Modernis.co, Malang – Keberagaman yang ada memaksa setiap insan untuk bertransisi dari kultur kolot menuju luwes atau flexible yang bermuara pada lahirnya paham humanisme. Humanisme yang mendambakan kedamaian dengan saling menghargai, menghormati, dan saling mengerti. Namun realita menunjukkan masih banyak orang yang tidak mau menyesuaikan diri dengan perubahan sosial. Hal ini menjadikannya mengalami keterbelakangan sosial sebab dewasa ini kultur dalam masyarakat berubah dengan sangat cepat.
Dalam konteks kebangsaan, kemajemukkannya adalah suatu keniscayaan yang tak lagi bisa dibantahkan. Maka, sikap plural sangat diperlukan, pada era revolusi industri 4.0 ini, setiap orang dengan mudah dapat mempengaruhi orang lain agar mampu menerima perbedaaan dan keberagaman atau malah menolaknya. Meminjam istilah dari Wikipedia, Plural adalah bagaimana kita dapat menerima keberagaman, artinya, kita harus mematangkan keperibadian dalam menerima perbedaan suku, agama, ras, bahasa, adat, hingga pandangan hidup.
Kita tahu, revolusi industri 4.0 ini dimulai tahun 1990an dimana internet mulai melus penggunaannya. kini teknologi informasi dan komunikasi semakin canggih, yang menjadikan seseorang semakin mudah dalam mencari informasi ataupun berita terkini. Walaupun tidak pernah terfikir sebelumnya seperti pada tahun 1960an bahwa internet akan berdampak sebesar seperti saat ini, hingga akar penggunaanya mampu menjangkau ke seluruh aspek kehidupan manusia, hingga setiap orang bisa menghubungkan dirinya dengan orang lain dengan mudah.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi melimpah ruah dan tidak bisa dibendung, kita dapat melihat realita di lapangan mengharuskan penggunaan internet sebisa mungkin dilakukan dengan bijak. Sebab, di era digital khususnya pada media massa sangatlah rentan menjadi penyebab terjadinya konflik mengenai perbedaan, entah itu perbedaan pendapat, adat, cara beribadah, bahkan hingga perbedaan dalam pilihan politik sebagaimana pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada bulan april ini.
Perbedaan-perbedaan yang sebenarnya adalah hal wajar, kini karena termuat pada media massa dan dilihat oleh banyak pasang mata yang mempunyai kadar keilmuan yang berbeda-beda dan cara menyikapinya pun juga berbeda, ini yang menjadikannya masalah. Dalam persoalan ini, manusia seolah-olah mengagungkan media massa menjadi mata ketiga yang dipercayai untuk membuka dan melihat ruang dan waktu tanpa pemfilteran informasi. Parahnya lagi, media acap kali tidak mengedepankan profesinolaitas dalam pembuatan berita.
Suatu yang dari dulu ada dan dipoles sedemikian rupa, termuat kembali di media yang membuatnya seolah-olah adalah hal baru, tanpa memikirkan dampak yang terjadi setelahnya, yang penting berita buatannya laku keras. Hal ini dapat menjadi suatu yang bermanfaat bagi orang yang mau berfikir, tetapi juga dapat menimbulkan masalah bagi orang yang hanya mendambakan satu konsep hidup yang konservatif, orang yang demikian sangat susah untuk menerima perbedaan dan menyalahkan segala hal yang menurutnya tidak sepaham dengannya.
Tak perlu jauh ke belakang, penyebutan non-muslim baru-baru ini banyak menuai statement yang membabi buta. Hal ini terjadi karena terdapat segelintir orang yang tidak terlebih dahulu memahami maksudnya dan melihat hanya dari satu sudut pandang akan tetapi langsung berkomentar dengan pedas. Hal ini sangat disayangkan, fatwa yang dikeluarkan ini harusnya dihargai dan dihormati, toh tidak ada lanjutan kata yang menyeru bahwa semua orang harus melaksanakan fatwa tersebut. Terlebih lagi, fatwa ini dibuat dengan alasan kebangsaan.
Ketua umum PBNU, KH Said Aqil Siroj menegaskan bahwa istilah kafir dan non-muslim adalah pantulan dari zaman Rasulullah Muhammad SAW. Seperti yang dikutip dari Antaranews,com pada 1 maret 2019, beliau mengatakan, “Dalam sistem kewarganegaraan pada suatu Negara, bangsa tidak dikenal istilah kafir. Setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi,” kata Said dalam penutupan Munas-Konbes NU 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar. Hal ini mestinya harus dipahami dalam konteks kenegaraan.
Dia mengatakan bahwa pada awal dakwah Islam, kafir adalah mereka yang menyembah berhala, klenik, dan semacamnya. Kemudian pada saat hijrah dari makkah ke madinah barulah disebut non-muslim, ini dalam konteks ketatanegaraan pada masa itu sehingga semua warga negara mendapat hak yang sama, baik itu muslim ataupun non muslim. Hal ini diperkuat dengan pernah dibuatnya piagam madinah oleh Rasulullah pada masa itu. Fatwa penyebutan non-muslim ini bukanlah istilah baru, hanya saja hal butuh pelegalan dan tidak berdosa bila tidak diikuti.
Piagam Madinah ini sama halnya dengan Pancasila yang menjadi alat pemersatu bangsa di atas semua kemajemukan yang ada dan menjadi sumber dari sebuah kebijakan. Kata kafir tidaklah dihapus, namun diganti dengan “muwathinun” yang artinya “warga negara”, ini diharapkan agar semua warga negara mendapatkan hak yang rata. Maka dalam menanggapi perbedaan pendapat, kedewasaan dan keluwesan memang dibutuhkan. Jangan sampai media massa justru malah memainkan informasi tanggung yang dapat menimbulkan masalah.
Permasalahan akibat pemberitaan di media massa yang kerap terjadi, dimana media kerap kali memasang judul dan isi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Menanggapi suatu pemberitaan pada media, sekiranya kita perlu untuk menahan diri dan mengkaji ulang apa yang telah kita peroleh dengan sudut pandang dan sumber yang berbeda. Bersikap plural dewasa ini sangat diperlukan, karena dengan keberagaman materil dan imateril yang ada, sekiranya kita dapat menghargai satu sama lain dengan bersikap plural.
Fathi Osman dalam bukunya “Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan” berpendapat bahwa agama itu sama dan berbeda sekaligus, dalam Hadis Bukhari, Rasulullah bersabda, “Aku lebih berhak atas Isa putra Maryam di dunia dan akhirat.” Para nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka adalah satu. Dan dikuatkan oleh pendapat Cak Nur yang menyebut bahwa esensi agama dari seluruh rasul adalah sama (QS. 42:13), dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah umat serta agama yang tunggal (QS. 21:92, 3:52).
Sementara itu Budi Munawar Rachman, pengelola program studi islam paramadina, berpendapat, bahwa pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian kebinekaan dalam ikatan-ikatan peradaban”. Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia. Pluralisme amat penting bagi tatanan masyarakat maju, yaitu sehatnya demokrasi, keterbukaan, dan keadilan. Pluralisme mencakup keragaman lingkup masyarakat lokal tertentu dan dunia pada keseluruhannya.
Pluralisme tidak semata hanya sikap menghargai dan menerima perbedaan, tapi juga harus bersedia memberi hak yang sama, adil kepada kelompok lain di atas dasar perdamaian dan saling menghormati, hal ini sejalan dengan surat Al-mumtahanah ayat 8. Dan sekarang tahanlah diri kita dari mengklaim kebenaran, yang kerap menjadi sumber konflik bagi umat beragama. karena masing-masing mengklaim bahwa dirinyalah yang benar. Seperti mengakunya nasrani yang hanya akan masuk surga pada yahudi dan sebaliknya.
Mengutip dari pendapat Komaruddin Hidayat, seorang intelektual dari paramadina, beliau mengatakan “jika komitmen iman adalah pada kebenaran dan sumber kasih, semestinya agama selalu menjadi kekuatan kritik. Yaitu kritik pada keangkuhan, kebodohan, penindasan, dan kemiskinan. Semua itu menjadi “musuh” agama karena secara frontal berlawanan dengan komitmen iman.” Yang terpenting bukan mengaku-ngaku yang paling benar, tapi diinternalisasi dalam diri masing-masing untuk senantiasa memberi manfaat dan kebaikan.
Setiap agama itu esensinya sama, hanya Tuhan menghendaki jalan dan cara yang berbeda-beda(QS. 11:118, 2:148). Tidak satu dan sama dalam semua hal, perbedaan itu digunakan sebagai ujian, dan ajang untuk “berlomba-lomba dalam kebaikan bukan dalam kebenaran”. Dalam Al-Qur’an, umat yang tidak satu ini, kelak semua akan kembali kepada tuhan yang Maha Esa. Hakikat kebeneran yang mutlak hanya pada tuhan semesta alam, tuhannya para nabi.
Dalam perkara duniawi, dalam mengatasi perbedaan-perbedaan, kesepakan mayoritas dapat dijadikan pandangan tertentu. Namun dalam urusan agama, setiap orang punya kebebasan dalam menjalankannya. Dialog antara keyakinan sekiranya perlu untuk menciptakan ukuwah umat beragama yang lebih baik. Dialog yang dilakukan dengan konstruktif dan moral yang baik (QS. 16:125, 29:46), serta tidak adanya kelompok yang menilai bahwa dirinyalah satu-satunya yang paling benar inilah yang menjadikan dialog mampu menciptakan masyarakat yang terbuka.
Cukuplah klaim kebenaran yang kerap kali membelah persatuan dalam menangani perbedaan, mampulah seseorang membuka dari ambisi konservatifnya dengan berlaku yang terbaik semampunya, sembari membuka cakrawala keilmuan, dan menyerahkan penilaian akhir mengenai apa yang secara mutlak benar atau salah kepada Tuhan. Karena tidak ada satu cara pun untuk mencari kesepakatan atas kebenaran mutlak, seperti yang berulang-ulang disebutkan Al-Quran (QS. 2:113, 3:55, 5:48, 6:164, 10:93, 16:92&124, 22:69, 32:25, 39:3&46, 45:17).
Tidak ada agama yang mengajarkan kebencian, permusuhan, dan kekerasan. Namun adanya perbedaan adalah medan perang untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan. Tidak ada perselisihan yang akan terselesaikan dengan keputusan yang mutlak, pasti dari kurangnya. Keputusan yang mutlak hanya pada Tuhan yang Maha Esa(Q.3:55). Tidak ada agama yang sama, perbedaan jalan dan caranya adalah kehendak tuhan, tuhan pencipta manusia. jadi tidak ada alasan lagi untuk kita berbantah-bantah pada ketetapan tuhan.
Demikian adalah bagaimana kita harus menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada di sekitar kita. Ukuwah kebangsaan tidak dapat dibatasi dengan adanya kemajemukkan yang harus diterima, dihargai, dan diimplementasi dalam kehidupan. Menahan diri, membuka cakrawala pengetahuan, dan berserah diri di akhir perjuangan adalah yang terbaik. Berpendapat secukupnya, berusaha segiat-giatnya, dan berserah diri sepenuhnya. Senantiasalah dalam berbuat kebajikan, menjaga perdamaian, dan menegakkan keadilan. itu lebih baik.
Salam sejahtera bagi kita semua. Kritik dan saran diperlukan untuk mengoreksi kesalahan saya sebagai manusia biasa. Terima kasih.
Oleh : Imam Fahrudin (Aktivis IMM Tamaddun/Peneliti di PeaceLink Malang)