Modernis.co, Malang – Aku tak butuh Tuhan. Tapi aku butuh surga untuk hidup enak tapi kekal. Ibadah hanya soal ritual tanpa kehadiran Tuhan. Sebab ibadah telah menjadi tujuan. Ibadah berubah sebagai ‘alat-tukar’ hidup enak di surga. Transaksional bukan hanya di ranah demokrasi atau politik tapi juga sudah masuk pada wilayah mahdhah. Dan ini adalah petaka.
Mudah memilah hanya dengan bentuk pakaian dan janggut, kita bisa tahu dari mana saudara kita berasal, dari salafi atau tabligh atau HT atau NU. Kita juga dengan mudah membedakan kerumunan yasinan, tahlilan, manakiban, dhiba, burdah dengan halaqah atau dhaurah dengan majelis maulid atau forum.
Fiqh bukan semata soal beda ritual yang di debat ramai. Bukan hanya tentang jumlah rakaat dan formasi shalat tarweh apalagi soal tempat dimana shalat Iedain di laksanakan. Gamis bukan hanya sekedar pakaian yang dikenakan. Atau sarung yang dilipat bahkan kopyah atau surban yang di taruh di atas kepala.
Tapi ini soal identitas. Keinginan untuk mendapat legitimasi pengikut dan umat. Sekaligus berfungsi sebagai pembeda antar firqah. Untuk satu sikap agar bisa saling mengklaim paling benar.
Imam Malik bin Anas beda dengan Imam a- Syafi’i atau Muhamad bin Idris sebanyak 5,679 ikhtilaf. Tapi keduanya tetap akur. Buya HAMKA membaca qunut shalat shubuh karena ma’mumnya ada Kyai Idham Chalid. Begitu pula dengan guru-guru yang lain, semua berikhtilaf dan itu menjadi bagian dari keteladanan bagaimana berbeda, dengan tidak saling merendahkan apalagi saling menyesatkan dan membid’ahkan, seperti yang hari ini lazim dilakukan para ulama saling, sindir dan nyir-nyir, mentahdzir ketika ada kolega sesama ulama tergelincir lidah.
Paham keber-agama-an umat Islam terus menyusut. Karena Islam hanya sebatas fiqh-semacam ritual bagaimana menghamba. Fiqh juga direduksi dan dipahami hitam-putih, kering tanpa spiritualitas. Ibadah hanya soal transaksi benar dan salah, baik dan buruk.
Gamis, Jenggot, Dhiba, Yasinan hingga khilafah, lafal niat atau basmalah yang dibaca sirr, membaca sayidina atau tidak atau ribuan ikhtilaf yang lain, hanyalah soal identitas sebagai peneguhan apakah seseorang menjadi NU, MUHAMADIYAH, Salafi, tabligh, LDII bahkan Syiah yang alas sujudnya mengimpor batu dari Karbala.
Kita telah masuk pada ruang yang sangat sempit. Islam hanya sebagai alat untuk menegakkan kedaulatan personal, kemudian direduksi menjadi sebuah kepentingan kelompok atau kabilah. Lantas lantang berkata: kami akan tegakkan syariat Islam, padahal sebaliknya.
Fiqh identitas mengemuka lebih karena tak utuh memahami, cenderung parsial dan memilih yang bersesuai dengan selera. Dan agama kemudian tunduk pada kepentingan pasar maka berlaku hukum need and demand. Seperti Islam politik yang saat ini banyak permintaan. Lantas dibuatlah berbagai atribut dan identitas sesuai permintaan market. Ini memang kita yang konyol.
Wallahu ta ‘ala a’lam
Oleh: KH. Nurbani Yusuf (Pegiat Komunitas Padhang Makhsyar Malang/Kiayi Muhammadiyah Malang)