PPN Sembako, Jurang Petani Indonesia

PPN Sembako

Modernis.co, Jember – Kembali berulah, setelah tidak adanya legitimate rakyat terhadap pemerintah sebagai pemangku kebijakan semenjak RKUHP, pelemahan KPK, korupsi bansos, penanganan covid, hinga Undang-Undang Omnibus Law yang tetap disahkan walaupun banyak pertentangan yang menimbulkan aksi demonstran besar-besaran semenjak tahun 2019.

Akhir-akhir ini muncul kembali berbincangan prihal kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan diterapkan melalui revisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dalam hal ini, Pemerintah berencana untuk menerapkan PPN untuk kebutuhan pokok atau sembako. Rencana tersebut tertuang dalam draf RUU KUP yang menghapus pasal soal sembako yang tidak dikenai PPN.

Menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pasal 4A Ayat 2 menyatakan bahwa jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut;

a) barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b) barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c) makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering dan; d) uang, emas batangan, dan surat berharga.

Dalam draf RUU KUP mengenai pasal di atas menghapus poin A dan B, yang artinya barang kebutuhan pokok akan dikenai pajak setelah RUU ini di sahkan.

Hal ini tentu saja akan menyinggung dan berpengaruh pada masyarakat sipil, mengingat kebututuhan pokok yang dimaksud ialah beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, buah, sayuran dan lain sebagainya.

Apakah kebijakan ini menguntungkan dalam sektor pertanian?

Berbicara kebutuhan pokok, kita tidak akan terlepas atas jasa petani, sektor pertanian tidak hanya berbicara tentang tanam-menanam, akan tetapi pasar juga menjadi penentu bagi kesuksesan petani dalam meraih profit.

Dalam sektor pertanian, stabilitas pasar adalah hal yang fundamental, keseimbangan permintaan dan penawaran akan berpengaruh besar, jika hukum pasar tidak berjalan seimbang, tentu saja akan menghambat perputaran ekonomi itu sendiri.

Potensi rakyat kecil (menengah ke bawah) untuk tidak dapat mangakses kebutuhan pokok bisa saja terjadi jika PPN terkait sembako ini diterapkan, dan itu artinya hukum pasar akan tidak stabil karena penyediaan barang atau penawaran akan lebih tinggi.

Hukum penawaran memiliki keterkaitan antara tingkatan harga tertentu dengan barang yang akan dijual atau ditawarkan. Ini telah menjadi pakem yang pasti dan telah menjadi regulasi tidak tertulis yang tidak bisa dicegah. Karena risikonya ialah pemilik akan mengalami kerugian.

Pada akhirnya, hukum penawaran tidak hanya ditentukan oleh hasil produktifitas petani, akan tetapi mulai bergeser pada tingkat capaian konsumen dalam mengakses atau membeli barang tersebut.

Kesimpulannya ialah PPN terkait kebutuhan pokok akan berpengaruh pada petani ketika menyinggung hasil penjualan atau pemasaran, hasil produktifitas petani akan mangkrak di pasar dan berpotensi tidak terjual karena daya beli masyarakat yang mulai melemah.

Melihat kebijakan PPN sembako yang akan dirasakan langsung oleh rakyat sebagai konsumen, memperjelas bahwa ada ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat kecil, seakan-akan hari ini pemerintah ingin melimpahkan beban pada rakyat guna mampu mengangkat perkonomian di Indonesia pasca pandemi. Padahal kebijakan tersebut berpotensi untuk menjadi api yang akan membakar tubuhnya sendiri.

Oleh : M Yayan (Presnas Ikatan BEM Pertanian Indonesia)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment