Modernis.co, Malang — Mata mana yang tidak meneteskan air mata menyaksikan penindasan yang mengenaskan, telinga mana yang tidak tersentak mendengar pekikan penderitaan yang menggemparkan, dan hati mana yang tidak ngilu merasakan pahitnya perjuangan kaum minoritas yang memilukan. Itulah gambaran perasaan yang pasti akan dirasakan oleh setiap insan yang masih berhati manusia. Seluruh manusia pasti merasakan hal yang sama. Tidak memandang ras, suku bangsa, dan agama.
Namun dewasa ini, itulah yang disajikan oleh dunia kepada mata, telinga dan hati kita. Penindasan, penderitaan, dan pahitnya perjuangan kaum minoritas adalah topik utama di berbagai media sampai kepada obrolan-obrolan ringan di warung kopi. Seakan dunia ingin mengatakan bahwa, di Uighur telah terjadi perayaan hari HAM besar-besaran.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Uighur merupakan salah satu etnis Muslim yang berada di wilayah provinsi Xinjiang China. Sekitar dua puluh jutaan rakyat China di daerah tersebut memeluk agama islam. Para penindas melakukan penangkapan terhadap mereka yang memiliki kerabat di negara yang dianggap ‘sensitif’.
Akibatnya hingga satu juta orang telah ditahan. Mereka ditahan di kamp-kamp yang kemudian oleh pemerintah China diklaim sebagai kamp pendidikan kejujuran. Namun Kelompok-kelompok HAM mengatakan orang-orang di kamp-kamp itu dipaksa belajar bahasa Mandarin dan diarahkan untuk mengecam, bahkan meninggalkan keyakinan mereka.
Hak-hak mereka sebagai manusia mulai dikebiri. Mulai dari hak untuk memperoleh rasa aman sampai kepada hak kebebasan berkeyakinan dan beragama. Parahnya, semua kebejatan itu dilakukan di momentum hari HAM sedunia oleh negara yang selalu berkoar-koar terkait Hak asasi manusia.
Kemeriahan momentum hari HAM sedunia yang dieksekusi dengan begitu apik oleh para penindas ini seakan menyindir begitu banyak kalangan, khususnya kelompok-kelompok yang fokus bergerak dalam memperjuangkan HAM. Betapa tidak, ditengah-tengah semangat perjuangan HAM yang begitu tinggi seiring dengan momentum hari HAM sedunia, pengebirian terhadap hak itu dilakukan. Inilah sinyal yang dikirimkan oleh para penindas kepada dunia bahwa hak asasi manusia hanyalah gaung semata.
China telah menjelma menjadi negara “kedondong”. Buah kedondong adalah buah yang terlihat enak dan lezat dari luar tetapi siapa sangka jika di dalamnya ada biji berduri. Begitupun dengan China, dengan segala kedigdayaannya di aspek perekonomian, dari luar orang akan melihat betapa makmur dan sejahtera negara ini. Akan tetapi siapa sangka di negara yang makmur ini ada duri derita yang menghancurkan hati siapapun yang ikut merasakannya.
Ada tiga poin yang menjadi sorotan utama pada peristiwa pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur.
Pertama ialah, penindasan. Ini adalah bukti nyata bahwa penindasan belum dan tidak akan pernah hilang di muka bumi ini. Dan seiring dengan berkembangnya zaman, bentuk dari penindasan pun tidak lagi hanya dalam bentuk penindasan fisik.
Akan tetapi lebih dari itu, penindasan pada hari ini telah dibungkus rapi dalam berbagai kedok kebusukan penguasa. Salah satu bentuk penindasan itu kini menimpa etnis Uighur. Bentuk penindasan dalam peristiwa ini ialah ketika masyarakat Uighur diserbu dengan perasaan was-was oleh banyaknya ancaman yang datang.
Masyarakat Uighur yang seyogyanya mendapatkan pengayoman dan jaminan rasa aman dari negara justru malah diancam habis-habisan dengan berbagai kebijakan yang tidak masuk akal. Sebut saja kebijakan yang mengharuskan seluruh masyarakat untuk melakukan tes DNA. Kebijakan ini jelas bersifat ultimatum.
Barang siapa diantara mereka yang punya hubungan kerabat dengan negara yang dalam pandangan subjektif otoritas China adalah “sensitif”, maka akan ditahan. Ini adalah penindasan yang terbungkus dalam kedok demi menjaga keamanan negara. Pun demikian dengan penindasan yang sifatnya mengekang dan membatasi kebebasan berpendapat dan beragama. Sangat jelas bahwa ini adalah pelanggaran HAM yang besar.
Kedua ialah, penderitaan. Hukum kausalitas menempatkan penderitaan sebagai akibat nyata dari sebuah penindasan. Olehnya itu, penderitaan pada yang dirasakan oleh masyarakat muslim Uighur saat ini adalah buah busuk dari pohon penindasan. Derita masyarakat Uighur adalah derita dunia, bukan derita umat muslim semata. Inilah jeritan kemanusiaan. Ini menunjukkan bahwa negara sebesar China pun masih krisis kepedulian terhadap hak asasi manusia.
Kemeriahan momentum hari HAM dicederai dengan banyaknya air mata yang terus mengalir menyaksikan penderita masyarakat etnis Uighur. Penindasan terhadap etnis ini seakan menjadi kado terindah peringatan hari HAM sedunia di tahun ini. Sehingga apa yang para penindas itu lakukan dianggapnya merupakan perjuangan hak asasi manusia. Dalil ancaman terorisme, ekstremisme dan separatisme menjadi jimat ampuh yang mereka gunakan sebagai pembenaran dari tindakan keji mereka. Dari sini muncul pertanyaan dalam benak, siapakah sebenarnya teroris sejati itu?
Ketiga ialah, Perjuangan kaum minoritas. Dari etnis kecil di kawasan China ini sebetulnya ada mutiara hikmah yang dapat dipelajari bangsa ini. Mutiara itu ialah Perjuangan. Etnis Uighur mengajarkan kepada kita tentang sebuah keyakinan yang kuat. Keyakinan yang tidak akan goyah oleh ancaman kematian sekalipun. Mereka tidak gentar meskipun jumlah mereka sedikit. Mereka adalah bukti nyata bahwa di dunia masih ada kelompok yang dengan teguh memegang erat keyakinannya.
Meskipun kelompok yang seperti ini semakin terkikis jumlahnya oleh semakin banyak dan beragamnya godaan yang siap merobohkan keyakinan. Ketika Masyarakat etnis Muslim Uighur dengan jumlah yang sedikit mampu untuk mempertahankan dan memperjuangkan keyakinan yang mereka pegang, maka bagaimana halnya dengan bangsa yang memiliki masyarakat muslim yang mayoritas? Jawabannya jelas . Jawabannya ada di dalam sanubari generasi penerus bangsa ini.
Dari semua rangkaian penindasan dan penderitaan yang tetap dilalui oleh masyarakat Uighur dengan penuh perjuangan, lalu apa yang telah dilakukan dunia? Berangkat dari peristiwa semacam inilah sebetulnya yang harus menghadirkan sebuah kalimat tanya, “apa kata dunia?”. Momentum peringatan hari HAM sedunia dengan kado terindahnya ini secara tidak langsung telah menampakkan watak asli dari negara China. Dan momen seperti inilah sebenarnya harus mendapatkan perhatian serius dari masyarakat dunia.
Namun hal semacam itu yang seharusnya menjadi keharusan, justru bertolak belakang dengan sikap dunia pada hari ini. Hari ini dunia seakan tiba-tiba buta terhadap penindasan, hari ini dunia seakan tiba-tiba tuli terhadap penderitaan, dan hari ini dunia seakan kehilangan hati untuk merasakan beratnya perjuangan kaum minoritas. Karena dunia pada hari ini adalah dunia yang sudah tua dan pikun.
Oleh : Muh. Khusni Tamrin (Sekretaris IMM Cabang Malang Raya Bidang Organisasi Periode 2018-2019)