Modernis.co, Jember – Perkembangan teknologi semakin membuat ruang demokrasi lebih terbuka. Kebebasan berekspresi melalui media sosial merupakan suatu hal lumrah dalam menyampaikan opini dari setiap kondisi maupun situasi.
Baru-baru ini media sosial kembali ramai memperbincangkan gerakan mahasiswa. Setelah BEM UI melemparkan opini yang hari ini masih menjadi pro dan kontra atas postingan yang merujuk Presiden Jokowi sebagai “the king of lip service”
Tulisan ini tidak fokus pada benar tidaknya judgment tersebut. Tetapi coba kita mulai dan menelaah dari gerakan mahasiswa dan ketakutan elit politik ketika kursi kekuasaannya terusik oleh kritikan yang tersebar melalui media sosial.
Gerakan Mahasiswa
Mahasiswa merupakan representatif bangsa sebagai pemuda pemudi penerus NKRI, secara historis peran pemuda dalam merebut kemerdekaan sangat signifikan, dimulai dari terbentuknya wadah organisasi gerakan di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang bernama Boedi Oetomo, yang mana organisasi ini didirikan di Jakarta pada 20 Mei 1908.
Pemuda yang telah mengenyam pendidikan secara sadar bahwa kondisi sosial sedang tidak baik-baik saja. Melalui banyak dinamika dari tahun ke tahun, dari sinilah gagasan kebangsaan mulai timbul dan akhirnya secara nyata mampu merebut kemerdekaan di tahun 1945.
Tidak hanya itu, yang telah publik ketahui bersama bahwa mahasiswa sangat berperan aktif dalam berjalannya demokrasi, 1998 menjadi identitas mahasiswa sebagai agent of sosial control. Puncak kemarahan mahasiswa terhadap rezim orde baru setelah memimpin selama puluhan tahun dan sistem otoriter dalam menjalankan sebuah kepemimpinan. Merupakan landasan dasar bagi mahasiswa untuk bergerak dan bersatu meruntuhkan rezim.
Maka dari itu, sangat disayangkan apabila kampus mematikan ruang intelektual dengan daya kritis tinggi. Karena mahasiswa akan menjadi partner kritis pemerintah dalam setiap kemajuan peradaban.
Ketakutan Elit Politik
Indonesia menggunakan sistem demokrasi, secara tidak langsung maka sistem ini mendorong masyarakat untuk detail melihat kondisi sosial dan kebijakan suatu rezim demi kemaslahatan umat.
Maka dari situ, pantas saja jika ada kritikan dalam bentuk opini ataupun kajian ilmilah. permasalahannya adalah bagaimana pemerintah melihat sebuah kritikan itu? Secara tidak langsung hari ini rezim telah memperlihatkan bahwa kritik mahasiswa dipersepsi buruk ketika posisi atau jabatannya terganggu.
Contoh kecilnya ialah sikap Rektor Universitas Indonesia (UI) yang berupaya membungkam ketika Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang melantunkan kritik terhadap Presiden Jokowi sebagai “the king of lip service”. Terdapat upaya beberapa oknum termasuk Prof Ari Kuncoro yang bisa di katakan bagian dari elit politik karena posisinya sebagai rektor UI yang merangkap Wakil Komisaris BUMN.
Dari sini bisa kita asumsikan bahwa elit politik merasa ketakutan ketika kepentingannya terganggu. Sehingga mendorong posisinya sebagai bagian kontra dalam polemik “the king of lip service”, Elit politik bersua guna menstabilkan opini publik yang dilontarkan oleh gerakan mahasiswa.
Rezim yang baik tentu saja tidak akan rela jika melihat rakyatnya menderita, tetapi bagaimana jika penderitaan itu di buat atau di atur sedemikian rupa dan membungkam kebenaran ketika rakyat bersuara? Saya fikir perlu kita lihat bagaimana pemerintah menetapkan kebijakan ahkir-ahkir ini. Walaupun banyak oknum yang kemudian mencoba memperkuat barisannya untuk mempertahankan kekuasaan dan memperkaya diri bagi segelintir kelompok yang satu frekuensi dalam langkah politiknya.
Oleh: M Yayan, Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jember