Bertahan atau Menyerah di Persimpangan Jalan IMM

aktivis imm

Modernis.co, Malang – Titik ini akan menjadi awal dari perjalanan. Getaran hati dari seorang kader ikatan yang mulai jenuh akan beratnya “berproses” untuk mengusahakan terbentuknya akademisi islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan muhammadiyah. Jiwa ini mulai goyah tidak tau kenapa.

Berpikir keras untuk menemukan jawaban namun layaknya angin di pesisir pantai, semua hanya bisa kurasakan tapi tak mampu ku genggam. Bisikan-bisikan entah darimana asalnya mulai menghantui diriku yang lemah ini. “Mengapa aku masih bertahan?” adalah kata-kata yang mulai berdialektika dengan logikaku. Aku sadar betapa tidak bergunanya jasad ini untuk menghidupkan ikatan yang kucintai.

Jenuh, lelah, dan ingin berhenti adalah kalimat dalam pikiranku yang selalu ku semogakan untuk terjadi. Namun hati ini, selalu bergetar takut akan kehilangan rumah yang sudah menjadi penopang lemahnya jiwa ini. Ada apa dengan diriku. Kenapa aku selemah ini. Apakah aku diajarkan oleh kaka pendampingku untuk berhenti? Apakah komisariatku telah mati? Atau sebenarnya hanya akulah yang mencari-cari alasan untuk berhenti dan lari.

Kepada para pimpinan dan kaka instruktur komisariat. Tolong kuatkan aku lagi, Dorong aku untuk terus berproses di tempat ini. Rangkul aku jika diri ini menjauh dari tanggung jawab sebagai kader ikatan. Ingatkan aku akan ikrar yang telah kulantunkan dengan penuh khikmad pada waktu subuh itu. Teriakan puisi yang dulu membakar jiwa yang lemah untuk mau berproses di ikatan mulai menjadi debu-debu yang hilang tertiup angin.

Kepada semua kader ikatan yang ingin berhenti dan memilih menyerah di persimpangan kiri jalan. Izinkan aku untuk mengingatkan akan sebuah tanggung jawab yang diamanahkan pada kita sebagai mahasiswa dan sebagai kader ikatan. Tidakkah kita ingat betapa sulitnya untuk masuk perguruan tinggi.

Air keringat yang diteteskan oleh bapak dan ibu kita harusnya menjadi pupuk di hati untuk menumbuhkan semangat belajar dan menimba ilmu di luasnya samudra pengetahuan perguruan tinggi. Ada sebuah hutang yang sebenarnya tidak akan pernah kita mampu untuk membayarnya, yaitu belas kasih orang tua.

Jika bapak dan ibumu tak pernah lelah untuk bekerja demi memberi makan dan minum untukmu. Lalu mengapa kamu menyerah untuk belajar dan berproses diperkuliahan sedang orang tuamu hanya meminta kamu untuk itu.

Almarhum B.J Habibi pernah berkata “Tidak ada gunanya anda ber-IQ tinggi tapi pemalas. Tidak memiliki disiplin. Forget it”. Dari sini bisa kita ambil sebuah hikmah yang diberikan Presiden Republik Indonesia ketiga pada para pemuda khususnya mahasiswa. Saat berada di bangku perkuliahan, tidak cukup jika kita hanya sekedar mencari nilai di atas kertas saja. Tidak cukup jika kita hanya mencari ilmu saat di dalam kelas saja.

Namun kita juga perlu untuk bergerak keluar dari zona nyaman kita. Mendobrak batas-batas dalam pikiran kita untuk memberikan sebuah usaha lebih untuk mendapat kesuksesan. Usaha yang dimaksud disini adalah disiplin. Belajar butuh disiplin, Berproses butuh disiplin, Sukses butuh disiplin, Saat disiplin sudah menghilang dari diri kita. Maka semua hanyalah menjadi imajinasi yang terperangkap dalam dunia ide manusia.

Almarhum Panglima besar Jenderal Sudirman pernah berkata “Sungguh berat menjadi kader muhammadiyah, bila ragu dan bimbang lebih baik pulang”. Bila kita coba resapi makna dari kalimat ini, maka jenderal sudirman mencoba memecut semangat kita untuk tetap berjuang dan proses tiada akhir. Dalam berorganisasi memang berat. Dinamika yang terjadi terus menampar diri ini hari demi hari.

Namun yang menjadi pertanyaannya apakah kita akan berhenti kemudian lari. Saya pikir tidak. Karena berhenti dan lari bukanlah aturan main dalam dunia ini. Masalah akan terus hadir jika kita tidak menghadapinya dengan lapang dada dan berani. Berani malawan arus akan kejumudan berpikir merupakan sebuah bentuk pemberontakan akan kebodohan dan kemalasan.

Religiusitas, intelektualitas, dan humanitas yang merupakan pengejawantahan dari 6 penegasan IMM mulai menjadi tujuanku untuk ber-IMM. Menyadari bahwa diriku masih kurang dalam tiga aspek itu menjadikan diriku ini mulai membara untuk belajar, belajar, dan belajar. Tiada kata lelah dalam belajar. Bukankah kita berkuliah untuk belajar. Bukankah kita kuliah untuk mencari jati diri. Lalu mengapa kita hanya berdiam diri dan memilih pergi.

Imam Syafi’i pernah berkata “Bila kau tak tahan lelahnya belajar, maka kau harus menahan perihnya kebodohan”. Dari sini jelas bahwa Imam Syafi’i pun mengakui bahwa belajar itu memang lelah. Membuat diri jenuh dan selalu dihampiri oleh malas dan masalah silih berganti. Namun kita sebagai kader ikatan tidak bisa hanya mengikuti arus dan menjadi masyarakat post-modern yang hanya menjadi masyarakat konsumtif. Seorang kader harus maampu untuk mendobrak segala permasalahan yang ada dan mampu memberikan solusi pada masyarakat.

Yang terakhir. Untuk semua kader ikatan yang masih mau bertahan dan menghidupi komisariatnya. Teruslah berproses, karena hasil dari proses belum bisa kita rasakan saat ini tetapi suatu saat nanti saat kita sudah lulus ataupun terjun ke masyarakat. Kepada kader ikatan yang terlintas dipikiran untuk keluar dari IMM. Buang pikiran itu jauh-jauh.

Kadang kejenuhan dalam berproses bukan karena adanya suatu masalah. Tetapi sering karena kita merasa sendiri dan tak ada yang menemani di jalan dakwah yang sunyi ini. Carilah kawan kolektif yang mampu mendorong saat sedang lelah, mampu memotivasi saat sedang dibawah, dan menghargai saat kamu sedang berbicara dan bertindak.

“Kenapa saya bertahan di IMM, karena rumah dan keluarga saya ada di sini”

Oleh : Muhammad Iqbal Syahsaputra (Aktivis IMM Restorasi UMM)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment