Problematika Carbon Trading terhadap Perubahan Iklim Dunia

Carbon Trading

Modernis.co, Malang – Revolusi Industri yang terjadi di kehidupan manusia saat ini telah memudahkan manusia dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Harga-harga barang menjadi semakin terjangkau dan pekerjaan-pekerjaan yang berat pun seakan terasa ringan dengan adanya bantuan dari mesin-mesin yang canggih. Namun disisi lain, hadirnya revolusi industry ini tidak serta merta membawa pengaruh yang selalu positif.

Dengan adanya arus perdagangan yang semakin mengglobal dan semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi secara nasional ataupun regional, hal ini pun menyebabkan banyak pabrik-pabrik yang bermunculan dan meningkatan jumlah produksi mereka untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dan pada akhirnya, hasil dari peningkatan produksi tersebut ialah menghasilkan emisi karbon yang besar dan menyebabkan memanasnya suhu bumi yang menimbulkan perubahan iklim.

Fenomena Perubahan Iklim menjadi sebuah isu hangat yang seringkali dibahas, Tak terkecuali isu perubahan iklim ini juga turut menjadi pembahasan dalam pertemuan negara-negara di dunia dalam Forum G20 di Indonesia tepatnya pada tanggal 15-16 November 2022 di Bali.

Negara-negara anggota dari G20 ini mayoritas menjadi penyumbang 75% emisi karbon dunia, dan oleh karena itu dalam forum ini, dicetuskan rencana agar negara-negara ini segera melakukan percepatan transisi energi, green economy, dan keberlanjutan lingkungan yang juga sejalan dengan komitmen dalam Perjanjian Paris untuk mencapai net zero emission di tahun 2050.

Untuk mencapai target net zero emission tersebut, salah satu cara yang dilakukan saat ini ialah diberlakukannya carbon trading atau perdagangan karbon. Perdagangan karbon adalah kompensasi yang diberikan oleh negara maju yang industrinya menghasilkan karbon dioksida yang merusak lingkungan dan kompensasi ini diberikan kepada negara yang hutannya dapat menyerap karbon.

Jika sebelumnya, negara-negara maju di bidang perindustrian secara bebas dapat mengeluarkan emisi karbon dan mencemari udara secara cuma-cuma, namun sekarang hak tersebut bersifat ekslusif dan terbatas karena adanya upaya untuk menurunkan tingkat emisi dunia.Negara-negara maju penghasil emisi tersebut harus membayar pajak/biaya tertentu atas emisi yang dikeluarkannya kepada negara berkembang yang melakukan penurunan emisi karbon lewat pelestarian hutan.

Sehingga dengan membayar sejumlah kompensasi tersebut, negara penghasil karbon ataupun industri dapat melakukan pencucian dosa atas banyaknya karbon yang mereka hasilkan. jika disimpulkan, perdagangan karbon ini bertujuan untuk menjadi solusi dalam mengurangi emisi dunia sekaligus menjadi sumber pemasukan untuk negara. Skema seperti ini disebut dengan skema REDD+.

Indonesia sendiri menjadi negara yang memiliki potensi besar dalam melakukan perdagangan karbon ini. Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang luasnya sebesar 125,9 juta hektar dan kemampuan serap emisi sebanyak 25,18 miliar ton C02, lalu ada hutan mangrove yang mencapai 3,31 juta hektar dengan kemampuan menyerap emisi sebesar 33 miliar ton C02, dan juga hutan gambut yang memiliki luas 7,5 juta hektar dengan kemampuan serap emisi sebanyak 55 miliar ton C02.

Indonesia pun saat ini telah memiliki kawasan konservasi hutan karbon terbesar di dunia yang terletak di Kalimantan Tengah dan dinamakan dengan proyek Katingan Mentaya Project. Proyek ini dikelola oleh PT. Rimba Makmur Utama (RMU) dan proyek ini adalah proyek restorasi ekologi jual beli karbon terbesar di dunia yang luasnya sama dengan dua kali dari negara Singapura. Tugas utama proyek ini ialah untuk memastikan bahwa hutan tetap asri dan tidak dirusak manusia.

Bisnis carbon trading ini pun telah banyak diminati oleh perusahaan bonafit di dunia yang ingin melakukan pencucian dosa. diantaranya adalah perusahaan Shell yang merupakan perusahaan minyak dan gas asal Belanda yang mengkampanyekan bahwa tiap 1 cent dari harga bensin yang pelanggannya beli di Eropa akan mereka donasikan untuk program Katingan Project. Selain itu, ada juga perusahaan otomotif seperti Volkswagen, Lembaga perbankan BNP Paribas, dll yang menjadi rekan bisnis PT RMU.

Namun bisnis jual beli karbon ini pun tak semudah yang dibayangkan. Dalam implementasinya di Indonesia, terdapat permasalahan laten yang menimpa pengusaha perhutanan yakni banyaknya kasus sengketa lahan dengan masyarakat lokal di daerah konservasi yang menimbulkan perdebatan diantara kedua pihak. fakta mengejutkan dari proyek konservasi Katingan Project ini adalah bahwa ternyata di sisi timur area konservasi tersebut ternyata berbatasan langsung dengan perkebunan sawit milik PT Persada Era Agro Kencana atau PT PEAK.

Perusahaan ini melakukan kegiatan perkebunan dengan membuat jaringan-jaringan kanal air untuk mengairi sawit dan pada akhirnya air di kawasan tersebut pun menjadi terkuras. Kanal-kanal yang dibuat PT PEAK menyebabkan gambut di wilayah tersebut menjadi kering sehingga ketika musim kemarau tiba sangat rawan terjadi kebakaran seperti pada tahun-tahun sebelumnya yakni kebakaran hutan di tahun 2015 dan 2019.

Kebakaran yang terjadi di tahun 2015 dan telah membakar hampir 7.000 hektar hutan adalah dampak yang dibawa dari kebakaran yang berasal dari api yang merambat dari area sawit milik PT PEAK. Sehingga hal ini pun menuai pertanyaan besar yakni bagaimana mungkin PT PEAK dengan mudahnya mendapatkan izin dari KLHK sementara di tahun 2008, izin untuk restorasi ekosistem tak kunjung disetujui oleh pemerintah?

Harisson Ford pun harus turun langsung ke Indonesia untuk menemui Menteri Kehutanan yakni Zulkifli Hasan untuk mempertanyakan terkait izin yang tak kunjug diberikan pemerintah Indonesia. dan sebulan setelah kedatangan Ford tersebut, izin pun pada akhirnya baru dapat diberikan untuk PT RMU. Fakta mengejutkan lainnya ialah hasil sawit dari PT PEAK tersebut ternyata dikonsumsi oleh perusahaan-perusahaan multinasional besar seperti Unilever, Nestle, Kraft, dan Pepsi.

Hal ini pun kemduian menjadi sebuah paradoks besar dimana ketika Shell dan Volkswagen mencoba mencuci dosa dengan merestorasi lahan gambut di Katingan , Namun disisi lain ternyata Unilever, Nestle, Kraft, dan Pepsi jadi konsumen perusahaan yang merusak lahan ekosistem itu. Sehingga kemudian jika dilihat seberapa efektifkah carbon trading ini ialah dalam jangka waktu yang panjang, meskipun jika perusahaan yang memperdagangkan karbon tersebut berhasil untuk mengurangi emisi dunia, namun di lain sisi, carbon trading ini rawan untuk disalahgunakan.

Carbon trading ini pun menjadi jalan bagi perusahaan-perusahan penghasil karbon dunia untuk terus menghasilkan emisi karbon, bukannya melakukan transisi energi fosil ke energi yang ramah lingkungan. Skema carbon trading ini menjadi justifikasi bagi para pelaku penghasil emisi karbon dunia untuk dapat dengan leluasa menghasilkan polusi karena mereka hanya harus membayar sejumlah uang tanpa harus bersusah payah melakukan upaya menjaga hasil emisi karbon yang dikeluarkan.

Oleh: Sania Dwi Ariyanti, Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment