Modernis.co, Jakarta – Perekonomian global dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren menurun dan diprediksi oleh Bank Dunia akan menjadi resesi pada tahun 2023. Sebagai fenomena ekonomi global, kondisi tersebut akan mempengaruhi setiap negara, termasuk Indonesia.
Karya penulisan ilmiah ini bertujuan untuk penggambaran kemampuan fundamental ekonomi Indonesia dalam studi literatur kualitatif berdasarkan lima indikator selama krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008, dengan situasi ekonomi Indonesia saat ini. Hasil dan pembahasan menunjukkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia dinilai cukup siap dan stabil menghadapi ancaman krisis ekonomi global pada tahun 2023.
Namun, sebagai negara yang bergantung pada hubungan ekonomi global, Indonesia secara tidak langsung atau langsung akan berdampak pada fluktuasi ekonomi dan inflasi yang terjadi di banyak negara selama krisis, karena krisis ekonomi akan memiliki dampak sosial dan politik.
Dari pengaruh adanya isu resesi 2023 terhadap petumbuhan ekonomi diharapkan bahwa Indonesia harus fokus menjaga pasokan kebutuhan dasar, membangun ekonomi, dan mendukung stabilitas politik dan keamanan.
Ekonomi dunia dapat diibaratkan sebagai aliran darah yang terus bergerak untuk melakukan aktivitas organ tubuh dengan baik. Pergerakan ekonomi dipengaruhi oleh berlanjutnya transaksi moneter antar masyarakat, kelompok, dan negara. Jika ekonomi suatu negara terganggu, itu akan berdampak pada negara lain.
Demikian juga jika terjadi krisis ekonomi di satu negara, maka secara tidak langsung juga akan mempengaruhi negara lainnya. (Sari, Hapsari, dan Salsabila, 2023:1023).
- baca juga: Untung Rugi Pabrik Semen Kutai Timur
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan konsumsi ekonomi yang tinggi, stabilitas keuangan Indonesia masih bergantung pada perekonomian internasional. Pada awal tahun 2020 dunia menghadapi badai COVID-19 yang membuat semua negara mengalami kesulitan mengendalikan penyebaran virus yang banyak merenggut nyawa.
Sebelumnya, tidak ada negara yang meramalkan bahwa virus akan mengancam untuk melumpuhkan semua aktivitas dan mobilitas manusia di seluruh dunia. Berbagai masalah muncul, seperti kekurangan obat-obatan, kapasitas rumah sakit yang tidak mencukupi, kelangkaan APD, dan penyebaran virus yang begitu cepat sehingga setiap negara harus membatasi kegiatan ekonomi.
Proses produksi barang terhambat, penguncian, dan jarak sosial membatasi mobilitas manusia dengan menjaga jarak aman dari orang lain dan bekerja di rumah. Bahkan kegiatan ibadah pun dilakukan di rumah. Perlahan-lahan kondisi global mulai terkendali, dan banyak negara mulai memulihkan kegiatan ekonominya. Sementara itu, selama pemulihan pasca COVID-19, dunia kembali menghadapi situasi geopolitik yang bergejolak.
Perang Rusia-Ukraina membuat banyak negara mengalami kesulitan mengendalikan harga pangan dunia. Di sisi lain, Rusia dan Ukraina adalah negara penting di pasar minyak, gas, gandum, energi, makanan, dan pupuk global. (Khasanah dan Sunarya, 2023:8).
Hal ini akan berdampak mengganggu arus barang ke negara-negara yang membutuhkannya. Akibatnya, beberapa negara mengalami kekurangan bahan baku dan produksi terganggu (Hutagaol, Sinurat,dan Shalahuddin, 2022:384).
Akibat kondisi pasar global yang tidak menentu, resesi 2023 diprediksi akan terjadi di beberapa negara. Hal ini dipicu oleh kenaikan suku bunga oleh bank sentral, yang dilakukan secara agresif untuk mengendalikan tingkat inflasi. (Aulya, 2022:7905).
Bank Dunia memprediksi ancaman serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang dan negara berkembang. Pertumbuhan global melambat tajam, dengan perlambatan lebih lanjut mungkin terjadi karena lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi.
Nomura Holdings Inc. memprediksi negara-negara yang akan memasuki resesi pada tahun 2023 karena pengetatan kebijakan suku bunga dan meningkatnya biaya hidup, termasuk Zona Euro, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Kanada, Australia, dan Amerika Serikat, yang merupakan negara anggota G20 dan G7 yang telah ditulis dalam laporan analisis keuangan kedepannya milik Nomura Holdings Inc. (Nomura, 2022:1).
Meskipun Indonesia tidak termasuk dalam daftar negara, diprediksi Indonesia akan terpengaruh jika fundamental ekonominya tidak kuat. Menurut Agus Martowardoyo (2018:1), beberapa indikator menjadi tolok ukur untuk menganalisis kemampuan Indonesia bertahan jika terjadi resesi global pada 2023: nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS, inflasi; pertumbuhan ekonomi; dan total utang luar negeri.
Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis kondisi dunia, khususnya kemampuan dan pengaruh terhadap Indonesia dalam menghadapi ancaman resesi global melalui analisis faktor-faktor yang terjadi di Indonesia dengan membandingkan kondisi saat krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008 dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini.
Dengan demikian, tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji secara mendalam skenario potensi resesi ekonomi global yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2023, menganalisis kondisi fundamental ekonomi Indonesia berdasarkan indikator resesi, serta mengamati seberapa besar pengaruh kondisi ekonomi global tersebut terhadap Indonesia.
Tulisan ini dapat menjadi salah satu gambaran kondisi perekonomian Indonesia yang nantinya jika terjadi krisis ekonomi global. Selain itu, hasil dari penulisan ini dapat digunakan sebagai acuan bagi para pemangku kepentingan untuk merumuskan kebijakan yang tepat sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia.
Kondisi Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2023 Indonesia
Menurut Bank Indonesia, inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara terus menerus selama periode waktu (Effendi, 2023:639). Inflasi tidak selalu buruk jika masih terjadi dalam batas wajar perekonomian nasional masing-masing negara.
Untuk mengukur kesiapan Indonesia menghadapi resesi global, dapat dilakukan perbandingan terhadap kondisi perekonomian Indonesia pada tahun-tahun krisis keuangan di tahun 1998, 2008, dan saat ini melalui beberapa faktor yang dijadikan acuan oleh Bank Indonesia Agus Martowardoyo (2018) sebagai berikut pada Tabel 1.
No. | Indikator | 1998 | 2008 | 2022 |
1. | Pertumbuhan Ekonomi | -13.16% | 6.1% | 5.7% |
2. | Inflasi | 82.40% | 12.14% | 5.71% |
3. | Jumlah Pengangguran | 5.46% | 7.21% | 5.83% |
4. | Perubahan Mata Uang Rupiah dengan USD | 15.387 | 12.650 | 16.650 |
5. | Total Hutang Luar Negeri | 150.8 | 155.08 | 400.4 |
Pertama, dari aspek pertumbuhan ekonomi, dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kondisi yang jauh berbeda dengan krisis keuangan tahun 1998 dan cenderung mirip dengan kondisi tahun 2008.
Namun, berbeda dengan kondisi tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 jauh lebih baik dibandingkan banyak negara besar lainnya, seperti China sebesar 3,9 persen, AS sebesar 1,8 persen, Uni Eropa sebesar 2,1 persen, Jerman sebesar 1,2 persen, dan Korea Selatan sebesar 3,1 persen. Pertumbuhan ekonomi berada di atas target 5,2% pada tahun 2022, dan pada tahun 2023 diproyeksikan tumbuh sebesar 5,3%, seperti yang dilaporkan oleh Bank Dunia. (Yukti, Supriadi, dan Ariyadi, 2020:2).
Aktivitas ekonomi Indonesia diperkirakan tetap stabil di tengah ancaman global,Hal ini dikarenakan Indonesia masih dapat mempertahankan tingkat inflasi dan kebijakan pengetatan moneter yang diterapkan.
Kedua, pergerakan harga (inflasi) di Indonesia masih relatif aman sebesar 5% dibandingkan tahun 1998 yang mencapai 82,4%, dan tahun 2008 mencapai 12,14%. Kondisi ini diharapkan karena kesejahteraan masyarakat meningkat, dan angka pengangguran menurun. Selain itu, dibandingkan tahun 2008, persentase penduduk miskin Indonesia telah turun secara signifikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2008 berjumlah 37,17 juta atau 16,58%, sedangkan saat ini, jumlah penduduk miskin telah mencapai 26,16 juta jiwa atau 9,54% dari total penduduk Indonesia. (Wibowo,dkk., 2023:201).
Dengan meningkatnya persentase masyarakat kelas menengah, meskipun harga-harga kebutuhan masyarakat meningkat, seperti BBM dan kondisinya, daya beli masyarakat Indonesia tetap tinggi. Aspek ini merupakan dukungan yang baik bagi Indonesia dalam menghadapi ancaman resesi global.
Ketiga, persentase tingkat pengangguran Indonesia yang masih cukup tinggi dan relatif sama dengan tahun-tahun krisis sebelumnya. Namun, sejak 2009 dan 2010, seiring dengan membaiknya teknologi komunikasi dan informasi, Indonesia mengalami pergeseran model aktivitas kerja, dengan banyak jenis pekerjaan informal baru yang berkembang, seperti pengemudi ojek online, pekerja lepas, influencer, YouTuber, pembuat konten, afiliasi saham, penambang cryptocurrency, dan banyak jenis pekerjaan lain yang tidak tercatat secara formal. Banyak anak muda yang memilih pekerjaan ini karena lebih fleksibel, memiliki waktu yang tidak terbatas (borderless), dan memberikan penghasilan yang baik.
Berdasarkan laporan Status Literasi Digital 2021, indeks literasi digital Indonesia pada tahun 2021 berada di level 3,49 dari nilai maksimal 5. Keempat, tren kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 2008-2009 berkisar antara Rp 9.000 hingga Rp 12.000, dan rupiah terdepresiasi 33,3%.
Kondisi ini terjadi karena tingginya kredit macet saat itu. Sedangkan pada 2021-2022, kisarannya Rp14.300 naik menjadi Rp15.378, dan rupiah terdepresiasi 7,54%. Penyebab kenaikan nilai tukar saat ini menjadi perhatian pelaku pasar akibat ancaman resesi pada 2023.
Namun, meski nilai tukar Dolar AS naik, neraca perdagangan Indonesia tetap menunjukkan posisi surplus dengan nilai 4,99 miliar Dolar AS. Artinya, struktur kas keuangan nasional masih cukup kuat untuk melakukan transaksi ekspor-impor dengan negara lain. Kenaikan nilai tukar telah menciptakan manfaat bagi Indonesia yang memiliki persentase ekspor tinggi, dengan neraca perdagangan surplus USD 4,99 miliar (Kementerian Perdagangan, 2022).
Ancaman Resesi 2023 Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Munculnya pandemi virus Corona atau COVID-19 yang saat ini sudah memasuki satu tahun terus mengancam seluruh aktivitas kehidupan manusia, maupun aktivitas ekonomi dunia, bersamaan dengan terganggunya pembangunan ekonomi dan properti Indonesia. Unharness terbaru dari Kementerian Ekonomi menunjukkan bahwa gangguan terhadap proses ekonomi ini cenderung masih menurun cukup lima pemukul dalam kuartal kedua.
Demikian juga, prediksi para ahli konstan, di mana pun ekonomi Indonesia dapat mengalami penurunan dalam kuartal berikutnya jika langganan pandemi tidak menunjukkan kemajuan. Pada saat yang sama, jika penanganan wabah tidak menunjukkan harapan yang baik, maka ekonomi Indonesia dapat memiliki potensi konstan dalam kuartal keempat, khususnya penurunan dari -2,9% menjadi -1%. (Dewi, 2023:94).
Agar ekonomi dapat mengatasi resesi ini, para ahli merekomendasikan bahwa tanah membutuhkan banyak metode pemulihan, termasuk banyak pihak, baik bantuan ekonomi, dan lembaga donor. Kebijakan pemerintah yang dijamin oleh petugas medis tentang efektivitas protokol kesehatan selama kemunculan pertama COVID-19 dengan hukuman penjara dan jarak sosial adalah pendekatan yang efisien untuk memperlambat penyebaran virus pandemi.
Namun, jika kebijakan ini berlangsung dalam jangka panjang, akan mengganggu pembangunan ekonomi di mana pun kualitas publik dibatasi, dan pada akhirnya roda ekonomi dan bisnis akan terputus.
Pengaruh Resesi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Menurut Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER), resesi terjadi ketika suatu negara memasuki periode penurunan aktivitas ekonomi, menyebar ke semua sektor ekonomi, dan telah berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, umumnya lebih dari 3 bulan (Ismaulina, 2020). Dampak ekonomi saat resesi sangat terasa dan efeknya domino pada aktivitas ekonomi. (Idries et al., 2021).
Jika tidak segera diatasi, efek domino dari resesi akan menyebar ke berbagai sektor, seperti kemacetan kredit bank dan inflasi yang sulit dikendalikan, atau sebaliknya, deflasi terjadi. Dalam mengetahui dampak resesi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia secara nyata, dilakukan analisis terhadap data statistik jumlah pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Period | Growth (%) |
1st Quarter 2020 | 2,97% |
2nd Quarter 2020 | -5,32% |
3rd Quarter 2020 | -3,45% |
Quarter 4 2020 | -2,19% |
1st Quarter 2021 | -0,74% |
2nd Quarter 2021 | 7,07% |
3rd Quarter 2021 | 3,24% |
Quarter 4 2021 | 5,02% |
1st Quarter 2022 | 5,01% |
2nd Quarter 2022 | 5,44% |
Dampak negatif resesi dari sudut pandang analisis kekuatan ekonomi Indonesia, diketahui dari masa pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia pada tahun 2020 hingga 2022 tercatat 4 kali atau sebanyak 4 kuartal pertumbuhan ekonomi yang mengalami penurunan yaitu sejak triwulan 2 tahun 2020 hingga triwulan II tahun 2021.
Sejak triwulan II-2022, pertumbuhan ekonomi nasional perlahan kembali pulih dengan mencatatkan angka pertumbuhan positif, meskipun stabilitas pertumbuhannya belum signifikan. Hal ini tentu menguat sekaligus mengindikasikan bahwa resesi ekonomi berpotensi untuk diantisipasi sehingga tidak kunjung datang ke Indonesia.
Kemudian, dari sudut pandang analisis kelemahan ekonomi Indonesia, dampak negatif resesi ini ada, dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatatkan tren penurunan hingga mencapai angka negatif. Berturut-turut mulai dari 2,97%, kemudian turun ke -5,32%, kemudian kembali ke minus angka -3,45% hingga triwulan terakhir 2020, pertumbuhan ekonomi nasional masih tercatat minus 2,19%.
Pada rentang kuartal inilah potensi resesi ekonomi terjadi dengan indikasi kuat faktor pertumbuhan ekonomi nasional mengalami penurunan tajam. Lalu dari sudut pandang analisis kesempatan ekonomi Indonesia, dampak negatif resesi ini timbul dikarenakan kondisi peluang Indonesia untuk bangkit dan memulihkan kondisi ekonomi serta mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik dan sangat terbuka lebar.
Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang menyatakan bahwa di kawasan Asia hanya ada tiga negara yang mampu bertahan dari serangan pandemi COVID-19. Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahwa “dampak resesi pasca pandemi COVID-19 telah membuat berbagai negara menggabungkan kebijakan penanganan dan stimulus ekonomi yang besar”, hal ini dikarenakan eskalasi penyebarannya juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia.
Upaya dalam Mengatasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Resesi 2023
Durasi dalam Mengatasi Resesi 2023
Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi yang parah, yaitu krisis moneter pada tahun 1998. Saat itu, pemerintah membutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk keluar dari krisis. Jika dipandu oleh pengalaman resesi, negara ini bisa menghadapi keadaan darurat ekonomi saat jatuhnya Orde Baru, maka periode pembangunan untuk pulih sepenuhnya dari dampak resesi COVID-19 mungkin lebih dari satu periode pemerintahan.
Oleh karena itu, pedoman pemulihan relevan dengan studi oleh Olivia, Gibson, Nasrudin (2020:143), di mana Indonesia memiliki pengalaman dalam menghadapi krisis dan resesi pada tahun 1998, pemerintah akan menerapkan metode ini dalam menangani resesi COVID-19.
Oleh karena itu, krisis moneter pada tahun 1998, hanya beberapa sektor yang ingin pemerintah menanganinya dengan mudah. Namun, kali ini krisis dan resesi disebabkan oleh COVID-19, di mana semua sektor terpengaruh.
Meski begitu, pemerintah tampaknya telah mengantisipasi resesi akibat sektor dengan berbagai kebijakan, alokasi anggaran yang besar untuk perawatan korban COVID-19, dan alokasi dana yang besar untuk program pemulihan yang terkena dampak bantuan keuangan spontan dan simultan yang memahami sikap berani pemerintah untuk mengeluarkan peraturan untuk melonggarkan sektor APBN, yang berisiko sektor berada di atas 3% selama tiga tahun.
Dukungan Finanasial Pemerintahan
Wabah COVID-19 yang tak terduga ini telah menempatkan lebih banyak anggaran nasional dalam risiko di banyak negara yang terkena dampak. Di Indonesia sendiri, akibat melonjaknya pengeluaran untuk mengatasi dan mengantisipasi dampak wabah, pemerintah memprediksi sektor anggaran akan terus melonjak melampaui sektor 4% yang biasanya diinvestasikan di setiap awal anggaran.
Di sisi lain, pemerintah mengeluarkan peraturan presiden yang menegaskan bahwa sektor anggaran 2020 diperkirakan sebesar Rp 1,03 kuadriliun atau sekitar 6,34% dari produk sektor bruto. Ini berarti bahwa sektor lebih dari dua kali batas anggaran standar.
Di sisi lain, pendapatan negara juga turun signifikan karena berkurangnya produksi dan perdagangan dalam merespons sektor. Jenis bantuan ini memiliki tingkat bunga 0,01% dalam tenon 15 tahun. Namun, bantuan utang semacam itu dengan pemerintah asing memiliki peluang risiko yang signifikan. Untuk itu, pemerintah harus super hati-hati dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, meski dalam jumlah kecil sekalipun.
Diplomasi Ekonomi Indonesia
Hasil pemulihan dari resesi ekonomi yang dipengaruhi oleh berbagai krisis tersebut menuntut pemerintah untuk memprioritaskan kepentingan pemulihan ekonomi nasional dengan memanfaatkan diplomasi ekonomi luar negeri, terutama dengan negara-negara sahabat yang memiliki hubungan erat kenegaraan di berbagai bidang ekonomi, keuangan, investasi, dan pengembangan sumber daya lainnya.
Negara-negara yang memiliki keunggulan berkontribusi dan bersedia berbagi pengalaman dalam memulihkan ekonomi nasional dengan berbagai cara, termasuk kerja sama diplomasi untuk meningkatkan kapasitas ekonomi masing-masing negara, sangat penting. Dengan mengizinkan bank-bank negara lain untuk bekerja sama dengan Bank Indonesia.
Indonesia mengakui jika semangat kebersamaan antar negara tinggi, maka hubungan kepentingan lainnya dapat dipertahankan melalui kerja sama regional yang mengirimkan sinyal kuat bahwa Indonesia memiliki banyak sahabat, tidak hanya saat Indonesia dalam kemakmuran tetapi juga saat krisis dan resesi ekonomi pada 2023.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didukung oleh konsumsi masyarakat, penurunan daya beli akan mengakibatkan penurunan pasar produksi dan penurunan penawaran yang akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan dan akhirnya perpajakan yang diterima oleh pemerintah akan menurun, sehingga sektor anggaran akan melebar di masa depan 5% dari PDB.
Peningkatan daya beli masyarakat dengan memberikan insentif kebijakan sektor dan moneter perlu dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat agar sektor produksi dapat berjalan dan menciptakan lapangan kerja serta mengurangi pengangguran akibat wabah virus corona di Indonesia. Oleh karena itu, dibuat sistematika kerangka berpikir dalam tulisan ini yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Berpikir Teoritis. Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023
Kesimpulan
Tulisan ini mengulas bagaimana kebijakan dan strategi pemerintah untuk pulih dari resesi yang sudah hampir setahun melanda Indonesia ini. Upaya pemulihan ekonomi adalah proses pengalihan sumber daya yang ada seperti dana dan dukungan lainnya melalui kebijakan nasional, sehingga orang-orang yang terkena dampak bisnis dan investasi bangkrut karena kondisi keuangan yang menantang, mengharuskan pemerintah mengalokasikan sumber daya yang ada untuk pulih dari resesi dengan cepat.
Adapun yang telah dilakukan pemerintah untuk tujuan tersebut, pertama adalah upaya penyelesaian resesi, yaitu melalui alokasi dana segar sebagai dana stimulus kepada warga yang paling terdampak COVID-19.
Kedua, dukungan finansial pemerintahan berupa pemberian dana stimulus sesuai perkiraan jangka waktu masa pemulihan pandemi sehingga resesi juga akan pulih. Ketiga, dukungan keuangan adalah kunci untuk pulih dari resesi. Sehingga pemerintahan Indonesia harus berani mengambil angka ini, meski berbahaya, apa lagi dengan andalan dana pinjaman dari luar negeri dan lembaga donor.
Meskipun banyak yang menyebutkan bahwa Indonesia berpotensi selamat dari jurang resesi 2023, namun harus tetap waspada dan hati-hati karena sesuatu bisa saja terjadi tanpa diduga sebelumnya serta untuk menghadapi resesi, pemerintah juga telah menghimbau kepada masyarakat untuk menyiapkan dana darurat, tidak melakukan pemborosan pengeluaran, mencari penghasilan tambahan, serta melakukan investasi.
Sebagai individu, alahkah baiknya mempersiapkan diri untuk resesi 2023 dengan meningkatkan keterampilan atau kemampuan. Jadi ketika resesi benar-benar melanda, keterampilan yang dikuasai dapat digunakan untuk mendapatkan penghasilan. Baik pendapatan primer, maupun pendapatan sekunder dapat digunakan untuk investasi atau tabungan.
Oleh: Salmah Salsa Nafatali Mahasiswa, Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang.
Daftar Pustaka
Aulya, V. (2022). Studi Literatur: Mempersiapkan Investasi untuk Hadapi Isu Resesi Ekonomi di Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK), 4(6), 7902-7910.
Dewi, A. P. (2023). Potensi Resesi dan Dampaknya (Sebuah Kajian terhadap Keberlangsungan Bisnis Online di Indonesia). IQTISADIE: Journal of Islamic Banking and Shariah Economy, 3(1), 91-101.
Effendi, B. E. (2023). Kesiapan Bank Syariah dalam menghadapi Resesi 2023. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 9(1), 637-645.
Fitriaty, F., & Saputra, M. H. (2022). Inflasi, Suku Bunga dan Resesi terhadap Kinerja Saham Perusahaan Properti dan Real Estate di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Manajemen Terapan dan Keuangan, 11(04), 981-992.
Hutagaol, Y. R. T., Sinurat, R. P. P., & Shalahuddin, S. M. (2022). Strategi Penguatan Keuangan Negara dalam menghadapi Ancaman Resesi Global 2023 melalui Green Economy. Jurnal Pajak dan Keuangan Negara (PKN), 4(1S), 378-385.
Idries, F. A., Sholihin, A., & Satibi, I. (2021). The Challenge of Merger Result Bank during the Global Economic Recession due to the Covid-19 Pandemic: Case Study of Indonesian Islamic Banks. Global Review of Islamic Economics and Business, 9(2), 001-017.
Ismaulina, I. (2020). Sharia Economy Momentum to Restore Economic Recession due to Pandemic Disruption in Indonesia. International Journal of Business, Economics and Management, 3(1), 196-202.
Iswahyudi, H. (2021). The Persistent Effects of COVID-19 on the Economy and Fiscal Capacity of Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan, 29(2), 113-130.
Kementrian Perdagangan. (2022). Neraca Perdagangan Luar Negeri. https://www.kemendag.go.id/tentang/laporan. [Diakses pada 21 Juni 2023]
Khasanah, N. L. K., & Sunarya, F. R. (2023). Pertumbuhan Ekonomi Pondok Pesantren Ma’had Al-Zaytun di tengah Isu Resesi Ekonomi Global 2023 dalam Perspektif Ekonomi Islam”. Maro: Jurnal Ekonomi Syariah dan Bisnis, 6(1), 1-11.
Lasmawan, I. W., & Suastika, I. N. (2023). Pemberdayaan Koperasi Syariah dalam Ekonomi Umat sebagai Solusi Resesi Ekonomi (Studi Kasus Di KSPPS Darun Nahdla Kapita). Jurnal Istiqro, 9(1), 58-72.
Nomura. (2022). We See More Major Economies Tipping Into Recession. www.Nomuraconnects.com. [Diakses pada 20 Juli 2023].
Sari, E. W., Hapsari, M. P., & Salsabila, N. A. (2023). Pengaruh Resesi Ekonomi Global 2023 bagi Perpajakan di Indonesia. Ekonomi, Keuangan, Investasi dan Syariah (Ekuitas), 4(3), 1022-1027.
Wibowo, M. P., Amini, S., Indra, I., & Kusumaningsih, D. (2023, April). Analisis Sentimen Masyarakat Indonesia pada Twitter terhadap Isu Resesi 2023 menggunakan Metode Naive Bayes. In Prosiding Seminar Nasional Mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi (SENAFTI) (Vol. 2, No. 1, pp. 201-210).
Yukti, R. H., Supriadi, A., & Ariyadi, A. (2020, December). The role of the Islamic economic system in tackling global economic recession in the COVID-19 era. In ICIC 2020: Proceedings of the 1st International Conference on Islamic Civilization, ICIC 2020, 27th August 2020, Semarang, Indonesia (p. 411). European Alliance for Innovation.