Yuk, Mengenal Prinsip Utmost Good Faith Dalam Perjanjian Asuransi

perjanjian asuransi

Modernis.co, Mojokerto – Setiap bentuk aktifitas manusia pada dasarnya selalu diliputi oleh adanya risiko, semisal kecelakaan, kematian, penyakit kronis dan lain sebagaianya. Risiko sangat identik sekali dengan ketidak pastian atau uncertainty. Untuk mengurangi sebuah risiko yang menimpa seseorang, salah satu alternatifnya adalah dengan cara melimpahkan risiko tersebut kepada pihak lain (lembaga lain).


Lembaga dalam hal ini yang dimaksud adalah asuransi atau lembaga pertanggungan. Asuransi sendiri merupakan serapan dari diksi asing yaitu insurance yaitu suatu lembaga yang berbentuk badan hukum baik swasta maupun non swasta yang didirikan guna atau untuk menerima pelimpahan risiko dari pihak yang mengalihkan risiko tersebut.


Adapun mengenai definisi asuransi secara umum adalah perjanjian antara dua pihak, dimana pihak yang satu berkewajiban membayar iuaran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang miliknya sesuai dengan perjanian yang dibuatnya.


Selain itu pasal 246 KUH Dagang mendefinisikan pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evanemen.


Dari berbagai macam produk asuransi yang kita kenal, pada dasarnya poin pentingnya adalah terletak pada perjanjian antara pihak tertanggung kepada pihak penanggung. Namun perjanjian asuransi ini sedikit agak berbeda dari perjanjian pada umumnya, yaitu dimana di dalam perjanjian asuransi ini dikenal dengan prinsip utmost good faith (I’tikad baik sempurna).


Prinsip tersebut dapat didefinisikan sebagai suatu kewajiban yang positif dari tertanggung untuk menyampaikan seluruh fakta yang sifatnya penting secara lengkap dan akurat, secara sukarela tanpa paksaan dan tidak ada yang ditutupi atas risiko yang akan ditimbulkan dari objek yang akan di asuransikan baik diminta oleh perusahaan asuransi atau tidak.


Hal itu tertera dalam pasal 251 KUH Dagang yaitu semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan I’tikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan sesungguhnya, maka pertanggungan batal.


Tentu dalam hal ini perjanjian asuransi memiliki sedikit perbedaan dengan perjanjian yang lainnya. Dalam perjanjian antara kedua pihak hanya dituntut beri’tikad baik, sedangkan dalam perjanjian asuransi menuntut calon tertanggung untuk ber’tikad baik sempurna. Hal ini menuntut kejujuran dan keterbukaan tertanggung kepada penanggung.
Pentingnya keterbukaan dan kejujuran dari tertanggung adalah guna mengetahui seberapa besar risiko yang dihadapi oleh tertanggung dalam aktifitas kesehariannya.

Semakin besar risiko yang dihadapi tertanggung maka semakin besar pula premi yang harus dibayar, atau sebaliknya semakin kecil risiko tertanggung maka semakin kecil premi yang harus dibayarkan.
Semisal, asuransi kesehatan si A memilki kebiasaan merokok, meminum minuman beralkohol dan makan makanan siap saji maka peluang si A terkena gangguan kesehatan sangat besar. Sedangkan si B memiliki kebiasaan berolahraga, tidak merokok dan seorang vegetarian maka peluang si B terkena gangguan kesehatan sangat kecil.


Dari kedua contoh kasus itulah, penanggung menentukan besaran premi yang harus dibayar berbeda. Sehingga, tertanggung diharapkan untuk jujur dan terbuka dalam menyampaikan informasi mengenai dirinya, apabila tertanggung secara sengaja atau tidak sengaja menyembunyikan fakta informasi itu maka berdampak saat klaim asuransi di kemudian hari.

Oleh :Muhammad Haffidhul Umam, SH.
(Advokat dan Konsultan Hukum LBH Mu Kabupaten Mojokerto)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment