Modernis.co, Malang – Belakangan ini panggung sosial media sempat digegerkan dengan fenomena yang cukup menggelitik dengan munculnya capres-cawapres fiktif dengan nomor urut 10, Nurhadi-Aldo (Dildo). Kehadiran capres fiktif ini menjadi hiburan tersendiri di tengah ketegangan situasi politik.
Narasi yang dikampanyekan sarat akan pesan yang cukup esensial, yakni menuju Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik. Jika kita lihat pengaruhnya di media sosial terutama di Instagram dan twitter, akun mereka banyak digandrungi para followers. Sepak terjang nurhadi-aldo sendiri tidak hanya viral di media sosial belaka namun juga menjadi topik hangat di berbagai stasiun televisi.
Jika ditelusuri latar belakang sosok capres fiktif yang bernama Nurhadi, ia sehari-hari berprofesi sebagai tukang pijat di daerah Kudus, Jawa Tengah. Nurhadi disandingkan dengan cawapres fiktif bernama Aldo Suparman yang tidak ada sosoknya di dunia nyata.
Viralnya nurhadi-aldo di berbagai media tentu tidak terlepas dari kreatifitas delapan anak muda yang resah dengan kondisi perpolitikan di Indonesia. Adanya kampanye hitam, saling menjatuhkan antar kedua kubu dan maraknya hoax menjadi hal utama yang melatarbelakangi munculnya capres alternatif dengan nomor urut 10.
Kehadiran dildo tentunya menjadi respon atas suasana politik di Indonesia yang kian hari terus memanas. Berbagai macam media sosial seketika ramai dengan perang kata-kata, mulai dari munculnya istilah cebong dan kampret serta ujaran-ujaran kebencian lainnya. Bahkan parahnya lagi masyarakat awam yang bukan merupakan timses pun juga ikut terbawa arus politik ini. Maka dengan adanya pasangan capres-cawapres nomor urut 10 sejatinya adalah untuk mengajak masyarakat untuk tidak terjerumus dalam situasi ketegangan politik.
2019 Bukan Hanya Tahun Politik
Seringkali disebutkan bahwa tahun 2019 ini merupakan tahun politik, hal itu berlandaskan karena di tahun ini pesta demokrasi di tanah air diselenggarakan secara serentak. Seluruh mata publik kemudian tertuju pada kedua pasangan capres dan cawapres, antara petahana dan oposisi. Nurhadi-Aldo muncul ke permukaan publik bukan hanya untuk menjadi humor serta peredam ketegangan politik semata. Kemunculannya menyadarkan kita bahwa masih banyak permasalahan lain pada tubuh bangsa ini yang harus diperhatikan selain Jokowi dan Prabowo.
Belakangan ini kita bisa melihat berbagai macam bencana alam yang menghampiri negeri ini, mulai dari banjir,tsunami, serta masalah-masalah kemanusiaan lainnya. Belum lama ini pada 22 Januari 2019, Banjir bandang dan longsor telah melanda 53 kecamatan di Sulawesi Selatan.
Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa dampak dari banjir dan longsor tersebut menyebabkan 30 orang meninggal dunia dan 25 orang hilang dan 3.321 orang mengungsi. Bahkan banjir dan longsor tersebut merupakan bencana terparah yang dialami Sulawesi Selatan dalam 10 tahun terakhir.
Tragedi tersebut hendaknya menjadi refleksi bersama bagi seluruh masyarakat khususnya para elit politik. Bahwasanya bicara Indonesia hari ini bukan hanya menyangkut politik 5 tahunan belaka. Masalah-masalah kemanusian tentunya tidak boleh luput dari pembahasan, perhatian dan pemaknaan.
Hendaknya bangsa ini mampu berpikir secara objektif dengan munculnya nurhadi-aldo untuk tidak terjebak pada persoalan-persoalan politik yang sempit. Sehingga persoalan lain terkait kemanusiaan, hak asasi manusia (HAM), pendidikan serta ekonomi kerakyatan juga harus dipikirkan.
Menolak Fanatisme Buta Pada Capres Debat capres dan cawapres tahap pertama telah usai, tema yang diusung ialah Hukum, HAM, Korupsi, Terorisme. Namun dalam debat tahap pertama tersebut tentu tidak dapat dijadikan tolak ukur kapasitas dari calon presiden dan wakil presiden yang benar-benar objektif.
Pasalnya pada debat tersebut KPU telah memberikan kisi-kisi terkait tema debat yang diangkat. Bahkan banyak opini publik yang berkembang bahwa debat tersebut seperti sebuah kuis. Artinya jelas bahwa secara tidak langsung masyarakat tidak puas dengan debat di tahap pertama. Tentunya pilihan masyarakat masih bisa berubah seiring dengan akan diselenggarakannya debat-debat berikutnya.
baca juga opini lainnya : Menggugat Sikap Ambigu Politik Muhammadiyah
Narasi berikutnya yang terus dikampanyekan oleh Nurhadi-Aldo ialah menolak fanatisme buta capres. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat harus cerdas dalam menentukan pilihannya pada 17 April 2019 mendatang. Praktik kampanye hitam (black campaign) dan politik uang (money politics) masih menjadi musuh bersama demokrasi di tanah air.
Menurut Susno Duadji, praktik politik uang yang biasa terjadi dalam pemilu identik dengan tiga hal. Pertama, politik uang dengan cara membeli kursi dalam bentuk mahar terhadap partai politik. Kedua, politik uang yang dilakukan dengan cara membeli kesempatan dan kekebalan hukum, agar penyelenggara pemilu, saksi dan penegak hukum tidak menganulir kegiatan money politics yang dilakukannya. Ketiga, yakni dengan cara membeli suara rakyat.
Praktik politik uang riskan terjadi pada gelaran Pemilu kali ini, tentunya masyarakat harus benar-benar waspada. Apalagi regulasi pada UU Pemilu No.7 tahun 2017 pada lampiran pasal 286, membolehkan pemberian biaya/uang makan dan minum peserta kampanye, biaya/uang transport peserta kampanye, biaya/uang pengadaan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog.
Dengan adanya legitimasi dari pasal ini tentu akan sulit dibedakan antara cost politic dan money politics. Bagi masyarakat awam tentu sangat mudah untuk dijadikan sasaran dalam meraup suara. Karena asumsi masyarakat bahwa setiap calon yang memberikan dana untuk transport atau konsumsi dianggap sebagai instrumen untuk mendukung salah satu calon.
Maka sejatinya Nurhadi-Aldo secara tidak langsung mengajak kepada seluruh masyarakat untuk tidak gampang terjerumus dalam pusaran politik uang. Suara rakyat tidak sebanding dengan segelintir nominal rupiah. Tentunya masa depan bangsa ini sangat tergantung pada pilihan rakyat 17 April mendatang.
Momentum pesta demokrasi lima tahunan ini bukanlah ajang untuk saling menghujat apalagi sampai menjatuhkan harkat dan martabat. Maka menjadi kewajiban bersama untuk saling menjaga persatuan bangsa ini. Sehingga cita-cita demokrasi yang sehat,bersih dan damai dapat terwujudkan.
*Oleh : M. Ibnu Rizal, Peneliti di Peace Literacy Network (PEACELINK)