Modernis.co, Medan – Lagi dan lagi, perempuan mengalami berbagai kondisi yang memprihatinkan, berbagai kasus intimidasi, diskriminasi dan pelecehan seksual kerap di alami oleh mereka.
Lihat saja kasus yang dialami oleh Elitha, buruh pabrik es krim PT. Alpen Food Industry (AFI) atau Aice, Elitha harus rela kehilangan janinnya lantaran pekerjaan berat yang harus dia lakukan. Upayanya untuk dipindahkan ke divisi yang lebih ringan karena riwayat penyakit endometriosisnya, malah direspons dengan ancaman PHK, (theconversation.com, 13/03/2020).
Elitha tidaklah sendiri, masih banyak di luar sana Elitha-Elitha lain yang mengalami peristiwa seperti ini, bahkan kondisinya jauh lebih parah. Mereka ada yang sampai meninggalkan keluarga hanya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih, hingga harus jauh merantau ke negeri tetangga yang terkadang keamanan mereka dipertaruhkan. Mereka kerap mendapat perlakuan-perlakuan yang tidak baik dari majikannya, bahkan sampai-sampai terjadi pelecehan terhadap diri mereka.
Negara dengan perangkat aturannya telah banyak membahas tentang masalah perempuan. Menurut pegiat gender, stigmatisasi dan diskriminasi pada buruh perempuan lahir dari budaya patriarki, yaitu budaya yang meninggikan derajat laki-laki di atas perempuan. Maka dari itu, mereka menyerukan kesetaraan gender. Tak boleh ada yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Namun, apakah wacana ini benar? Di mana letak akar masalahnya? Dan apakah solusi yang solutif untuk masalah perempuan ini?
Demokrasi dengan ide turunannya, yaitu kesetaraan gender dan fenimisme ini salah kaprah dan berbahaya. Kesalahannya terletak dalam sikap ingin menyamakan antara laki-laki dan perempuan, padahal secara fisik dan fitrahnya perempuan itu jelas berbeda dari laki-laki, namun perbedaan ini tidaklah membuat mereka bersaingi, tetapi seharusnya bersinergi dalam kehidupan yang lebih baik.
Pandangan gender ini juga sangat berbahaya karena mengakibatkan kenestapaan yang luar biasa bagi perempuan itu sendiri. Peran ganda perempuan sebagai ibu dan pencari nafkah, telah menjadi beban yang teramat berat untuk dilakoninya. Sehingga, tugas utamanya sebagai pendidik generasi terbengkalai. Inilah derita tak bertepi perempuan hari ini. Ditambah lagi dengan disahkan nya UU Omnibus Law, semakin menambah daftar kesenggaraan para buruh termasuk perempuan, karena UU sapu jagat tersebut semakin mengambil hak-hak buruh dan perempuan, seperti kesetaraan upah, cuti haid dan cuti melahirkan yang tak disebutkan secara eksplisit dalam UU tersebut.
Islam bukanlah agama yang hanya mengatur dari aspek ibadah saja, tetapi lebih dari itu
Islam hadir ketengah-tengah umat tidak lain untuk menyelesaikan permasalahan manusia secara keseluruhan.
Islam dengan sistem khilafahnya telah membuat aturannya, jauh-jauh hari menyelesaikan masalah perempuan ini. Islam memberikan kewajiban nafkah itu kepada laki-laki sehingga perempuan akan lebih nyaman menjalankan tugasnya menjadi “ummun wa robatul bait”, yaitu ibu dan pengatur rumah tangganya tanpa dihantui ketakutan anak-anaknya tidak makan.
Negara harus menjalankan fungsinya agar benar-benar tercipta lapangan perkerjaan. Maka dari sini islam juga memberlakukan sistem ekonomi islam dalam pengaturan kas negara. Islam mengharamkan privatisasi sumber daya alam oleh segilintir orang, sebagaimana di hadist Rasulullah:
“Al-muslimûna syurakâun fî tsalâtsin: fî al-kalâ
i wa al-mâ`i wa an-nâri.”
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dari hadist di atas jelas Sumber Daya Alam ini tak boleh diserahkan kepada individu apalagi asing. Negara haruslah mengelolanya sendiri dan hasilnya akan diserahkan kembali pada masyarakat untuk kepentingan mereka. Walhasil, pemasukkan negara akan melimpah dan bisa mensejahterakan rakyatnya.
Islam juga mengatur masalah buruh ini. Negara akan memastikan tidak ada akad yang merugikan antara majikan dan perkerjanya, contohnya dengan ketimpangan kerja yang tak sesuai, upah buruh yang rendah, dan dijaganya perempuan dari hal-hal yang mengekspos sisi feminismenya. Ini tidak lain agar mencegah terjadinya pelecehan kepada mereka. Seperti inilah seharusnya fungsi negara, menjadi pelindung bagi rakyatnya, sebagaimana dalam hadist Rasulullah ﷺ telah bersabda, dari Abu Hurairah radhiyaLlâhu ’anhu, bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaannya).” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Di sinilah pentingnya umat ini untuk serius dan sungguh-sungguh memperjuangkan kembalinya Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah,agar tercipta Rahmatan lil ‘alamiin.
Wallahu alambissowab
Oleh: Hamidah (Pemerhati Umat)