Modernis.co, Malang – Bila ditelusuri tentang perkembangan konsep maqashid shari’ah, maka diketahui bahwa maqashid shari’ah sudah ada sejak zaman Nabi Saw waupun belum dapat dikatakan sebagai konsep yang utuh. Meskipun demikian, proses pembentukan konsep maqashid syariah adalah proses yang menyejarah. Bahkan yang pertama kali menuliskan tentang konsep ini adalah Abu ‘Abdillah bin ‘Ali al-Tirmidzi (w. pada akhir abad 3 H).
Terhadap konsep maqashid shari’ah dapat ditelusuri dalam hadis, “Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw. Kepada kami: “Wahai generasi muda Barang siapa diantara kamu telah mampu berkeluarga hendaklah kawin, karena ia dapa tmenundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu, ”(Muttafaqun ‘alaihi).
Sekilas tentang Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali at-Thusi al-syafi’i, yang dikenal juga dengan Hujjatul Islam al-Imam al-Jalil Zaid ad-Din (argumentator Islam). Lahir pada tahun 450 H di Desa Ghazalah, di pinggir kota Thus, bagian Timur laut negara Iran.
Al-Ghazali menyelesaikan pendidikanya di tanah kelahiran, ia belajar ilmu al-Qur’an dan dasar ilmu keagamaan lainya kepada ayahnya, kemudian al-Ghazali belajar fiqh kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razakny at-Thusu di Thus dan tasawuf dari Yusuf an-Nassaj, kemudian hingga 470 H. Al-Ghazali, belajar ilmu-ilmu dasar lain, termasuk bahasa Persia dan Arab pada Nasr al-Ismail di Jurjin. Pada usia 20 tahun ia telah menguasai beberapa ilmu dasar dan dua bahasa pokok yang lazim dipergunakan oleh masyarakat ilmiah ketika itu.
Pada tahun 473 H, Al-Ghazali pergi ke Naisaibur untuk melanjutkan pendidikan pada Madrasah Nizamiyah, ketika itu dipimpin dan dikelola langsung oleh Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwayni (478 H). Dari Madrasah Nizamiyah al-Ghazali mempelajari fiqh dan ushul fiqh, mantiq (logika) dan ilmu kalam dari aliran Asy’ariyah dan selainya yang berkembang saat itu. Pada tahun 484 pasca wafatnya al-Juwayni, Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di Madrasah Nizamiyah.
Dalam proses pendidikanya di Naisaibur, Al-Ghazali dijuluki Bhar Mu’riq (lautan yang menghanyutkan) karena penguasanya kepada ilmu-ilmu yang didapatkanya, temasuk ilmu logika. Sehingga secara tegas dia mampu memberikan sanggahan kepada para penentangnya. Al-Ghazali dikenal juga sebagai filosof, sufi-faqih dan ushuli. Dalam bidang ilmu kalam Al-Ghazali menganut paham asy’ariyah, sedangkan dalam hukum Islam ia bermazhab Syafi’i.
Imam Al-Ghazali meninggal dunia menjelang matahari terbit di kota Thus, tepatnya pada hari senin 14 Jumadil Akhir 505H/ 1111 M), dan dimakamkan di Zhahahir al-Tabiran, Ibukota Thusi.
Karya ilmiah yang ditinggalkan dalam berbagai cabang ilmu keagamaan, mulai dari fiqh, ushul fiqh, ushul al-din, mantik, jidal, khilaf filsafat hingga tasauf. Di antara karyanya yang terkenal adalah tahafut al-falasifah,Al-Muqidz min al-Dhalal, al-Musthashfa min ‘Ilm al-Ushul dan ihya Ulum al-Din.
Al-Ghazali : Konsep Maqashid Shari’ah
Dari segi kebahasaan, kata maqashid syariah terdiri dari dua penggalan kata yaitu maqashid (qashada) yang berarti menuju, bertujuan, berkeinginan atau berkesengajaan. Sedangkan syariah (syara’i) adalah sesuatu yang disyariatkan Allah Swt kepada hambanya, diantaranya berupa aturan-aturan hukum. Atau dapat diartikan maqashid syariah adalah tujuan Allah Swt menetapkan hukum terhadap hambanya, yang dalam penerapan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan kemaslahatan kepada umat manusia.
Menurut Al-Ghazali maslahat makna asalnya merupakan maslahah dalam hukum Islam adalah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan syariat yang pada intinya terangkum dalam al-mabaadi’ al-khamsyah yaitu perlindungan terhadap agama (hifzd al-din), jiwa (hifzd al-nafs) akal (hifzd –‘aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifzd al-maal).
Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal tersebut disebut maslahat, dan setiap hal yang membuat hilangnya lima unsur ini disebut mafsadah. Lima poin penting dalam al-mabaadi’ al-khamsyah adalah peringat al–Dharurat (sangat urgent). Dan ini adalah tingkat tertinggi dari al-maslahah yang perlu dijaga.
At-Thufi dan Al-Ghazali membagi maslahat menjadi tiga bagian yaitu dharuriat, hajiat dan tahsiniat. Menurut Al-Ghazali maslahat hajiat dan tahsiniat tidak dapat dijadikan hujjah (dalil), kecuali hajiyat yang menampati posisi dharuriat. Dalam hal ini al-Syathibi senada dengan Al-Ghazali.
Kemudian Al-Ghazali menerangkan peringkat yang ketiga dari maslahah, yaitu perkara yang tidak termasuk ke dalam al-Dharurat dan tidak pula termasuk ke dalam katagori al-hajiat, tetapi digolongan ke dalam kelompok al-Tahsin (menambah baik) dan al-Tazyin (memerindah), gunanya adalah untuk menjaga dan memelihara cara-cara yang terbaik dalam adat (tradisi) dan mu’amalat (interaksi) yang berlaku dalam masyarakat.
Contoh yang beliau kemukakan adalah tidak dibenarkan hamba sahaya menjadi saksi, walaupun fatwa dan riwayatnya diterima, karena level atau posisi hamba sahaya lebih rendah dibandingkan orang yang merdeka. Hal ini disebabkan kedudukan mereka lemah dan di bawah kuasa pemiliknya, sehingga tidak bisa dijadikan saksi dengan asumsi adanya tekanan- tekanan dan pihak majikan.
berbeda dengan at-Thufi, hujattul islam Al-Ghazali mengatakan bahwa setiap maslahah yang bertentangan dengan al-Quran, sunnah, atau ijma’ adalah batal dan harus dibuang jauh-jauh. Setiap kemaslahatan yang sejalan dengan tindakan syara’ harus diterima untuk dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam.
Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan utama penetapan hukum Islam untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia pada dua dimensi, yaitu duniawi dan ukhrawi yang bersifat tahshil (menghasilkan) bermakna mendatangkan manfaat kepada kepada banyak orang, dan ibqa’ (mengekalkan) bermakna mempertahankan eksistensi suatu dan menolak kemudaratan dari padanya.
Maka peranan maslahat dalam hukum Islam adalah sangat dominan dan menentukan dalam meng-istinbath hukum. Satu hal yang tidak kalah penting dari Al-Ghazali adalah bagaimana kegigihanya dalam paham yang dianutnya. Ia juga berhasil memadukan antara akal dan wahyu.
Tahshil dan ibqa’ inilah sifat universalitas Islam. Di mana Islam tidak hanya sebagai konsumsi umat Islam saja, tetapi bagaimana Islam dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin di tengah-tengah situasi masyarakat heterogen. Islam model inilah yang ideal. Senada pula dengan al-islam shalih li kulli zaman wa makan (Islam itu serasi pada setiap zaman dan tempat). Semoga!
Oleh : Mahdi Temarwut (Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam, Universitas Muhammadiyah Malang)