Eksistensi HAM di Indonesia Harus Lebih Transformatif

Eksistensi HAM

Modernis.co Malang – Hangatnya perbincangan mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang mana rakyat pun tidak mendapatkan sama sekali keadilan dalam HAM. Sudahkah Komnas HAM menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik? Dengan demikian apakah Komnas HAM muncul sebagai pelindung rakyat sebelum terjadinya pelanggaran terhadap HAM? Dan sebenarnya siapakah yang salah?

Berbicara mengenai HAM tidak akan terlepas dari hukum alam seperti pernyataan G.Singer “Hukum alam merupakan suatu konsep dari prinsip-prinsip umum moral dan sistem keadilan dan berlaku untuk seluruh umat manusia”

Adapun pandangan dari John Locke yang menyatakan bahwa penguasa tidak dapat memerintah secara sewenang-wenang sepenuhnya, penguasa tidak dapat melimpahkan kekuasaan membuat undang-undang kepada orang lain, penguasa tidak dapat mengambil atau merampas hak milik seseorang begitu saja tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Penguasa berkewajiban untuk menegakkan keadilan dalam mengambil keputusan-keputusan tentang hak kawula-kawula negaranya menurut undang-undang yang tetap, didalam Negara harus ada pemisahan antara kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasan federatif yang mengurus hubungan-hubungan luar negeri.

Kasus-kasus pelanggaran HAM

Beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia diantaranya Pertama, kasus Novel Baswedan penyiraman air keras di mana orang-orang tidak ada yang mengetahui atas tindakan tersebut. Siapa yang melakukannya?

Sebenarnya kasus tersebut termasuk tindak pidana biasa kalau itu belum terungkap secara utuh, dan apabila kasus ini berlarut-larut tidak terungkap siapa tersangka dalam penyiraman air keras pada Novel Baswedan. Maka kasus tersebut termasuk pada pelanggaran HAM karena setiap orang yang terkena kasus tindak pidana dia harus mengetahui siapa yang melakukannya.

Kedua, kasus di Papua yakni adanya diskriminasi penduduk Papua yang diberlakukan berbeda dari yang lain dan mereka tidak bisa berpendapat di muka umum secara bebas, jikalau mereka melakukannya akan mendapatkan suatu jaminan hukum seperti pasal makar.

Ketiga, kasus perampasan tanah di Taman Sari (12/12/2019) di mana rakyat menempati tanah yang bukan milik siapa-siapa dan tanah tersebut yakni milik Negara serta merekalah pemilik sah Negara, dan tiba-tiba rakyat digusur secara paksa serta tanah tersebut diminta oleh Pemerintah dengan alasan akan digunakan untuk perusahan serta tanpa adanya bukti yang valid.

Padahal sudah jelas konstitusi mengatakan bahwasannya tanah itu digunakan sebesar-besar mungkin untuk kemakmuran rakyat, akan tetapi bagaimana dengan kasus perampasan tanah pada rakyat? Berarti sudah jelas seakan-akan ini untuk kepentingan para penguasa, dan pengusaha.

Keempat, kasus penembakan di Tol Jakarta Cikampek KM 50 (7/12/2020) yang dilakukan oleh petugas kepolisian dalam waktu yang sama dan menewaskan 4 anggota Laskar FPI (Front Pembela Islam), dan masih banyak lagi kasus pelanggaran HAM.

Mengutip perkataan Sigit Riyanto dalam bukunya yang berjudul “Penegakkan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis” ia menerangkan bahwasannya berbagai upaya untuk melakukan proteksi terhadap HAM pada umumnya terhadap pelanggaran HAM berat. Jenis kejahatan terhadap kemanusiaan bermacam belahan dunia tanpa terkecuali di Indonesia, tidaklah ialah merupakan sesuatu yang diterima cuma-cuma.

Akan tetapi juga membutuhkan sesuatu proses yang panjang didalamnya, paling tidak terikat pada adanya suatu dinamika internasional, instrumen hukum yang ada, dan bagaimana memutuskan pendekatan terhadap peninggalan masa lalu.

Upaya dalam pelanggaran HAM

Dapat disimpulkan bahwasannya segala sesuatu yang merujuk pada kekerasan atau paksaan harus diupayakan dengan melakukan asas nesesitas, proporsionalitas, dan profesionalitas. Prinsip tersebut telah diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 34 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM atas perlindungan hak memperoleh keadilan dan hak untuk hidup seseorang.

Terkait asas tersebut tidak hanya mencangkup hukum pidana atau acara pidana, tetapi mencangkup pada semua aspek hukum yang didalamnya melibatkan aktor Negara, alangkah pentingnya untuk membedakan antara melakukan dan membiarkan.

Adapun pelanggaran HAM ketika (Kejaksaan Agung) atau penyidik yang tidak mau tanggung jawab dan menyuruh penyelidik (Komnas HAM) untuk melengkapi bukti-bukti tersangka. Padahal sudah jelas dalam hukum acara pidana penyelidik (Komnas HAM) itu hanya menemukan tindak pidananya, lalu untuk kelengkapan bukti-bukti dalam setiap kasus dan tersangka itu yang berhak adalah penyidik (Kejaksaan Agung).

Perlu adanya suatu kebebasan atau peluang dalam berpendapat di muka umum untuk menyampaikan suatu aspirasi demi menegakkan keadilan, dan karena ini lah termasuk esensi dari demokrasi Negara. Kita sebagai penerus bangsa maka sangat penting peran untuk menjaga, dan memperjuangkan HAM dari pelanggaran HAM itu sendiri, dan para aparat hukum pun tidak boleh membeda-bedakan antara mana kaum proletar dan kaum borjuis.

Jika seseorang melakukan pelanggaran, tetaplah termasuk pelanggaran dan tidak ada keringanan antara kaum proletar maupun kaum borjuis, semua sama-sama akan mendapatkan hukuman yang setimpal atas apa yang dilanggarnya.

Komnas HAM juga harus berperan andil dalam menanggulangi kasus-kasus pelanggaran HAM, yang mana pentingnya untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, dan upaya-upaya preventif pun harus dilakukan secara optimal. Agar pelanggaran HAM tidak terulang kembali cukup sampai saat ini saja,,dan jadikanlah Indonesia yang damai.

Oleh: Nabila Aprilia (Mahasiswa UMM)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment