Modernis.co, Malang – Bahasa yang digunakan di dalam bidang hukum serta peraturan perundang-undangan yaitu, bahasa Indonesia sebagaimana digunakan di dalam bidang peradilan dan bahasa Indonesia yang digunakan pada kontrak atau berbagai perjanjian karena dari kedua bidang itu berkaitan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Bahasa Indonesia dalam peraturan perundang-undangan merupakan penggunaan bahasa resmi bahasa Indonesia, karena digunakan untuk menulis peraturan perundang-undangan resmi, karena termasuk dalam ragam resmi serta laras bahasa harus menggunakan bahasa Indonesia baku berupa kosakata, bentuk kata, frasa, kalimat, dan penulisannya.
Indonesia juga dapat disebut sebagai negara hukum, karena hal ini sesuai dalam pasal 1 ayat 3 undang-undang dasar 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum”, bisa dimaknai dalam setiap tindakkan baik itu pemerintahan atau rakyat sipil haruslah mengikuti dan taat pada hukum.
Oleh sebab itu, dalam pembentukkan suatu hukum atau aturan perlu memperhatikan ketatabahasaan serta, seefektif mungkin agar masyarakat bisa memahami makna dan maksud kata-kata atau kalimat-kalimat yang tersusun dalam aturan tersebut agar terhindar dari kemultitafsiran.
Kata efektif yang dimaksud yang berarti berhasil dengan baik, dan dapat dikatakan efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. Suatu kalimat bisa dikatakan sebagai kalimat efektif jika sesuai dengan unsur-unsur yaitu, kehematan, kecermatan, kepanduan, dan kelogisan. Jika sudah mencakup dari unsur-unsur tersebut maka bisa dikatakan bahwa kalimat tersebut sudah efektif.
Sehingga di dalam penulisan yang perlu diperhatikan yaitu tata bahasa baku bahasa Indonesia , ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan juga dari para ahli berpendapat bahwa, ejaan tersusun dari tiga tataran kebahasaan yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia telah menyerap unsur-unsur dari berbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun asing seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali. Seperti bahasa Sansekerta, Arab, Portugis atau Inggris. Berdasarkan tingkat integrasinya, unsur pinjam meminjam dalam bahasa Indonesia. Sehingga dalam pemilihan kata yang tepat, dapat mengacu pada mengungkapkan pikiran secara kolektif dan dapat diterima oleh pembaca.
Ketepatan pemilihan kata tercapai ketika pengguna bahasa memahami penggunaan makna denotatif dan konotatif, sinonim, eufimisme, generik dan special, serta kata-kata konkret dan abstrak. Ketelitian dalam pemilihan kata berkaitan dengan penggunaan kata-kata yang tidak perlu. Jika ada kata atau frasa (ungkapan) yang lebih pendek, tidak perlu menggunakan kata atau frasa (ungkapan) yang panjang, serta keserasian pilihan kata mengacu pada kemampuan menggunakan kata yang sesuai dengan konteks, yaitu faktor kebahasaan dan non kebahasaan.
Sehingga dalam hal ini faktor keabahasaan dalam keselarasan pilihan kata merupakan penggunaan kata yang sesuai dengan konteks kalimat, bentuk tata bahasa, idiom, majas, dan kata umum. Dalam hal ini penerapan bahasa Indonesia yang baik dalam kehidupan sehari-hari dari berbagai aspek kehidupan baik berbangsa dan bernegara mampu mempengaruhi masyarakat, serta tak luput dengan adanya bahasa Indonesia sebagai bagian dari bahasa hukum Indonesia.
Hal ini memberikan indikasi bahwa hukum yang di buat haruslah mudah dipahami makna serta artinya dan mampu memberikan kepastian, kemanfaatan, dan juga keadilan hukum secara pasti kepada masyarakat. Harapannya dalam hal ini para pemegang wewenang dalam pembentukan peraturan dalam undang-undang lebih memperhatikan penulisan ke tata bahasaan yang baik dan benar menjadi pegangan bagi para pemilik wewenang untuk menciptakan sebuah peraturan yang memiliki makna yang bisa diterima oleh kalangan dan masyarakat luas, serta memiliki kemudahan dalam mengiplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, agar terciptanya hukum yang adil.
Di sisi lain, ada saja pihak yang mengeluhkan mengapa hukum serta peraturan perundang-undangan cenderung disampaikan dengan kalimat yang panjang, dimana terkesan berbelit-belit, dan tidak jelas arahnya. Sehingga, peraturan yang seharusnya mudah dan dapat dipahami oleh masyarakat yang menjadi pemangku kepentingan (stakeholder) justru “menyulitkan”, mereka karena bahasa yang digunakan oleh hukum itu tidak mudah dipahami.
Dari peristiwa ini bisa menjadi acuan bagi para pemegang wewenang dalam membentuk peraturan yang pada hakekatnya peraturan itu untuk masyarakat, dan masyarakatlah yang akan melaksanakannya. Jangan sampai dalam penyusunan peraturan dalam hukum dibuat dengan semena-mena, dan mengesampingkan ke tata bahasaan serta keefektifan hukum tersebut. Peraturan perundang-undangan mengatur berbagai dimensi kehidupan masyarakat.
Pasal-pasal hukum dan ketentuan hukum harus benar isi dan strukturnya, baku, efektif, tidak bertele-tele, tidak berbelit-belit, maknanya tidak bersayap, dan tidak bermakna ganda. Makna kalimat harus jelas, tidak kabur, tidak rancu, dan susunannya harus benar, sehingga tidak mempersulit dalam memahami serta menerapkan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, penyusun peraturan perundang-undangan harus berhati-hati dalam merumuskan isi peraturan perundang-undangan, karena susunan kata yang salah dapat berakibat fatal bagi subjeknya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pentingnya dalam memahami ketata bahasaan serta penguasaannya, terutama para pemegang wewenang dalam hal ini pemerintahan baik dalam merumuskan atau membentuk sebuah peraturan haruslah berpedoman pada ketata bahasan Indonesia yang berlaku memudahkan keberlakuan dan penegakan hukum tersebut bisa di jalankan dengan semestinya.
Yang dimana dalam hal ini pedoman yang dimaksud adalah memperhatikan aturan tata bahasa yang digunakan dalam bidang hukum dan perundang-undangan yaitu, kata yang di pilih haruslah kata baku, harus merepresentasikan konsep dengan benar, konvensional dan akurat, struktur kalimat harus benar dan tidak rumit, kalimat harus jelas dan logis, kata dan frasa harus memiliki makna (monosemantik), tidak boleh ambigu, tidak boleh ditafsirkan lebih dari satu kali, komposisinya harus dominan di daerah. Maka dari hal tersebut keefektifan tata bahasa Indonesia sangatlah perlu di perhatikan dalam penulisan di bidang hukum.
Oleh: Nur’Aini Regita Irdianisyah (Mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Univeristas Muhammadiyah Malang)