Pengaruh Lumpur Lapindo Terhadap Kualitas Air dan Sumber Daya Tanah di Wilayah Sidoarjo

bahasa inggris penunjang karir

Modernis.co, Jakarta – Bencana Lumpur Lapindo merupakan peristiwa Lumpur Panas yang ditandai dengan keluarnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas yang terletak di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pada tanggal 29 Mei 2006. Tujuan yang diambil dari penulisan adalah berfokus pada upaya yang dilakukan masyarakat dalam penanganan kasus lumpur Lapindo yang berdampak pada korban bencana lumpur Lapindo.

Bencana tersebut mengakibatkan dampak yang begitu besar terhadap pengaruh masyarakat mulai dari sistem sosial, sampai ekonomi dan lain sebagainya. Penulisan mengandung beberapa pengutipan dan terdapat sumber yang resmi. Hasil penulisan menunjukan bahwa penindakan korban lumpur lapindo hingga saat ini masih kurang baik dari segi sosial, ekonomi serta dari segi yang lainnya dikarenakan tidak mendapatkan tanggung jawab dari pemerintah yang mendukung kebutuhan dari segi pengganti mata pencarian serta bantuan-bantuan yang lain terhadap korban lumpur lapindo.

Permasalahan ganti rugi yang diberikan tidak sama dengan perjanjian di awal dan kerap terjalin keterlambatan pada pendanaan termasuk kebersihan air  dan degradasi lahan akibat pencemaran Lumpur Lapindo. Harapannya dari penulisan ini adalah menyadarkan masyarakat dan pemerintah  untuk lebih peduli dan lebih bertanggung jawab atas bencana lumpur Lapindo  terhadap Kesehatan dan keselamatan masyarakat yang berpengaruh besar terhadap dampak bencana alam tersebut.

Terjadinya bencana ialah fenomena yang dapat terjadi secara tiba-tiba, tidak adanya peringatan, dan dapat terjadi di wilayah manapun dan memengaruhi individu  yang menyebabkan masyarakat terdampak. (Kompas, 2014: 138). Indonesia telah mengalami berbagai bencana yang mengakibatkan kehancuran rumah, hilangnya mata pencaharian, dan penurunan kualitas hidup individu yang terkena dampak.

Sampai saat ini, kemanjuran penanganan yang diberikan kepada individu yang terkena masih terbatas. Selain itu, masih ada bencana yang belum terselesaikan dan luas, seperti peristiwa semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Semburan Lumpur Sidoarjo yang berlangsung selama 12 tahun memberikan dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan akibat pancaran lumpur antara lain degradasi lahan, perubahan struktur geologi bawah tanah, pencemaran udara akibat pelepasan gas, dan perubahan kualitas sumber air. Tanah yang bersumber dari sumur galian dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari masyarakat.

Menggambarkan Terjadinya Lumpur Lapindo di Sidoarjo

Peristiwa Lumpur Panas Sidoarjo ditandai dengan keluarnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas yang terletak di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, mulai tanggal 29 Mei 2006. Terjadinya pancaran lumpur bersuhu tinggi mengakibatkan dalam bsosial, di antaranya ialah masalah pendidikan. Secara spesifik, lumpur Lapindo merendam sebanyak 33 sekolah. Selain itu, pancaran lumpur Lapindo telah ditemukan sebagai faktor penyebab berbagai masalah kesehatan.

Peristiwa semburan lumpur Lapindo menimbulkan pencemaran atmosfer di sekitar wilayah yang terkena dampak, karena mengandung unsur logam  berat  seperti  Mn,  Zn,  Cu,  Cr,  Cd,  Pb, yang berdampak pada ternak yang menghuni kawasan semburan lumpur Lapindo dan dapat mencemari lingkungan sekitar. (Hildatul Zannah. 2021: 45). Selain itu, akibat utama ialah terhambatnya kondisi perekonomian yang dialami oleh masyarakat Sidoarjo.

Hambatan tersebut terdapat pada jalan raya yang menghubungkan Gempol dan Surabaya, karena penduduk Sidoarjo bekerja di kota terakhir. Rencana pengeboran yang dilaksanakan oleh PT. Liputan media Lapindo Brantas telah menarik perhatian yang signifikan, tidak hanya di platform televisi tradisional tetapi juga di berbagai outlet berita online. Alasannya, Lapindo tetap memiliki kewajiban untuk memberikan ganti rugi atas peristiwa pancaran lumpur yang terjadi pada tahun 2006.

Masalah kompensasi yang berlarut-larut muncul karena PT tersebut tidak mempunyai biaya yang memadai guna memberikan kompensasi kepada para korban, sehingga memengaruhi kemampuan PT untuk mengatasi masalah tersebut secara efektif. Lapindo diharuskan mendapatkan pinjaman yang cukup besar dari pemerintah.

Semburan lumpur Lapindo berdampak buruk, antara lain kerusakan 1.783 unit rumah dan kerusakan lingkungan di area yang terendam, serta kerusakan infrastruktur dan utilitas seperti jaringan telepon dan listrik. Terkendalanya ruas tol Malang-Surabaya berefek terhadap operasional produksi di wilayah Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini dikenal sebagai daerah industri utama di Jawa Timur.

Dampak Ekologis yang Diakibatkan oleh Lumpur Lapindo

Dampak semburan lumpur Lapindo terhadap kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat yang terkena dampak sangat signifikan. Keterlambatan yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan tersebut telah menyebabkan ketidaknyamanan di antara anggota masyarakat dalam rutinitas sehari-hari mereka. Terjadinya bencana lumpur Lapindo menimbulkan persepsi ketidakadilan di antara penduduk yang terkena dampak, yang merupakan penduduk di sekitar tempat terjadinya bencana lumpur panas. 

Perwujudan ketidakadilan ini tidak hanya menyangkut masalah reparasi atau ganti rugi, tetapi juga mencakup dimensi sosial, ekonomi, kesehatan, psikologis, dan lainnya. (Akbar, 2007: 567). Individu yang terkena dampak lumpur terlibat dalam konflik dengan PT dari perspektif psikologis. Perusahaan Lapindo Brantas, pemerintah, masyarakat setempat, dan bahkan individu yang tidak terdampak langsung dari semburan lumpur Lapindo terlibat dalam situasi ini.

Semburan lumpur Lapindo telah menimbulkan situasi konflik yang kompleks, dimana tantangan pemenuhan kebutuhan dasar telah menimbulkan banyak korban jiwa. Para korban bencana, yang tidak siap secara psikologis untuk menangani situasi tersebut, telah mengalami tekanan psikologis yang signifikan, yang berdampak buruk pada kesehatan mereka dan dalam beberapa kasus, bahkan mengakibatkan kematian (Arifin et al., 2006: 567).

Mengingat dampak dari kasus semburan lumpur Lapindo, kajian komprehensif terhadap setidaknya dua aspek penting diperlukan untuk memfasilitasi penyelesaiannya. Pada awalnya, pemerintah perlu menunjukkan ketabahan untuk menilai kembali keyakinannya bahwa semburan lumpur Lapindo ialah akibat dari bencana alam. Persepsi tersebut  telah menghasilkan perumusan berbagai peraturan yang secara efektif membebaskan mereka yang seharusnya bertanggung jawab dalam skenario ini.

Putusan merugikan yang membebankan tanggung jawab atas peristiwa semburan lumpur Lapindo membawa implikasi yang signifikan bagi tata kelola sektor pertambangan di Indonesia. Otoritas pemerintah telah menerapkan berbagai inisiatif yang bertujuan memulihkan dan membangun kembali infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan mereka yang terkena dampak semburan lumpur Lapindo. Bencana semburan lumpur Lapindo memberikan pengaruh yang signifikan terhadap transformasi tatanan sosial, antara lain meliputi sistem sosial, struktur sosial, dan ekonomi.

Dampak Lumpur Lapindo Terhadap Kualitas Air

Semburan lumpur Lapindo merupakan peristiwa bencana yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo. Penyediaan air bersih bagi desa-desa yang berada di sekitar semburan lumpur Lapindo merupakan tugas yang menantang. Tujuan nya adalah mengkaji kemampuan masyarakat dalam beradaptasi terhadap tuntutan akses air bersih, serta menganalisis keputusan yang diambil oleh pemerintah.

Terkait dengan penyediaan air bersih di daerah yang terkena dampak, Riset memanfaatkan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan memanfaatkan wawancara dan pelibatan masyarakat di wilayah yang terkena lumpur Lapindo.  Secara khusus, riset berupaya untuk menyelidiki tindakan yang diambil oleh penduduk desa yang terkena dampak dan keputusan pemerintah dalam menanggapi semburan lumpur Lapindo.

Temuan investigasi menunjukkan bahwa individu yang tinggal di daerah yang terkena dampak semburan lumpur Lapindo telah melakukan tindakan proaktif dan reaktif untuk beradaptasi dengan situasi tersebut. Namun, pemerintah belum berhasil mengoptimalkan bantuan kepada mereka yang terkena dampak bencana.

Ada upaya berkelanjutan untuk mendapatkan air minum, mengeksplorasi reservoir air yang tidak tercemar, dan mencari bantuan pemerintah untuk mendapatkan air bersih. Namun demikian, penerapan teknologi tepat guna untuk pengelolaan air belum dilaksanakan di masyarakat yang terkena dampak.( Putri, A. A., 2021: 226-227).

Dampak Lumpur Lapindo Terhadap Sumber Daya Tanah

Kerugian terjadi di berbagai sektor antara lain pertanian dan perikanan darat. Dirjen Tanaman Pangan telah mengidentifikasi luas kerusakan lahan pertanian berupa persawahan, Sebagaimana dilaporkan dalam Volume 11, No. 303 Journal of Borneo Administrator. 3/2015. Menurut Kemal Hidayah, akademisi dari Departemen Pertanian Soetarto Alimoeso, wilayah Sidoarjo, Jawa Timur, terkena dampak semburan lumpur Lapindo yang berdampak pada lahan pertanian seluas 417 hektar.

Situasi tersebut menyoroti pentingnya kebijakan penanggulangan bencana di era otonomi daerah. Sebanyak 12 desa di tiga kecamatan terendam lumpur yang mengakibatkan tidak kurang dari 10.426 rumah terendam serta fasilitas umum. Kira-kira 30 pabrik yang terendam harus menutup operasi produksinya dan memberhentikan banyak orang. Menurut catatan yang tersedia, insiden Semburan lumpur berdampak pada total 1.873 pekerja, yang mengakibatkan lebih dari 8.200 orang harus direlokasi. Namun perlu dicatat bahwa jumlah pengungsi tidak sebanyak yang dilaporkan sebelumnya, khususnya tidak mencapai 25.000 orang. (Kemal Hidayah. 2015: 303-304).

Menyajikan Hasil Kualitas Air dan Sumber Daya Tanah

Tujuan yang dilaksanakan di wilayah Sidoarjo ialah menyelidiki pola aliran air tanah dan mengkaji kualitas air tanah dangkal di berbagai desa yang terkena efek semburan lumpur Lapindo. Riset dilakukan dengan mengambil sampel dari sumur-sumur yang dimanfaatkan warga di kawasan tersebut, dengan tujuan untuk memetakan pola aliran dan kualitas air tanah yang terletak di dalam Distrik Porong. Studi dilaksanakan melalui survei terhadap 3-5 sumur yang terletak di setiap desa dikawasan tersebut.

Survei bertujuan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan koordinat sumur, elevasi permukaan tanah, tinggi sumur, kedalaman air dalam sumur, dan ketinggian posisi air tanah yang dihitung sebagai jumlah dari elevasi permukaan tanah dan tinggi sumur. Tingkat air di sumur dapat ditentukan dengan mengurangi kedalaman air dari total kedalaman sumur. Ketinggian muka air tanah dimanfaatkan untuk membuat peta garis muka air tanah.

Selanjutnya dimanfaatkan peta garis muka air tanah untuk menghasilkan peta pola aliran air tanah melalui pemanfaatan paket program komputer Surfer 13. Proses pengumpulan sampel air sumur dilaksanakan sesuai dengan sebaran arah pola tersebut, dari aliran air tanah. Setelah pengambilan sampel air tanah, dilaksanakan analisis laboratorium untuk memastikan kualitas air tanah melalui penerapan metodologi Indeks Kualitas Air (WQI). Temuan riset menunjukkan bahwa pola aliran air tanah di Kecamatan Porong di wilayah Sidoarjo ini dipengaruhi oleh pencemaran.

Dengan jalur aliran air tanah dangkal bergerak dari Selatan ke Utara, Barat ke Utara, Barat ke Timur Laut, Barat Laut ke Selatan, Barat Daya ke Selatan, dan Tenggara ke Barat Laut. Secara garis besar, arah pergerakan air tanah di Kecamatan Porong berorientasi pada arah yang menyimpang dari wilayah tengah Semburan Lumpur Sidoarjo. Perhitungan WQI menunjukkan bahwa tiga desa, yaitu Desa Lajuk, Wunut, dan Kebakalan, menunjukkan kualitas ‘Sangat Baik’. Selain itu, Desa Glagaharum dan Desa Plumbon menunjukkan kualitas yang ‘Baik’. Desa Plumbon menunjukkan kualitas yang ‘Baik’.

Desa Pesawahan terletak di wilayah yang menunjukkan tingkat kecukupan, dimana kecukupan menunjukkan bahwa kualitas air dianggap kurang lancar tetapi masih layak untuk keperluan air minum meskipun tidak dianjurkan. Desa Kebonagung terletak di area yang memiliki potensi yang menjanjikan, meskipun dengan kualitas air yang kurang optimal untuk konsumsi. Sementara itu, perlu dicatat bahwa delapan desa tambahan menunjukkan potensi kualitas air yang dianggap ‘Tidak Layak Minum’. Desa-desa tersebut ialah Kedungboto, Kesambi, Candi Pari, Juwet Kenongo, Gedang, Kedungsolo, Pamotan, dan Porong. (Putri, Yessy Noviyanti. 2018: 5).

Penanggulangan untuk Mencegah Terjadinya Kerusakan

Jika semburan lumpur diperkirakan akan berlangsung lama, ada beberapa opsi untuk pembuangan lumpur. Termasuk perluasan daerah genangan atau kolam penampung yang ditujukan untuk pembuangan lumpur ke Sungai Porong, dan aliran lumpur langsung ke laut melalui pipa pembuangan (Muhsoni, 2010: 4). Pemprov Jawa Timur telah melakukan beberapa langkah untuk memperkuat Tim Nasional Pengendalian Lumpur Bidang Pengendalian Lingkungan Hidup berlandaskan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 dalam memenuhi tanggung jawab utamanya.

Salah satu 13 Tahun 2006 dalam memenuhi tanggung jawab utamanya. Salah satu tindakan tersebut melibatkan pembangunan tanggul penahan lumpur di sekitar pusat pancaran untuk menampung lumpur. Akan tetapi, sifat konstruksi tanggul yang tidak permanen mengakibatkan jebolnya tanggul yang menyebabkan area seluas 250 hektar tergenang lumpur. Presiden Republik Indonesia mengeluarkan keputusan dalam Sidang Kabinet Paripurna pada tanggal 27 September 2006, yang antara lain mengalihkan sebagian rencana pengendalian lumpur ke Sungai Porong.

Pengalihan tersebut dilakukan dengan kolam penampung yang dibangun lebih luas dan diterapkan kepada sistem pengaliran lumpur ke Sungai Porong melalui spillway. Karena kolam penampung semakin penuh dan fungsi spillway kurang efektif, maka sistem pengaliran lumpur ini akan menggunakan sistem mekanisasi.

Tindakan tersebut diambil sebagai langkah pencegahan untuk memitigasi risiko potensi jebolnya tanggul yang dapat mengancam keselamatan penduduk setempat dan menyebabkan kerusakan infrastruktur di sekitarnya. Menurut (Herawati. 2007: 4), pembuangan lumpur panas ke Sungai Porong dan badan air di sekitarnya diperbolehkan karena ketidakpraktisan membangun tanggul tepat waktu untuk menampung lumpur tersebut. Selain itu, (Herawati. 2007: 4),  mencatat bahwa lumpur harus diarahkan ke laut. (Gunradi. 2007: 4) juga melakukan riset tersebut.

Pendekatan penanganan korban lumpur Lapindo saat ini dinilai kurang memadai dari berbagai sudut pandang, termasuk pertimbangan sosial dan ekonomi. Respons pemerintah kurang dalam hal memberikan dukungan yang diperlukan bagi para korban, seperti alternatif mata pencaharian dan bentuk bantuan lainnya. Selain itu, masalah kompensasi diwarnai oleh ketidaksesuaian antara kesepakatan awal dan pencairan yang sebenarnya, dengan seringnya penundaan pembayaran yang memperburuk situasi.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukan bahwa  wilayah yang menjadi fokus adalah wilayah Sidoarjo, di mana terjadinya semburan lumpur Lapindo. Penelitian ini penting karena hasilnya dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat, terutama dalam menangani dampak bencana dalam memulihkan kualitas hidup  individu yang terkena dampak. Dampak lumpur Lapindo terhadap ekologi dan lingkungan sangat signifikan.

Lumpur tersebut menyebabkan degradasi lahan, perubahan struktur geologi bawah tanah, pencemaran udara akibat pelepasan gas, dan perubahan kualitas sumber air. Lumpur yang keluar juga mengakibatkan kerusakan pada rumah, infrastruktur, dan utilitas seperti jaringan telepon dan listrik. Selain itu, lumpur Lapindo juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan, seperti terhambatnya kondisi perekonomian di wilayah tersebut, terutama pada jalan raya yang menghubungkan Gempol dan Surabaya.

Dampak sosial dari semburan lumpur Lapindo juga sangat besar. Banyak sekolah yang terendam lumpur dan mengakibatkan masalah pendidikan bagi masyarakat setempat. Pencemaran atmosfer juga mempengaruhi ternak dan lingkungan sekitar. Individu yang terkena dampak lumpur juga mengalami konflik dengan PT Lapindo Brantas, pemerintah, dan masyarakat setempat.

Cara untuk mengatasi dampak lumpur Lapindo di wilayah Sidoarjo diperlukan upaya penanggulangan yang terintegrasi dan berkelanjutan. Berikut adalah beberapa penanggulangan yang dan berkelanjutan. Beberapa penanggulangan yang bisa dilakukan terhadap dampak tersebut yaitu

(1) Penanganan Lingkungan dan Ekologi: Perlu dilakukan restorasi lahan yang terdegradasi akibat lumpur Lapindo. Hal ini melibatkan upaya pemulihan vegetasi, pengendalian erosi, dan rekayasa ekosistem yang sesuai dan Monitoring secara rutin terhadap kualitas air dan udara di sekitar area terdampak, serta pengelolaan limbah dan pengendalian pencemaran yang ketat.

(2) Penanganan Infrastruktur: Perbaikan dan rehabilitasi infrastruktur yang rusak akibat semburan lumpur Lapindo, termasuk rumah, jalan, jembatan, dan utilitas seperti jaringan telepon dan listrik. Pengembangan sistem peringatan dini dan mitigasi risiko untuk mengantisipasi kemungkinan kerusakan infrastruktur di masa depan dan menyediakan fasilitas pendidikan yang sesuai bagi masyarakat yang terkena dampak lumpur Lapindo. Mendorong obrolan dan negosiasi yang konstruktif antara PT Lapindo.

(3) Dampak Ekonomi dan Sosial: Program pemulihan ekonomi lokal melalui pengembangan sektor ekonomi alternatif, pelatihan keterampilan, dan pemberdayaan masyarakat setempat. Peningkatan akses pendidikan dengan membangun sekolah baru dan menyediakan fasilitas pendidikan yang sesuai bagi masyarakat yang terkena dampak lumpur Lapindo.

(4) Mitigasi Bencana dan Perencanaan Tata Ruang: Pengembangan rencana tata ruang yang mempertimbangkan risiko bencana di wilayah terdampak untuk menghindari pembangunan di area yang rentan terhadap semburan lumpur atau ancaman geologi lainnya. Selain itu, Peningkatan sistem peringatan dini dan kemampuan tanggap darurat untuk mengurangi kerugian yang disebabkan oleh bencana serupa di masa depan.

Oleh: Nasyayu Melia Putri, Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka

Amiruddin, L. (2018). Kritik Atas Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Bencana Lumpur Lapindo. Jurnal Kawistara, 8(1), 33-45.

Armijn, A., Soegianto, A., Mulyorejo, J. (2020). Perbandingan Bioakumulasi Logam Berat Melalui Kontak Lingkungan pada Mangrove, Crustacea. Studi Kasus: Paparan Bahan Pencemar Lumpur Lapindo.

Putri, Y. N. (2018). Pemetaan Pola Aliran dan Indeks Kualitas Air Tanah di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).

Intakhiya, Dhesta Mey. Santoso, Ulfah Primurdiani.(2021). Strategi dalam Penanganan Kasus Lumpur Lapindo pada Masyarakat Terdampak Lumpur Lapindo Porong–Sidoarjo Jawa Timur. Moderat: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 7(3),565–585.

Sandika, Bayu. (2022). Potensi Eichornia Crassipes Sebagai Inisiator Restorasi Ekosistem pada Lumpur Lapindo. 1-26.

Zannah, H., & Sudarti, S. (2021). Analisis Persepsi Masyarakat Tentang Dampak Lumpur Lapindo Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah. Jurnal Sanitasi Lingkungan, 1(2), 44-49.

Dewantara, D. P.  Hutabarat, D. M. & Sudarminto,H.P. (2022). Pemanfaatan  Lumpur Lapindo Sebagai Adsorben Terhadap Penurunan Kadar Mangan pada Air Tanah. Distilat: Jurnal Teknologi Separasi, 8(3), 670–675. Teknik Kimia. Politeknik Negeri Malang.

Maria, Juliya. (2018).Analisis Yuridis Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam oleh PT Lapindo Brantas Inc. Sarjana Thesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana. Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara.

Wibowo, H. T., Pratisho, B., Prasetyadi, C., & Yudiantoro, D. F. (2022). Potensi Unsur Tanah Jarang (Rare Earth Elements) Di Lumpur Panas Sidoarjo, Indonesia. In Prosiding

Senastian: Seminar Nasional Teknologi Industri Berkelanjutan (Vol. 2, pp. 533-539).

Putri, A. A. W. (2021).Adaptasi Masyarakat Kawasan Lumpur Lapindo dalam Memenuhi Kebutuhan Dan ketersediaan Air Bersih. Abdikemas: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 3(2 Desember), 222-228

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment