hanya menggunakan satu tangan saja.
Selain itu, perbedaan utama SIBI dan BISINDO terletak pada tata cara berbahasa. BISINDO yang telah digunakan sebagai keseharian oleh teman tuli mengandung kosa isyarat yang simbolis. Selama makna dari sebuah kata terwakili, maka kosa isyarat yang sederhana dari BISINDO sudah cukup. Sementara itu, SIBI memang dibuat untuk mengajarkan sistem Bahasa Indonesia kepada teman tuli.
Aturan-aturan penggunaan kosa isyarat pada SIBI lebih rumit dan berjenjang, seperti adanya penggunaan awalan dan akhiran untuk setiap kata. Pada SIBI, banyak pula kosa isyarat yang diadaptasi dari Bahasa Isyarat Amerika (American Sign Language) sehingga konteksnya dirasa kurang sesuai bagi teman tuli. BISINDO dan SIBI tidak terbatas hanya digunakan untuk teman-teman tuli saja, tetapi juga bisa digunakan oleh teman dengar atau orang yang tidak memiliki gangguan pendengaran dan bicara.
Bahasa isyarat pada zaman millenial kini kian terlupakan. Bahkan, hingga kini di era yang modern ini hanya ada beberapa televisi yang menggunakan penerjemah (interpreter) bahasa isyarat. Padahal hampir semua stasiun televisi yang ada di Indonesia memiliki program siaran berita yang memberikan informasi dari dalam dan luar negeri. Namun, dalam kenyataan yang ada pada saat ini, kaum penyandang tunarungu masih kesulitan untuk mendapatkan informasi melalui media televisi salah satunya adalah program berita.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28F berbunyi, bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan saluran yang berbeda (UUD `45, 2015:22).
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut seluruh informasi yang diberikan dan didapatkan warga negara haruslah informasi yang benar terjadi adanya dan tetap mengacu pada etika yang telah ditetapkan sebelumnya. Informasi yang diberikan dapat disampaikan melalui media tulisan, gambar, suara atau bahkan gambar dan suara seperti siaran berita yang ada di televisi.
Kawan-kawan, media pada saat ini, sudah seharusnya memperhatikan kebutuhan para penyandang tunarungu. Kebutuhan para penyandang tunarungu saat ini adalah sulit untuk mendapatkan akses mengenai informasi, terutama berita pada siaran televisi. Para penyandang tunarungu sudah semakin sadar dengan informasi. Dengan kesadaran inilah para penyandang tunarungu berharap agar berita-berita yang ada di media televisi menggunakan interpreter bahasa isyarat.
Jika media pada saat ini tidak dapat kita harapkan kawan-kawan, maka sudah sepatutnya kitalah kaum jiwa muda yang memulai. Kita bisa membantu dalam mempertahankan atau bahkan mengembangkan eksistensi bahasa isyarat pada zaman millenial saat ini.
Bagaimana caranya? Kita bisa ikut sebuah komunitas atau organisasi yang memiliki sebuah gerakan demi kesejahteraan tunarungu, atau bahkan jika peran kita sebagai agent of change kita bisa membuat suatu gagasan ataupun suatu alat penemuan modern yang membawa hal-hal berkaitan dengan bahasa isyarat di zaman industri 4.0 ini. Jangan biarkan eksistensi bersosial dengan bahasa isyarat pada zaman millenial menjadi kian terlupakan.
Oleh: Aulia Mirza Aziza (Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang)