Dampak Emisi Karbon dan Nasionalisme Masa Kini

dampak emisi karbon

Modernis.co, Malang – Perubahan iklim menjadi momok yang nyata di masa mendatang apabila kita tidak segera mencari solusi untuk memperbaikinya. Indonesia masuk kedalam sepertiga jajaran negara-negara yang paling terdampak perubahan iklim menurut world bank. Mengesampingkan prestasi Indonesia sebagai negara super power dalam mengendalikan hal ini, namun jika tidak didukung oleh kerjasama seluruh dunia, nampaknya dunia yang “baik-baik saja” hanya akan menjadi utopis.

Perubahan iklim akibat emisi karbon adalah isu pelik yang menjadi salah satu tema penting yang muncul dalam politik kontemporer. Prospek tidak memiliki masa depan kolektif memiliki implikasi yang jelas bagi bangsa dan nasionalisme serta kehidupan politik pada umumnya. Hal ini akan semakin terasa jika konvensi, moralitas, etos, visi, gagasan, dan gagasan yang menyatukan masyarakat kita seperti keadilan, kebebasan, dan kewarganegaraan juga hilang.

Nasionalisme dapat merujuk pada ideologi politik, tetapi juga pada kebiasaan sehari-hari yang tidak disadari atau berbagai bentuk rasa memiliki emosional sebagai rasa kebanggaan nasional. Kebanggaan nasional mengacu pada ikatan emosional dengan suatu negara, kategori emosional yang lebih luas yang mengandung beberapa pengaruh lain seperti cinta tanah air dan patriotisme.

Nasionalisme perlu dilihat dengan dua cara yang kontras dimana nasionalisme dapat dimobilisasi sehubungan dengan masalah ini: baik di bawah agenda penolakan bisnis pro-besar yang mengakibatkan emisi gas karbon, seperti yang paling sering terjadi atau, mungkin, dengan berhubungan dengan gerakan yang lebih luas memerangi emisi karbon yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan menuntut perubahan sosial politik.

Namun, apabila dilihat sebagai kosmopolitan dan internasionalis, itu tidak akan berhasil jika tidak berakar kuat ke dalam realitas lokal. Sebaliknya, yang pertama, sejauh ini, telah menjadi hak prerogatif negara-bangsa yang sesuai dengan nasionalisme sumber daya melalui homogenisasi seruan populis. Bahkan, nasionalisme terbukti menjadi salah satu penghambat bagi kelangsungan hidup bangsa-bangsa yang diklaimnya.

Saya berpendapat bahwa alur cerita penyangkalan emisi karbon  sering tumpang tindih, tetapi tidak koterminus, dengan praktik nasionalisme sumber daya yang terkenal, seperti yang dipelajari dalam geografi politik dan manusia dan disiplin ilmu yang berdekatan. Nasionalisme dapat disesuaikan oleh kelompok dan kepentingan pro-lingkungan dan anti-lingkungan.

Segala aturan yang dibuat negara-negara saat ini, seperti misi pengurangan emisi karbon 2023, semata-mata ditujukan agar lebih mampu mengendalikan perubahan iklim. Selain itu, upaya lainnya adalah zero carbon. Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mencapai target emisi nol bersih (zero carbon) ini pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Benang merah yang menghubungkan dampak dari perubahan iklim akibat emisi karbon terhadap nasionalisme sendiri adalah pertumbuhan ekonomi. Dengan memburuknya perubahan iklim tentu saja akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi baik lokal maupun global. Hal ini kemudian menuntut kita untuk mau tidak mau mewujudkan zero carbon.

Karena adanya nasionalisme-lah kemudian kita sebagai warga negara berkesempatan ikut campur dalam memperkuat sektor perekonomian. Salah satunya adalah dengan menjaga laju pertumbuhan ekonomi itu sendiri melalui pengurangan emisi karbon.

Bukan hanya negara, perusahaan-perusahaan juga turut berlomba-lomba dalam mendukung transisi energi bersih. Mereka juga kerapkali mengkampanyekan keprihatinan terhadap perubahan iklim yang terjadi. Mereka berusaha mencari langkah-langkah yang dapat mereka lakukan untuk turut ikut serta dalam aksi ini.

PT Telkomsel dikabarkan turut ikut dalam aksi ini dengan cara kompensasi emisi karbon melalui program carbon offset. Mekanisme dari program ini adalah pelanggan Telkomsel menukarkan poin Telkomsel dengan pembayaran yang setara dengan pohon, yang menggantikan jejak karbon yang disebabkan oleh aktivitas manusia sehari-hari.

Sementara kita masih menunggu munculnya gerakan baru yang dapat membantu dalam  mengurangi emisi karbon yang mampu melampaui batas-batas ekologisme dan environmentalisme sebelumnya, kita dibiarkan berurusan dengan hantu sesuatu yang kita pikir telah kita tinggalkan dua abad yang lalu.

Nasionalisme kemudian diharapkan tumbuh di setiap diri manusia di belahan bumi demi tujuan menjaga komitmen dan kerja sama yang diharapkan mampu memberikan harapan bahwa bumi “baik-baik saja”. Hal ini dikarenakan kita telah terikat oleh gelar “warga negara” yang kemudian memberi beban secara tidak langsung kepada kita untuk cukup tahu diri memiliki rasa nasionalisme.

Oleh: Yurizky Agiel Cahaya Kamila, Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
 

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment