Modernis.co, Malang – Demokrasi merupakan diskursus yang selalu menghiasi wacana pemikiran politik, baik secara lokal maupun di skala global. Selalu diperbincangkan, sebab dianut oleh sebagian besar negara di dunia. Namun, sungguh agak menggelitik ketika beberapa negara yang otoriter pun mengakui bahwa dirinya dengan beragumen bahwa “memaknai demokrasi dan ciri khususnya adalah disesuaikan dengan kepribadian bangsa”.
Jika ditelisik secara cermat, hakikatnya demokrasi bukanlah konsep baru yang akhir-akhir ini muncul. Akan tetapi, merupakan ide serta gagasan ribuan tahun lalu yang muncul mulanya pada zaman Yunani Kuno, tepatnya di Kota Athena. Secara sederhana, demokrasi bermakna “suatu sistem pemerintahan yang sepenuhnya berada dalam kuasa tangan rakyat”.
Istilah demokrasi pertama kali dikenalkan oleh sejarawan Yunani namanya Herodatus pada abad ke-5 SM. Herodatus memulai pemahaman akan demokrasi lewat pertanyaan yang ia ajukan, “berapa banyak orang yang memiliki kekuasaan tertinggi di suatu negara ?”. Herodatus pun menjawabnya sendiri, yakni pada “satu, beberapa dan banyak orang”. Berdasarkan jawaban tersebut, maka dibuatlah pembidangan sistem yaitu “monarkhi, aristokrasi dan demokrasi.
Herodatus pun kemudian menyusun tiga prinsip demokrasi, yakni: kesetaraan dalam hukum, partisipasi warga negara dalam pembuatan hukum, dan kebebasan berbicara (Lipson, 1964 dalam Dr. Victor Silaen: 2012, hal 1). Selain Herodatus, terdapat satu pemikir lagi yang menurut penulis idenya tentang sistem demokrasi sangat ideal mencerminkan sikap demokrasi. Pemikir tersebut yakni Thucydides.
Menurut Thucydides, dalam konteks pemerintahan berdemokrasi siapapun berhak naik menjadi pemimpin tanpa melihat latar belakangnya. Tak peduli bagaimana pun orang tersebut, dia tidak boleh dicegah untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, terutama yang berhubungan dengan kepentingan publik. Selama ia mampu berkontribusi secara positif, adalah keharaman dan pelanggaran besar apabila mencegah/melaranganya. Perihal hak beraspirasi dan berbicara, hukum harus hadir menjamin hak serta keselamatanya.
Sebenarnya sejak awal kemunculan, demokrasi bermakna pemerintahan rakyat atau rakyat yang berkuasa penuh (demos: rakyat, kratein: memerintah), sudah menuai banyak kritikan tajam dari para pemikir Yunani. Dalam pandangan mereka, warga negara biasa tidak berkompeten dalam memimpin suatu negara, memandang sesuatu secara pribadi dan semata mengurus hal-hal jangka pendek (walaupun atas nama demokrasi yang ideal).
Pemikir yang paling tajam kritikanya berasal dari Plato, penganut filsafat etis. Walaupun demikian, rakyat Yunani meyakini bahwa demokrasi merupakan tatanan bernegara yang terbaik sebagai penunjang pembentukan kestabilan politik. Pun Winston Churchili pernah berujar “Democracy is worst possible of government” (demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk diantara bentuk-bentuk pemerintahan lain yang pernah ada).
Antara Mayoritas dan Rakyat
Agaknya dalam mengartikan demokrasi sebagai suatu sistem/bentuk pemerintahan atas kuasa sepenuhnya oleh rakyat sungguhlah bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi apabila konsep tersebut dihubungkan dengan prinsip mayoritas dan asas kesamaan dalm politik. Akan ada banyak pemikiran yang bervariasi dan beragam didalamnya. Muncul pertanyaan-pertanyaan seputar “apa itu pemerintahan ?” dan “siapa saja yang dimaksud dengan rakyat ?”.
Jack Lively (1975) dalam bukunya berjudul Domocracy amatlah bagus dijadikan referensi dalam memaknai hal tersebut. Sebagai seorang professor politik ternama di University of Warwick (terkenal dengan studinya tentang demokrasi), Lively mendefinisikan demokrasi sebagai suatu pemerintahan yang mengakomodir warga negara dengan mengkualisifikasikan bahwa warga negara berkompetenleh yang berhak memimpin.
Pernyataan Lively pun cukup menarik hingga memunculkan berbagai pertanyaan, diantaranya “siapakah yang dimaksud warga negara dimaksud dan bagaiamana pembuat kebijakan bisa menjangkaunya ?”. Bagi Lively kelompok mayoritas dianggap cocok menjadi pembuat kebijakan dan prosedural lainya, dan minoritas (rakyat dalam kelompok kecil) harus tunduk dan patuh pada aturan yang dibuat.
Ihwal kesetaraan politik, Lively menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk ikut terjun dan terlibat didalamnya. Namun, ia menambahkan perihal partisipasi bergantung sungguh pada latar belakang orang tersebut, seperti: tingkatan pendidikan, akumulasi kekayaan, strata/kelas sosial, karir dan lainya. Beberapa hal itu cukup mempengaruhi keterlibatan seseorang dalam kehidupan politik.
Apalagi kondisi sekarang, penguasaan atas media mempengaruhi ritme politik suatu wilayah. Jelas-jelas hal semacam ini akan memperpanjang kelanggengan kekuasaan. Macpherson turut berkomentar terkait kesetaraan politik dalam demokrasi. Ia berpendapat bahwa demokrasi sarat akan nilai kesetaraan politik. Namun hal itu seringkali bertolak belakang dengan nilai kesetaraan yang dimaksud oleh demokrasi.
Kesetaraan selalu menjadi ketidaksetaraan ketika dipengaruhi jenjang pendidikan, strata sosial serta akses terhadap media massa. Upaya untuk mendobrak klasterisasi tersebut tidaklah dengan sendirinya akan mewujudkan kesetaraan politik. Selama pejabat elit melanggengkan kekuasaanya, adalah cita-cita utopis untuk mewujudkan kesetaraan politik. Seumpama menginginkan kekayaan, namun tak pernah beranjak dari tempat tidur.
Dua pandangan tokoh diatas sudah cukup mengilustrasikan kondisi kehidupan berdemokrasi bangsa kita. Potret-potret ketidakadilan dan diskriminasi cukup menjamur. Dengan demikian, bahwa asas berdemokrasi adalah semua warga negara memperoleh hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Karena yang bisa berpartisipasi aktif dalam aktivitas politik (bukan satu-satunya, sebab ada banyak dimensi yang memerlukan kontribusi di bangsa kita) hanya yang “dirasa” berkompeten saja.
Rupanya pemilihan dan pemilahan ini malah memperlihatkan ketidaksetaraan dalam hidup berdemokrasi. Praktek oligarki politik menjadi sumber dari segala ketimpangan sosial. Ajaran pancasila dan amanat konstitusi tak lagi diindahkan. Mereka yang berkuasa akan selalu mempersiapkan generasi baru untuk menggantikan posisinya. Prinsip dalam pemilahan umum, luber dan jurdil entah mengembara kemana.
Kesetaraan politik hanya bagian terkecil dari tuntutan rakyat selaku pemegang kuasa penuh negara yang berdemokrasi. Mengingat permasalahan bangsa lainya akan bisa teratasi apabila kesetaraan politik terselesasikan. Begitulah adanya jika tidak menghayati nilai demokrasi yang sesungguhnya. Seluruh elemen rakyat perlu diakomodir oleh negara sebagai bentuk realisasi nyata kehidupan yang demokratis.
Idealnya demokrasi harus dipahami sebagai alat dalam mewujdukan kesejahteraan, menghilangkan praktek diskriminasi dan mendobrak segala bentuk ketimpangan sosial. Kesalahan praktek demokrasi adalah ketika demokrasi dijunjung tinggi sebagai media memperkaya diri sendiri. Banyak kita temui pejuang demokrasi, namun ternyata memainkan peran yang non-demokratis. Sungguh sangat paradoks sekali.
Keluhuran demokrasi perlu untuk didemonstrasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Sebagaiman latar belakang kemunculanya, demokrasi tidaklah lebih dari usaha memperlakukan semua warga negara dengan adil. Rasanya untuk mengembalikan ruh demokrasi perlu kiranya menggalakkan apa yang disebut oleh Hasnan Bachtiar sebagai “Teologisasi Demokrasi” (Hasnan Bachtiar, 2020).
Penghayatan terhadap demokrasi diimbangi dengan internalisasi nilai spiritual didalamnya, agar nilai demokrasi memuat cipratan pikiran-pikiran agama. Demokrasi tidak boleh kering akan nuansa spiritual, sebab agama adalah ruhnya kehidupan yang beradab. Keadaban demokrasi dapat diwujudkan apabila demokrasi tidak mengambil jarak dengan prinsip-prinsip agama, maqashid syariah salah satunya. Fastabiqul khoirat.
Oleh: Wahjiansah (Mahasiswa HKI UMM, Aktivis IMM Tamaddun FAI & Awardee Baitulmaal Muamalat UMM)