Soal Rasa dalam Ber-IMM

aktivis imm

Oleh: Adi Munazir, S.H.

Dalam sebuah diskusi kecil dengan Ayahanda Sukma Jaya, beliau pernah berujar bahwa mengurusi IMM adalah mengurusi Persyarikatan. Pesan tersebut bersesuaian dengan normatifitas AD/ART organisasi yang menyebutkan bahwa IMM dibentuk dalam rangka mewujudkan cita-cita Muhammadiyah.

Teks tersebut merupakan sebuah visi besar, sekaligus harapan mulia. Selalu bergulir dan berproses  dalam pusaran never ending job (pekerjaan yang tak berakhir) yang telah dibangun Muhammadiyah semenjak satu abad silam.

Muhammadiyah dalam perjalanannya tidak pernah memaksakan penetrasi ideologi secara kasar tetapi halus (fade in). Sehingga saya, kamu atau bahkan kita tidak pernah merasa terjebak dalam lingkaran pengaruh pancaran Muhammadiyah.

baca juga:  Vonis Mati Koruptor – Pak Jokowi Saatnya Habisi Mereka!

IMM sebagai salah satu ortom Muhammadiyah cukup dikenal dekat dalam memberikan warna pada Muhammadiyah. IMM seringkali diidentikkan dengan anak nakal yang sering merusak tata aturan. Meskipun demikian Muhammadiyah tidak pernah tergesa-gesa menghakimi anak nakal yang harus di beri shock therapy agar menjadi soleh dan sesuai aturan.

Dalam salah satu seminar, Pradana Boy tokoh yang cukup dikenal di internal IMM pernah berseloroh jenaka lewat ajakannya untuk menjadi anak muda yang nakal tapi bertanggungjawab. Anak nakal tentu tidak selalu dipersepsikan kepada hal-hal negatif. Ada tendensi positif terhadap nakalnya anak muda dalam membentuk sikap berani dan bernyali tinggi dalam memugar status quo yang selama ini pakem di tubuh Muhammadiyah.

Di kesempatan yang berbeda, pentolan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) itu pernah berujar “Jadilah gila selama anda masih muda”. Tentu pesan tersebut tidaklah dibawa dalam pengertian makna tekstualitas. Ada maksud, ajakan untuk kader-kader bahwa gila bermakna bersemangat, optimistis, berselera dalam ber-IMM, progresif, produktif dan tidak kaku berhadapan dengan tantangan.

Pesan-pesan tersebut hakikatnya adalah soal rasa dalam ber-IMM. Organisasi ini tentu tidak dapat berkembang ketika para kader-kader tidak memiliki the sense of belonging (kepemilikan rasa) terhadap organisasi. Rasa itu tumbuh bersamaan dengan totalitas yang dilakukan, pengabdian tanpa imbalan serta keistiqomahan yang terus dijalankan.

baca juga: IMM Kalah di Rimba Digital

Dalam berorganisasi tentu tidak semuanya sepemahaman. Hal itu lumrah dan acapkali terjadi. Tak perlu terkejut berlebihan, apalagi terlampau masuk mendramatisir persoalan. Kita hanya perlu memahami dan membuka pengetahuan bahwa aliran sungai muaranya adalah lautan. Maka tidak perlu membendung  hulu yang berseberangan, toh hilirnya (tujuannya) adalah sama saja. Begitulah kira-kira analogi sederhana dalam keberagaman berIMM.

Ber-IMM  tujuan akhirnya adalah ber-Muhammadiyah. Yang diajarkan di IMM adalah ideologi Muhammadiyah. Jika seseorang meneguk air perjuangan IMM, maka sejatinya dia sedang meminum spirit perjuangan Muhammadiyah. Tidak jadi soal aliran sungai mana yang dipilih dalam menuju muara Muhammadiyah itu.

Patut diingat juga bahwa Hubungan Muhammadiyah, IMM dan ortom lainnya adalah bak kepingan koin yang memiliki dua sisi. Dalam konteks yang lain dapat dipahami bahwa ortom merupakan bagian terkecil dari sesuatu yang besar. Sehingga ber-IMM adalah bermuhammadiyah. Maka akan muncul IMM rasa Muhammadiyah, adapun sebaliknya masih perlu dibicarakan.

Persoalan rasa dalam ber-IMM jauh melampui makna cinta dalam ber-IMM. Cinta kadang dibutakan oleh berlebihnya rasa suka, sehingga mencintai kadang membawa seseorang kehilangan objektifitas, nalar yang sehat serta alasan yang sulit dicerna oleh akal sehat. Mencintai kadang memiliki limitasi, sehingga menjadi akhir yang kurang menggembirakan.

Adapun rasa dalam ber-IMM termanifestasikan dalam totalitas tanpa batas. Totalitas adalah sebuah pengabdian tulus yang dilakukan secara all out (kaffah). Dalam menumbuhkan rasa ber-IMM, tri kompetensi dasar harus diperteguh kembali. Dengan memelihara serta memahami tiga kompetensi itu secara tajam. Dijelmakan dalam pola fikir dan tingkah laku para kader-kader.

Mencintai IMM tidaklah cukup dengan hanya menyebut  “saya dulu pernah ikut DAD,” saja, diperlukan rasukan rasa yang mendalam di tubuh kader. Sehingga tidak  terjebak pada pola pragmatis cinta, dimana habis manis sepah dibuang (temporal). Yang harus diingat bahwa rasa itu tidak lekang oleh waktu, tidak lapuk oleh masa. Ia abadi bersama kontribusi dan pengabdian yang nyata.

baca juga : Supriadin, Hafiz 30 Juz Nakhoda Baru PC IMM Bima

Cinta itu kadang membosankan. Sirna setelah semuanya didapatkan. Kadang cinta terdiri dari ungkapan alay beranak lebay yang mengarah kepada syatahat (ucapan tak dimengerti) oleh manusia normal. Cinta itu kadang mengarahkan kita pada pemahaman postulat sehingga menjadi dogma yang tidak layak dicari alasannya.

Justru, di sanalah letak kesalahan ketika kader hanya sekedar mencintai tanpa internalisasi dan kristalisasi rasa dalam aspek perjuangan. Kehadiran rasa ber-IMM mutlak diperlukan, sehingga cinta kader terhadap IMM tidak lagi dalam domain teoritis semata namun bertumbuh dalam praksis karakter gerakan kader.

Rasa itu akan memanggil dan menjaga kader. Agar tak hanya sekedar masuk di IMM lalu keluar dengan alasan ketidaksesuain, ketidakcocokan dan sederet alasan lain yang sejatinya tak memiliki rasa dalam ber-IMM. Mari kita rawat IMM dengan penuh kesadaran. Karena kita adalah kader Persyarikatan, kader umat juga sebagai kader bangsa. Jangan kendor apalagi memilih mundur dalam mengurusi IMM. Selalu hadirkan rasa dalam tarikan nafas pengabdian! Abadilah IMMku!

*Ketum PC IMM Malang Raya 2017-2018

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan fikiran-fikiran anda via website kami!

Related posts

2 Thoughts to “Soal Rasa dalam Ber-IMM”

Leave a Comment