Modernis.co, Jakarta – Demokrasi tidak hanya diukur dari hadirnya pemilu setiap lima tahun, tetapi juga dari cara negara memperlakukan aspirasi rakyat dalam kesehariannya. Dalam tradisi demokrasi, sebuah kebijakan dianggap sah bukan semata karena dasar hukumnya, melainkan karena proses lahirnya melibatkan partisipasi warga, transparansi, dan akuntabilitas.
Fenomena yang kini terjadi di Indonesia, ketika DPR menyetujui kenaikan tunjangan rumah anggota legislatif hingga Rp50 juta per bulan di tengah kondisi ekonomi yang melemah, adalah cermin betapa prinsip demokrasi deliberatif kian dipinggirkan. Ketika keputusan diambil tanpa memperhitungkan nadi kehidupan rakyat, maka jalanan menjadi panggung perlawanan yang tak terelakkan.
Gelombang aksi yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025 menegaskan bahwa rakyat tidak lagi hanya mengandalkan saluran formal. Dari Jakarta hingga Makassar, massa bergerak, sebagian besar dipicu oleh ironi kesenjangan yang begitu telanjang. Data dari The Guardian (26/08/2025) mencatat bahwa tunjangan rumah legislator mencapai sepuluh kali lipat Upah Minimum Provinsi Jakarta, sementara di saat bersamaan, angka kemiskinan kota meningkat akibat inflasi dan pemutusan hubungan kerja.
Ketimpangan ini tidak lagi bisa ditutupi oleh retorika politik. Protes rakyat diperparah dengan tragedi kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, yang diduga tewas akibat kendaraan taktis aparat saat demonstrasi. Kasus ini bukan sekadar insiden, tetapi simbol dari wajah negara yang gagal melindungi warganya.
Kemarahan publik juga dipicu oleh kebijakan anggaran yang tak berpihak. Di Kabupaten Pati, Bupati Sudewo sempat mengusulkan kenaikan pajak bumi dan bangunan hingga 250 persen. Tanpa komunikasi publik yang memadai, kebijakan tersebut menimbulkan gelombang protes besar, diikuti aksi bakar ban dan demonstrasi massal yang mencapai ratusan ribu orang.
The Australian (27/08/2025) menulis, kenaikan pajak hingga seribu persen di beberapa wilayah menjadi pemantik keresahan yang menjalar ke sektor pertanian dan perdagangan lokal. Situasi ini menegaskan betapa kebijakan yang lahir dari ruang tertutup, tanpa konsultasi publik, akan melahirkan resistansi rakyat.
Dari perspektif teori politik, fenomena ini dapat dipahami melalui kerangka Resource Mobilization Theory. Teori ini menegaskan bahwa keberhasilan gerakan sosial tidak hanya ditentukan oleh besarnya ketidakpuasan, tetapi juga oleh kapasitas organisasi dan akses terhadap sumber daya.
Aksi mahasiswa, serikat buruh, hingga pengemudi ojol yang berkoordinasi melalui media sosial memperlihatkan bahwa rakyat kini semakin piawai memobilisasi diri. Gerakan ini menunjukkan transisi dari kekecewaan individual menuju solidaritas kolektif.
Selain itu, Political Opportunity Theory juga relevan untuk menjelaskan munculnya perlawanan. Rakyat membaca adanya krisis legitimasi politik, pemerintah dan parlemen terlihat lebih sibuk mengamankan kenyamanan elit ketimbang mendengar aspirasi. Momentum itu menjadi celah politik bagi rakyat untuk menekan dari luar sistem.
Teori ini menegaskan bahwa protes besar selalu terjadi ketika institusi formal gagal memberi ruang partisipasi. Ketika pintu parlemen tertutup, jalanan menjadi forum perlawanan alternatif.
Jurgen Habermas melalui Theory of Communicative Action membedakan antara tindakan komunikatif yang mengarah pada kesepahaman melalui dialog rasional dan tindakan instrumental yang hanya mengejar tujuan sepihak. Kebijakan elit politik di Indonesia akhir-akhir ini lebih mencerminkan tindakan yang sepihak, menaikkan tunjangan, menetapkan pajak, hingga melibatkan militer dalam ranah sipil, semua dilakukan tanpa ruang dialog publik yang luas.
Legitimasi yang dihasilkan hanya legal-formal, bukan legitimasi diskursif. Padahal, demokrasi yang sehat menuntut adanya ruang publik (public sphere) tempat warga bisa berdiskusi secara setara. Ketiadaan ruang itu menjelaskan mengapa perlawanan rakyat begitu sangat keras.
Dampak dari absennya ruang deliberatif dapat dilihat pada krisis legitimasi. Warga merasa diperlakukan sekadar sebagai objek kebijakan, bukan subjek yang setara. Mereka tidak diberi ruang untuk memberi masukan, bahkan suara kritik sering dibungkam dengan pendekatan keamanan. Dalam sejumlah laporan media, aparat kepolisian diketahui melakukan penangkapan terhadap ratusan demonstran di Jakarta.
Tindakan ini menuai kritik karena dianggap mengerdilkan hak warga untuk menyampaikan pendapat secara damai. Padahal, dalam demokrasi, protes adalah ekspresi politik yang sah. Hilangnya ruang aman bagi ekspresi rakyat menandakan menyempitnya ruang publik. Demokrasi kian rapuh jika kritik selalu dipandang sebagai ancaman, bukan sebagai bahan untuk refleksi.
Resistansi rakyat juga dapat dibaca melalui lensa teori kontrak sosial Rousseau. Dalam pandangan Rousseau (1762), pemerintah memperoleh legitimasi hanya sejauh ia menjalankan kontrak sosial yang berakar pada kehendak umum. Begitu pemerintah mengkhianati kehendak umum dengan memutuskan kebijakan yang merugikan mayoritas, kontrak itu patah. Perlawanan rakyat yang kini terjadi adalah upaya untuk mengingatkan bahwa kontrak sosial tidak boleh dimonopoli elit.
Dalam konteks Indonesia, perlawanan ini juga menunjukkan krisis kepercayaan. Data Financial Times (28/08/2025) menunjukkan pasar keuangan bereaksi negatif IHSG anjlok 1,5 % dan rupiah melemah 0,8 % pasca demonstrasi. Indikator ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi cerminan menurunnya kepercayaan terhadap stabilitas politik. Artinya, represi bukan solusi justru memperparah krisis legitimasi dan memperlebar jurang antara negara dan rakyat.
Pelajaran
Pelajaran penting dari rangkaian perlawanan rakyat ini adalah bahwa demokrasi tidak bisa bertumpu pada retorika, melainkan harus hidup dari praktik partisipasi yang nyata. Transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas bukan sekadar jargon, melainkan syarat moral bagi kebijakan publik. Jika tiga hal itu diabaikan, maka yang tersisa hanyalah demokrasi prosedural yang miskin makna.
Rakyat akan terus melawan, bukan karena mereka benci negara, melainkan karena mereka ingin negara kembali ke jalur yang benar menjadi rumah bersama, bukan milik segelintir elit. Dalam situasi ini, pemerintah harus berani membuka forum komunikasi publik, melakukan evaluasi kebijakan secara deliberatif, dan mengembalikan ruang sipil yang kini terancam oleh pendekatan represif.
Demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi yang sunyi dari kritik, melainkan demokrasi yang berisik oleh dialog. Jika pemerintah terus menutup telinga, rakyat akan terus berteriak. Jika ruang publik terus disempitkan, jalanan akan selalu menjadi pengganti.
Perlawanan rakyat adalah tanda kehidupan demokrasi, bukan ancamannya. Ia adalah alarm keras bahwa ada yang salah dalam relasi antara negara dan warganya. Alih-alih merespons dengan represi, pemerintah seharusnya menjadikannya sebagai refleksi. Demokrasi boleh disunat oleh kebijakan elit, tetapi rakyat akan selalu menemukan cara untuk melawan. Dan perlawanan itu, sejauh ia berakar pada aspirasi moral dan keadilan, akan terus menjadi energi yang menjaga demokrasi agar tidak mati.
Oleh: Aris Munandar (Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)