“Jika ada manusia yang merendahkan seorang perempuan katakan padanya bahwa seorang bayi tidak dilahirkan dari rahim seorang laki-laki”
(Adi Munazir, S.H.)
Masih di pagi yang buta, sayup-sayup dia mulai melantukan bacaan surat annisa ayat 11. Air matanya berlinang membasahi mushaf pemberian salah satu senior pada saat dia mengikuti kegiatan masa taaruf mahasiswa (mastama). Hidupnya mulai berubah semenjak mengikuti Darul Arqom Dasar (DAD) yang diselenggarakan salah satu komisariat.
Pesan-pesan pertobatan menghujam tepat di dasar dadanya dan merupakan titik balik dia menemukan jalan perbaikan. Materi Keislaman menjadi materi yang paling diingat dan telah mengatrolnya naik dari kubangan gelap pesona dunia sekaligus peta awal dia mengawali berhubungan intim dengan pemahaman islam yang sesungguhnya.
Hidupnya tidak lagi tentang menebalkan ginju merah di dua buah bibirnya. Tidak juga tentang pamer kegiatan di laman-laman media sosialnya. Kebiasaan lama benar-benar ditinggalkan, kini dia membayarnya dengan ucapan yang bernilai pahala, tindakan yang produktif dan perilaku sopan yang selalu ditunjukkan. Parasnya yang aduhai membuat lelaki berucap istigfar berkali-kali dan terus mencari tahu siapakah gerangan ini, wahai Tuhan pemilik hati?.
Jika hadis menggariskan memilih wanita karena 4 hal; kecantikan, keturunan, harta dan agama. Maka kehadirannya sebagai seorang mahasiswi yang aktif berorganisasi telah menambah syarat “aktivis” bagi laki-laki yang akan mempersuntingnya.
Ada guyonan sederhana yang muncul ketika para aktivis memperbincangkan perihal mengapa seorang the future wife haruslah seorang aktivis, jawaban yang keluar dari Ozan pada saat itu adalah agar si dia bisa diajak melek sampe pagi (begadangan). Jawaban tersebut juga ada benarnya, mahasiswi yang berlatarbelakang aktivis memiliki kepekaan yang berbeda dalam melihat persoalan hidup dan terbuka dalam menjaga ritme interaksi sosial.
Sosok perempuan yang dididik dalam organisasi biasanya merasakan betul bagaimana dominasi laki-laki menjadi hal yang biasa dan tejadi kesenjangan kuantitas yang tidak mudah dijelaskan dengan sesederhana mungkin. Ada banyak faktor yang menyebabkan perasaan itu muncul kepermukaan.
Doktrin kultural menjadikan perempuan berfikiran bahwa mereka bukan yang utama dalam tatanan sosial masyarakat. Di mana-mana suara perempuan tetaplah suara lapis kedua (backing vocal) sehingga aspirasi jarang tersampaikan. Pun tidak bisa disalahkan bahwa sifat seorang perempuan yang inferior telah membawanya pada manusia kedua (the second man) dalam dialektika kehidupan.
Dalam konteks yang lain perempuan memiliki sifat dan ikatan rasa malu yang cukup tinggi kitab Fathul Izzar menyebutkan bahwa syahwat itu ada sepuluh bagian sembilan bagian adalah bagi wanita dan satu bagian lagi bagi laki-laki, hanya saja Alloh menutup wanita dengan perasaan malu yang cukup kuat.

Jika kita melihat kondisi perempuan di negara-negara yang maju, rasa malu sudah diterjemahkan ke arah yang lebih progresif, meskipun aspek negatif dan positif masih dapat diperdebatkan. Tidak demikian dengan perempuan yang berada pada wilayah dengan doktrin patrilineal yang ketat.
Pemaknaan rasa malu yang salah telah menyebabkan perempuan tidak memiliki sensivitas dan sikap utama dalam mengikis dan menghadapi sebuah persolan. Kondisi tersebut tentulah mengecewakan sehingga memunculkan perasaan daripada malu-maluin lebih baik mundur dari garis perjuangan.
Memang benar bahwa tidaklah sama antara perempuan dan laki-laki begitulah Allah memberikan patokannya dalam Ali Imran (36). Tentu ayat tersebut tidak mungkin ditafsirkan dalam segala lini kehidupan sehingga menjadi dasar untuk tidak menjadi perempuan yang maju dalam fikiran dan juga pergerakan.
baca opini lainnya : Esensi Gelar Immawan dan Immawati
Secara fisik alat kelamin masing-masing memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda-beda, postur tubuh dan kekuatan secara fisik juga merupakan bagian dari perbedaan itu. Tapi ada satu hal penguat dari semua perbedaan bahwa perempuan memiliki ketangguhan dalam mengarungi kehidupan.
Ketangguhan telah menjadikan perempuan memiliki modal cukup besar untuk menunjukkan bagaimana mengelola ketertinggalan. Perempuan yang tangguh tentu tidak sekedar menjalankan siklus klasik yang selama ini tepusat pada kegiatan menghias diri, menanak nasi dan berhenti ketika sudah mengurus buah hati.
Ketangguhan itu harus diterjemahkan dengan tindakan yang tidak bersinggungan dengan kodrat ilahiyah. Perempuan tangguh harus memiliki sifat kompetitif sejalan dengan semangat fastabiqulkhoirot yang harus dijadikan pemantik sebuah semangat.
Perempuan harus mulai masuk dalam wilayah dominasi laki-laki. Tentu persoalan ketangguhan adalah bagian dari hal utama dalam menangkal derasnya sebuah persaingan. Dalam sejarah perjuangan perempuan modern Hillary Clinton rasanya cocok menjadi contoh terhadap profil perempuan tangguh itu.
Pada tahun 2016 Hillary dikalahkan pada electoral vote dalam ganasnya pertarungan perebutan presiden di negara di mana kran demokrasi dibuka lebar-lebar. Amerika adalah simbol dari bagaimana kesetaraan gender itu dicontohkan sehingga terbuka lebar bagi perempuan Amerika untuk masuk bersaing dalam setiap lini kehidupan.
Sistem pemilihan yang mengabaikan popular vote telah menyebabkan Hillary harus memberi ucapaan selamat kepada Trump. Tidak hanya itu, Pada 2008 silam Hillary juga dikalahkan oleh Barack Obama dalam konvensi Partai Demokrat.
Tidak mudah bagi Hillary untuk mewujudkan teriakan perempuan modern seputar kesetaraaan gender dalam realitas nyata. Dalam urusan hati, Hillary juga pernah disakiti oleh Bill Clinton yang merupakan suami sekaligus presiden Amerika. Kisah cinta Bill dengan salah satu anak magang Gedung Putih sempat menjadi buah bibir yang menggemparkan warga Amerika dan Dunia. Hillary sebagai ibu negara merasa ditampar secara berjamaah oleh rakyat Amerika bagaimana mungkin seorang Presiden bermain serong sebanyak 3 kali dengan anak magang?
Tangguhnya Hillary dalam menjalani kehidupan juga membuahkan hasil. Hillary tetaplah dikenang sebagai ibu negara, seorang menteri luar negeri Amerika sekaligus politisi perempuan yang tangguh. Pengalaman Hillary tentu merupakan puncak dari bagaimana sesungguhnya tajamnya dinamika yang terjadi dalam aktivitas kehidupan perempuan.
Dengan demikian perempuan tetaplah tangguh di balik perbedaan yang menjadi kodrat ilahiyah. Perempuan adalah sumber peradaban yang utama karena menghasilkan keturunan yang akan menulis ceritanya masing-masing. Sulit membayangkan jika tanda-tanda dari kiamat itu adalah matinya perempuan dan mendominasinya laki-laki? Nampaknya itu terlalu utopis, peradaban akan tetap berlanjut karena masih ada wanita tangguh yang bernama IMMawati itu.
Oleh: Adi Munazir, S.H., Ketua Umum PC IMM Malang Raya 2017-2018