Modernis.co, Malang – Indonesia nampaknya masih dilema dengan sistem pendidikannya, baik internal maupun eksternal, baik yang terencana maupun yang lengah, baik yang dipertimbangkan dampak menyeluruhnya maupun yang hanya dipilih karena euforia sekejapnya. Pendidikan merupakan hajat mustahak bagi kehidupan umat manusia, yaitu untuk menciptakan manusia yang berkompeten, yang akan mengusung Indonesia di percaturan dunia. Namun, Jangankan untuk skala dunia, bila di tanah air sendiri saja sudah disekat oleh Kemendikbud.
Setelah beberapa waktu lalu memproduksi kurikulum K13 dan Full Day School, kini Kemendikbud kembali menuai kontroversi atas kebijakan sistem zonasi dalam PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Permendikbud Nomor 14 tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Kemendikbud merupakan pengganti bagi Permendikbud Nomor 17 tahun 2017 tentang PPDB, dimana pada peraturan baru ini setiap sekolah harus mengenakan sistem zonasi. Pemda yang melanggar akan dikenai sanksi sesuai Permendikbud nomor 51 tahun 2018.
Dari sini Kemendikbud telah memberatkan tiga pihak. Pertama, pihak sekolah, disini sekolah unggul harus mau menerima siswa dengan kapabilitas ringan, dan siswa tersebut pun harus bergulat dengan siswa lain yang mempunyai kapabilitas tinggi, tentu saja sekolah harus memberi perhatian lebih dan mau tidak mau harus kehilangan status sosialnya perlahan. Kedua, siswa, mereka yang bernilai bagus harus rela masuk di sekolah yang bisa dibilang biasa saja, sehingga minat bakatnya tidak dapat terwadai karena di sekolah dekat rumahnya fasilitasnya masih terbatas. Yang ketiga, yakni wali siswa yang merasa kecewa dan kebingungan.
Alasan Kemendikbud untuk meratakan pelayanan pendidikan harus mengorbankan ketiga pihak tersebut diatas. sedangkan disisi lain untuk meratakan pelayanan pendidikan dapat dimulai pada aspek lain, yakni peningkatan kualitas dan kuantitas pendidik untuk mewujudkan tujuan pendidikan, begitu pula pada sarana prasarana untuk memenuhi kebutuhan sekolah guna menjawab ketimpangan pendidikan yang dimaksud, harus ditingkatkan. Hal ini mesti dilakukan dengan konsisten, intensif, dan kontinu, serta menyeluruh hinggga ke pelosok negeri.
Tatkala kualitas pada aspek-aspek tersebut sudah mudah di dapatkan hingga ke pelosok negeri, maka terciptalah pemerataan pelayanan pendidikan. Sehingga, tidak ada siswa, wali siswa, dan sekolah yang terdzalimi. Dikutip dari DetikNews, Gubernur Bali, “Wayan Koster, menyebut bahwa Permendikbud justru mengorbankan siswa yang akan masuk sekolah.” Di Bali belum memiliki SMK dan SMA sendiri, sekolah terdekat pada jenjang tersebut terdapat di Denpasar, hal ini mengakibatkan siswa terancam tidak mendapat jatah kursi.
Sistem Zonasi mengorbankan sekolah swasta. Wakil Ketua Ikatan Kepala Sekolah Swasta (IKKS), Surdamo, menyatakan bahwa Sistem Zonasi ini membebani sekolah swasta, pasalnya sekolah swasta kesulitan mendapat siswa pada PPBD tahun 2019 karena terkendala jarak dan kalah bersaing dengan sekolah negeri, apalagi pada sekolah swasta yang tidak mempunyai ciri khas dan menyebabkan sekolah tidak membuka PPBD di tahun ini. Wali siswa yang anaknya tidak masuk pada sekolah negeri akan memilih sekolah swasta yang sudah dikenal.
Sebagai contoh, ada beberapa sekolah swasta di Tabanan yang menjadi korban pada PPBD tahun 2019, yakni SMA Kerta Wisata yang tidak mendapat siswa dan terancam tutup. Hal serupa terjadi di SMA TP 45 Tabanan yang terletak berdekatan dengan SMAN 1 Tabanan sehingga kalah bersaing dengan, karena siswa dan wali murid lebih memilih sekolah negeri SMA TP 45 Tabanan hanya menerima kurang dari 20 siswa, hal ini tidak sesuai standar, sehingga tahun ini mereka tidak membuka PPBD.
Perkara ini juga terjadi pada SMA PGRI 6 Bajera, yang tidak membuka siswa pada PBBD tahun 2019. Pasalnya sekolah ini hanya menerima 6 siswa, bahkan menyarakan agar pendaftar pindah ke sekolah negeri saja. Kini sekolah ini hanya memilik 21 siswa kelas II. Hal serupa pun terjadi di SMP Kristen 4 Solo yang terpaksa menutup gerbang dan memindahkan anak didiknya ke SMP Kristen 3 Solo. Pada hal ini sekolah negeri banyak diminati, karena dekat dari rumah siswa, siswa dan wali merasa aman dengan Sistem Zonasi karena otomatis diterima, sedangkan sekolah swasta menderita. Memang terkesan berat sebalah.
Kebijakan yang kurang analisis. Selain merugikan pihak sekolah, siswa juga menjadi korban. Dikutip dari JPPN.Com, “447 siswa tamatan SD putus sekolah lantaran tak punya biaya ke swasta.” kejadian ini berada di kota Tarakan. Banyaknya siswa yang tidak dapat melanjutkan mimpinya tersebut perlu diberi perhatian. Terkadang memang ada suatu daerah padat penduduk namun tidak mempunyai bangunan sekolah, hal ini menyebabkan anak tersisih dari zonasi, dan menjadikan mereka kebingungan mencari sekolah.
Sistem Zonasi ini agaknya memiliki empat pengaruh pada kehidupan pendidikan di Indonesia. Pertama, diadakannya Sistem Zonasi menyebabkan tingkat kompetisi antar siswa dan antar sekolah menjadi berkurang. Siswa yang terpaksa bersekolah di sekolah tertentu karena sistem zonasi tentu saja mudah disisihkan oleh siswa jalur prestasi, dan hanya akan menjadi penonton. Pada sekolah, dengan digantinya nilai menjadi jarak tentu saja dapat merontokkan persaingan antar sekolah untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Jika sudah begini otomatis akan kembali ke siswa, siswa menjadi tidak termotivasi untuk belajar agar mendapat nilai bagus, toh sudah ada sekolah bagus di dekat rumah.
Kedua, membatasi dan membunuh ruang gerak siswa dalam meraih mimpinya. Seorang siswa dengan nilai bagusnya namun tanpa prestasi ingin bersekolah di sekolah tertentu, namun gagal oleh sistem zonasi. Atau seorang siswa dengan kelebihannya kurang dan atau tidak terwadai minat bakatnya akibat dari fasilitas sekolah dekat rumahnya yang kurang dan atau tidak memadai untuknya. Atau seorang siswa dengan kemampuan dibawah rata-rata harus masuk di sekolah negeri favorit yang notabene merupakan sarang bagi siswa pandai.
Seorang siswa yang telah berusaha mati-matian dalam belajar untuk masuk sekolah yang diinginkan seketika lenyap, karena siswa lain dengan mudah mendapatkannya. Hal ini berlaku pada wali siswa, karena tak ada pilihan lain, mungkin juga karena faktor finansial, maka jarak harus menjadi alasan bagi wali siswa untuk menggugurkan sendiri mimpi anaknya dalam bersekolah. Seorang siswa lagi-lagi dipertanyakan haknya untuk mendapatkan pendidikan. Hak tidak dapat dipaksa dan direbut. Hak yang bersifat tidak bisa dibagi kini terakali.
Ketiga,sekolah tidak membuka PPBD dan terancam tutup. Banyaknya keluhan sekolah yang hanya menerima belasan bahkan satuan peserta didik baru di PPBD tahun 2019 adalah suatu keniscayaan yang tak dapat ditolak realitanya. Keempat, pada kesempatan ini oknum pencari keuntungan akan dikayakan dengan susahnya mencari sekolah impian. Siswa yang ingin masuk disekolah keinganannya atau siswa yang tidak diterima karena jarak bisa saja masuk gerbang depan sekolah lewat gerbang belakang.
Jika sempat untuk mengingat, Indonesia merupakan negara majemuk dengan konsep Bhineka Tunggal Ika, maka dengan sistem zonasi siswa akan terganggu akitvitasnya dalam mengenal satu sama lain yang berjauhan tempat tinggalnya. Maka sistem zonasi ini sejatinya dapat mengurangi nilai ke-bhineka-an tersebut. Sesuai dengan penciptaan manusia yang diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal. Jika sistem zonasi diterapkan, bukan tidak mungkin kemampuan untuk memahami nilai keberagaman akan diambil alih nilai keseragaman.
Sistem Zonasi jika hendak diteruskan nampaknya perlu direvisi, dan perlu dilakukan lagi analisis yang mendalam pada siswa, wali siswa, dan sekolah hingga ke gang-gang sempit pendidikan di tanah air. Namun melihat dampak yang seperti tersebut di atas dan yang termuat pada media, ataupun yang belum tampil di media, hendaknya pemerintah menghentikan sistem zonasi pada PPBD, daripada mencoret kembali kain putih di bagian lain, alangkah baiknya pemerintah mencoba membenahi dan membersihkan kain putih tersebut agar putihnya tetap suci.
Artinya, masih banyak masalah pendidikan di Indonesia yang perlu ditanggapi terlebih dahulu agar pelayanan pendidikan dapat dengan mudah dirasakan seluruh rakyat indonesia yang notabene merupakan haknya sebagai warga negara demokrasi ini. Yang perlu digarap terlebih dulu ialah meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga pendidik. Karena dengan kualitas tentu pendidik dapat memberi pengajaran yang baik sehingga kemampuan peserta didik pun merata, karena dibimbing oleh tenaga pengajar yang profesional.
Pendidik yang profesional akan menghasilkan kecerdasan yang merata pada peserta didik melalui metode belajar yang tepat saat proses pembelajaran, hal ini dapat berujung pada hilangnya stigma sosial antara sekolah favorit dan non favorit. Selain dari kualitas pendidik, untuk mendukung kesuksesan ini juga perlu peningkatan kuantitas pendidik. Selama ini Negeri Ibu Pertiwi memang kekurangan tenaga pendidik, alhasil pada daerah pelosok, tak jarang ada bangunan sekolah namun tidak terdapat tenaga pendidik.
Kurangnya tenaga pendidik juga ditandai dikerahkan TNI untuk menjadi tenaga pendidik, seperti yang terjadi di perbatasan Indonesia-Papua Nugini dan perbatasan Indonesia-Timor Leste, serta daerah pelosok negeri lain yang belum termuat pada media. Jika jumlah pendidik yang profesional telah terpenuhi untuk melayani segenap warga negara, maka akan terjadi pemerataan pelayanan pendidikan. Namun kualitas dan kuantitas pendidik pun harus dibarengi dengan fasilitas pendidikan lainnya, salah satunya adalah bangunan sekolah.
Bangunan sekolah menjadi suatu yang sangat urgen untuk keberlangsungan proses belajar mengajar. Tak bisa ditutupi, bahwa kondisi bangunan sekolah di tanah air masih banyak yang memprihatinkan bahkan tak layak pakai. Sebaiknya upaya untuk memberi akses pendidikan juga harus dipastikan ketersediaan bangunan sekolah yang memadai dan layak pakai. Karena tentu bagi pendidik dan peserta didik pun menginginkan bangunan sekolah yang baik. Bangunan sekolah juga harus disertai dengan fasilitas pendukung yang dapat menunjang kegiatan siswa.
Namun, jika biaya sekolah tetap mahal, ya sama saja. Jika kesejahteraan pendidik masih runyam, ya sama saja. Siswa yang tak mampu mau dikemanakan? Guru yang bergaji minim mau makan apa? Guru harusnya mendapat gaji yang tinggi sepadan dengan perannya untuk menciptakan generasi yang berkompeten, toh hasilnya untuk negara. Biaya sekolah yang mahal, harus diturunkan untuk memberi kesempatan pada semua untuk merasakan manisnya bangku pendidikan.
Jika kuantitas dan kualitas guru profesional di masing-masing bidangnya sudah memadai untuk melayani warga negara, bangunan sekolah sudah senang dijumpai, fasilitas penunjang dapat dirasakan, gaji yang sehat bagi pendidik serta biaya yang ringan bagi siswa, maka secara otomatis setiap warga negara dapat dengan mudah memperoleh haknya untuk mengenyam pendidikan. Masih banyak hal yang mendasar untuk memperbaiki mutu pendidikan di tanah air daripada harus membuat resah setengah negara, tapi malah tak dipandang. Sekali-kali tidak, tolong jangan sering melihat mereka yang ditengah, apalagi diatas, lihatlah langsung ke bawah.
Oleh : Imam Fahrudin (Mahasiswa Jurusan Tarbiyah FAI-UMM