Modernis.co, Jakarta – Sabtu, 3 September 2022 pemerintah resmi menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Semenjak kenaikan harga BBM terdapat masyarakat yang mengantri pembelian BBM di sepanjang jalan. Akibat terjadinya kelangkaan BBM jenis petralite dan BBM jenis solar. Sehingga mengganggu lalulintas yang lainnya.
Kenaikan BBM jenis pertalite dari awalnya Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter, dilanjutkan dengan kenaikan BBM pertamax dari Rp12.500 menjad Rp14.500 perliter, sehingga BMM jenis solar dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter.
Sejak 14 September 2022, BP 90 (RON 90) atau sekelas Pertalite dibanderol sebesar Rp14.890 per liter, turun dari sebelumnya Rp15.320 per liter. Sementara harga BP 92 dibanderol Rp14.990 per liter, turun dari sebelumnya Rp15.420 per liter.
Masyarakat banyak yang tidak setuju dengan kenaikan harga BBM karena menyebabkan aktivitas semakin sulit. Tranportasi seperti angkot, bus dan masih banyak yang lainnya lebih lama mengantri BBM dari pada mencari nafkah, walaupun harga BBM naik cuman Rp1.000 sampai Rp2.000 tapi sangat terpengaruh bagi masyarakat.
Masyarakat seperti di pulau Kalimantan Timur (Kaltim) merasakan kelangkaan BBM jenis solar, bahkan masyarakat yang mengantri solar pun tidak sedikit ada sampai puluhan mobil yang mengantri solar. Masyarakat yang mengantri juga bisa sampai 2-3 hari di sepanjang jalan dan kondisi tersebut sangat menganggu lalu lintas.
Saya berharap terkait kelangkaan BBM yang terjadi di wilayah Kaltim ini bisa dapat dituntaskan dalam waktu dekat. Permasalahan antrian ini telah terjadi bertahun-tahun, pemerintah tidak boleh menutup mata dalam permasalahan ini. Bagaimanapun supir adalah warga Kaltim yang harus mereka perhatikan. Kesejahteraan masyarakat Kaltim harus jadi titik point utama, untuk apa SDA berlimpah namun warganya masih sangat sengsara dalam mencari BBM.
Dampak bagi masyarakat juga dirasakan oleh masyarakat ekonomi bawah sepertinya halnya peningkatan pengangguran dikarenkan BBM merupakan bahan dasar operasional perusahaan. Kenaikan harga BBM akan membebani biaya produksi. Akhirnya perusahaan harus mempertimbangkan efesien produksi. Maka pilihan perusahaan adalah menghentikan proses perekrutan karyawan baru hingga terpaksa terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) alias pengangguaran.
Dengan meningkatnya pengangguran, maka akan berujung pada meningkatnya tingkat kemiskinan. Sehingga tidak salah jika kondisi-kondisi yang ditimbulkan dari kenaikan harga BBM mendorong timbulnya permintaan akan kebijakan kompensasi. Seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai bentuk kompensasi atas kenaikan harga BBM.
Tetapi bagi masyarakat ekonomi menengah ke atas tidak signifikan. Banyak pihak meyakini, masyarakat menengah tetapi akan mengalami penurunan disposable income. Selanjutnya adalah kenaikan harga bahan pokok. Kenaikan harga ini akan sangat berdampak bagi masyarakat dan tentu saja memberatkan bagi masyarakat menengah ke bawah dalam proses pemulihan ekonomi setelah terdampak pandemi Covid-19.
Seiring naiknya BBM, harga cabai merah besar naik hingga 10,95 persen menjadi Rp65.800 per kilo (kg) dari minggu sebelumnya. Kemudian harga cabai rawit merah naik sebesar 8,35 persen menjadi Rp64.900 per kilo dari Rp59.500.
Harga bahan pokok melambung drastis, sehingga banyak pedagang dan pembeli kaget serta mengeluh mengenai kenaikan harga yang berujung pada sepinya pelanggan. Terkait penyebab kenaikan harga, ongkos transportasi sembako memaksa penjual untuk menaikkan harga. Terlebih bagi pedagang kecil yang memasok kebutuhan dapur dalam skala yang tidak besar.
Walaupun di pasarannya harga bahan pokok naik yang sangat drastis. Pemilik warung-warung berusaha menahankan harga yang lama, meski dengan keuntungan sedikit agar mereka tidak ditinggal oleh pelanggan. Jika kondisi ini terus berlanjut, bisa menyebabkan terjadinya peningkatan inflasi, penurunan daya beli masyarakat dan lambannya pertumbuhan ekonomi, serta memberi tekanan pada fiskal.
Peningkatan penggunaan APBN untuk menyediakan dukungan bantalan sosial bagi masyarakat. Selain itu pengurangan jumlah uang beredar di negara maju juga bisa menekan pasar keuangan melalui pelemahan rupiah, dan beresiko pada meningkatnya bunga. Maka kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik barang maupun jasa akan semakin rendah dikarenakan inflansi.
Oleh: Luthfiah Azzahra Dapa Putri, Mahasiswa UMM