Post-Truth dan Kekacauan Nalar Umat Beragama

umat beragama

Modernis.co, Malang – Tragedi pengeboman di Sri Lanka menambah daftar peristiwa terorisme di Dunia. Setelah sebelumnya terorisme juga terjadi di Selandia Baru. Isunya tak jauh berbeda dengan kasus terorisme di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia, yaitu Isu agama yang selalu dijadikan motif pembenaran atas tindakan yang tidak berprikemanusiaan.

Corak berpikir para pelaku terorisme ini dipengaruhi olah cara seseorang memahami agama itu sendiri. Bagaiamana tidak, di era globalisasi yang seperti ini, orang dengan sangat mudah mendapatkan informasi ─termasuk informasi doktrin agama.

baca opini lainnya : Pelajaran dari Bacotan 2K

Namun, ironisnya alat (akal) yang digunakan untuk memfilter informasi itu tidak secara maksimal digunakan atau lebih tepatnya “salah digunakan”. Akibatnya orang dengan mudah memfitnah atau melabeli seseorang dengan sebutan yang tidak manusiawi seperti liberal, kafir, antek barat dll.

Bisa jadi ─atau jika boleh menggunakan kata “sebenarnya”─ tindakan terorisme yang dilakukan oleh sekelompok orang itu karena corak berpikir yang radikal. Mendorong pelaku terorisme untuk memusuhi bahkan membunuh orang yang dianggapnya salah secara sepihak. Itu baru kasus terorisme berkedok agama. Belum lagi kasus-kasus lainnya seperti sinesme antar umat beragama dll.

Keberagamaan yang semakin lama semakin keruh dan jauh dari substansi agama itu sendiri, sungguh sangat merisaukan. Masalahnya bukan pada doktrin agama yang dianut. Tapi pada pemahaman penganut umat beragama tentang agamanya. Kita meyakini bahwa esensi beragama itu adalah menebarkan pesan perdamaian kepada manusia. Tanpa melihat latar belakang sosial tertentu. Semua harus merasakan aura perdamaian termasuk orang yang tidak beragama (ateisme).

Ada beberapa faktor yang menurut saya mempengaruhi keruhnya nuansa beragama hari ini. Bisa jadi karena faktor politik, ekonomi dan latar belakang sosial tertentu. Jika kita melihat ke konteks politik, di Indonesia sudah marak terjadi bentuk “Politisasi Agama” agama dijadikan alat komoditas kelompok tertentu untuk meraih kekuasaan semu.

Dalam konteks ekonomi, agama termanifestasikan dalam dunai digital. Misalnya, munculnya media dakwah dalam aplikasi Youtube yang mampu memberikan dampak ekonomi kepada pengguna. Kemudian melahirkan Ustaz-Ustaz baru yang tak jelas background keberagamaannya. Ini menjadi persoalan keberagamaan baru di era digital. Di mana orang betapa mudahnya mengeluarkan fatwa-fatwa agama.

Tulisan ini hendak menyoal penyebab maraknya praktik Intoleransi beragama di Era Post-Truth, di mana kebenaran objektif dikalahkan dengan perasaan dan keyakinan dalam pembentuukan opini publik. Terutama pada kasus yang terakhir saya sebutkan.

Post-Truth dan Pengaruhnya

Dalam pembahasan ini, saya hendak mencoba memberikan pemahaman terlebih dahulu mengenai Post-Truth.

Dalam Wikipedia Istilah Post-Truth sebenarnya digunakan dalam dunia politik. Oleh sebab itu pada umumnya orang menyebutnya sebagai Post-Truth Politics atau Politik Pasca kebenaran. Istilah Post-Truth sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Stave Tesich seorang Amerika-Serbia dalam esainya The Nation (1992). Ia merisaukan keadaan masyarakat di mana realitas objektif atau data dan fakta objektif mampu dikalahkan dengan pembangunan opini publik melalui perasaan dan keyakinan (Cahyono: 2018). Atau lebih tepatnya melakukan sebuah pembenaran dari pada melakukan kebenaran.

Dalam perkembangannya, Post-Truth kemudian menjadi sesuatu yang fenomenal ketika Oxford Dictionaries 2016 menjadikan Post-Truth sebagai “Word of The Year” dan istilah penting dalam dunia politik (www.idntimes.com, 2018). Post Truth dalam Kamus Oxford didefinisikan “Relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief”. (Berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta-fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada menarik emosi dan kepercayaan pribadi).

Peristiwa pada pemilihan Presiden Amerika tahun 2016 di mana Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika patut menjadi contoh dalam pembahasan ini. Di media sosial Trump mampu mempengaruhi sekitar 50.000-60.000 iklan berbeda, terutama di facebook. Tak hanya itu, Trump juga menyebut Obama sebagai pendiri ISIS dan Hilary sebagai co-foundernya (Kozana: 2018).

Kasus pemilu di Amerika menandakan bahwa isu-isu hoax yang dibangun secara masif ternyata mampu mengalahkan fakta objektif. Semakin media menyiarkan berita bohong mengenai Trump, justru semakin mampu mendobrak popularitas Trump sebagai kandidiat unggul pilpres Amerika 2016 (Syuhada: 2017).

Tak hanya di Amerika, di Indonesia saya melihat fenomena Post-Truth terjadi dalam keberagamaan masyarakat kita. Semisalnya saya melihat fenomena yang tempo lalu sempat kontroversial. Pada Munas (Musyawarah Nasional) NU yang berlangsung di Ponpes Miftahul Huda Al-Azhar di mana hasil keputusan Batsul Masail Munas NU 2019 salah satunya menyepakati untuk tidak menggunakan kata “kafir” kepada non-muslim akan tetapi menggunakan kata “Muwatinun” atau sebagai warga negara.

Tentu saya percaya alasannya, bukan tanpa landasan yang tidak kuat. Melihat ulama-ulama NU yang memiliki kharismatik tinggi dan ilmu yang memadai serta tradisi kitab kuning yang sangat kental dan sarat keilmuan.

baca opini lainnya : Islam Digital

KH. Aqil Siradj mencoba menjelaskannya dalam konteks sejarah, bahwa kata kafir di gunakan oleh Nabi Muhammad Saw ketika berada di Mekkah, yaitu penyebutan untuk orang-orang yang menyembah berhala, tidak beragama dan tidak memiliki kitab suci. Ia juga menambahkan setelah Nabi Hijrah ke Madinah kata Kafir tidak berlaku bagi masyarakat Madinah yang masyarakatnya terdiri dari beberapa suku (news.detik.com, 2019).

Sebagaimana ditulis juga oleh KH. Kholid Syeirazi (2019) dalam artikelnya “Tentang Non-Muslim Bukan Kafir” bahwa penggunaan “Muwatinun” tidak untuk merevisi konsep keimanan melainkan hanya berlaku di ranah publik (mu’amalah wathaniyah).

Namun, apa yang terjadi di masyarakat pasca pemaparan hasil Munas NU? arus media utama mulai membanjiri informasi tentang hasil Munas NU. Tak terkecuali arus media daring yang banyak menghegomoni pikiran masyarakat. Termasuk Ustaz-Ustaz Youtube yang mulai memberikan pendapatnya dengan menolaknya.

Al hasil, masyarakat berbondong-bendong menolaknya, alasan yang paling banyak adalah karena fatwa Munas NU banyak bermuatan politik. Alih-alih mencari kebenarnnya justru kredibilitas fatwa NU langsung diragukan.

Jika kita lebih menggunakan akal sehat kita, Fatwa NU yang berdasarkan pada ulama yang ahli dalam bidang fikih ─sebagaimana tradisi NU yang berdasarkan pada Qur’an, Sunnah dan kitab kuning ulama mazahib─ justru dikalahkan dengan pendapat Ustad-Ustad Youtube yang saya sendiri tidak tahu berdasarkan landasan apa yang mereka gunakan.

Ulama NU dengan tradisi keilmuannya menurut saya tidak bisa dibandingkan dengan para Ustaz-Ustaz Youtube yang baru kemaren sore belajar agama.

Dari pemaparan di atas, inilah yang saya sebut sebagai fenomena Post-Truth dalam keberagamaan kita di Indonesia. Orang lebih percaya terhadap pendapat seseorang hanya karena suka terhadap ceramah-ceramahnya. ─maskudnya ceramah Ustaz-Ustaz media sosial─ dibandingkan dengan pendapat ulama NU yang sudah lama menghiasa tradisi keagamaan Islam di Indonesia.

Catatan Akhir

Fenomena Post-Truth memang tidak bisa dielakan dalam kehidupan kita sehari-hari, termasuk kehidupan beragama. Namun, ia mampu dilawan dengan menggunakan akal sehat kita dalam memfilter arus informasi yang membanjiri ruang-ruang opini publik.

baca opini lainnya : Setop Hoaks, Bantu Selamatkan Nyawa Petugas KPPS!

Oleh sebab itu, fenomena Post-Truth Jika tidak diantisipasi sejak dini, tentu akan menjadi permasalahan yang sangat besar. Terutama dalam membangun pola pikir keagamaan kita hari ini. Hitler pernah mengatakan bahwa kebohongan yang terus diulang-ulang maka ia akan menjadi suatu kebenaran.

Hanya dengan melawan arus media yang menyodorkan informasi yang tak jelas sumbernya ─termasuk informasi radikalisme beragama─, serta budaya kritis dan literasi yang tinggi ─memfilter informasi-informasi media sosial─ saya yakin umat beragama secara bertahap akan mengerti esensi beragama itu sendiri yaitu menebarkan pesan perdamaian.


Oleh : Baiturrahman (Alumni Short Class JIMM Milenial Yogyakarta, Peneliti di PeaceLink)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment