Modernis.co, Malang – Kerumunan massa mendobrak pintu-pintu yang terkunci di dalam gedung. Mereka berusaha masuk untuk menyerbu ruangan tempat para anggota kongres berlindung.
Dari balik jendela, ada laki-laki berseragam yang menodongkan pistol ke arah kerumunan. “Dor!”, terdengar suara ledakan senjata api. Peluru itu menyasar tepat ke dada seorang perempuan—Ashli Babbit—yang sedang berusaha menaiki langkan di sebelah pintu. Seketika ia ambruk ke lantai dengan darah segar mengalir dari dada dan mulutnya. Sayang, perempuan itu tak dapat diselamatkan. Nyawanya melayang, menjadi tumbal di kuil demokrasi.
Dalam kontestasi politik, sudah sangat sering kita menyaksikan gesekan antar kubu. Mereka berlomba, bahkan hingga bertikai untuk menyatakan dirinya yang paling mewakili rakyat. Inilah yang terjadi di Capitol Hill pada 6 Januari 2021 lalu.
Para Trumpers melakukan aksi vandalisme. Mereka menyerbu dan menyerang gedung kongres untuk melakukan protes atas hasil Pilpres AS 2020 yang dimenangkan oleh Joe Biden. Terjadi bentrok dengan polisi dan aparat keamanan saat para pendukung Trump ingin menerobos masuk Capitol Hill. Serbuan ini terjadi saat kongres AS menggelar sidang gabungan untuk mengesahkan kemenangan Biden (detik.com).
Melihat kekacauan yang terjadi, para mantan Presiden AS mengutuk insiden tersebut. Barack Obama mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi di Capitol Hill adalah peristiwa yang memalukan bagi Amerika. Menurutnya, kerusuhan yang terjadi disebabkan karena adanya hasutan dari Trump yang tanpa dasar berbohong mengenai hasil pemilu dengan memprovokasi para pendukungnya.
Selain Obama, mantan Presiden Bill Clinton juga mengatakan bahwa kerusuhan yang terjadi di Capitol Hill diakibatkan dari adanya pihak yang sengaja menciptakan ketidakpercayaan pada sistem dan mengadu domba warga Amerika.
Selanjutnya, komentar lain juga datang dari mantan Presiden George Bush yang mengatakan bahwa kerusuhan yang terjadi menunjukkan kurangnya rasa hormat terhadap lembaga negara, tradisi dan penegakan hukum (liputan6.com).
Aksi vandalisme Trumpers di gedung Capitol Hill menunjukkan kepada kita rapuh dan lemahnya demokrasi. Negara adidaya Barat yang menjadi kiblat demokrasi seluruh dunia dengan nyata memperlihatkan kepada dunia bagaimana wajah buruknya. Vandalisme yang terjadi bukanlah upaya untuk menyerang demokrasi, melainkan hasil dari demokrasi itu sendiri.
Praktik demokrasi sesungguhnya didasarkan pada omong kosong dan penyesatan belaka para pengasongnya. Berbagai musibah dan malapetaka telah menimpa dunia akibat penerapan demokrasi. Tragedi vandalisme Capitol Hill salah satu bukti nyatanya. Akibat dari prinsip kebebasan dalam sistem ini—kebebasan berperilaku, para Trumpers juga menjadi bebas melakukan protes atas hasil pemilu yang tidak mereka inginkan.
Akibat menuhankan akal dan hawa nafsu, ide kebebasan berperilaku ini telah memerosotkan martabat masyarakat yang mempraktekkan demokrasi sampai pada derajat binatang yang sangat rendah.
Allah berfirman, “Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya” (Al-Furqan [25]: 43-44).
Dalam sistem demokrasi, dewan perwakilan diklaim representasi dari kehendak umum rakyat, dan sekaligus merupakan penjelmaan politis dari kehendak umum mayoritas rakyat. Sehingga, para penguasa selalu memanfaatkan rakyat demi kepentingannya. Inilah yang dilakukan oleh Trump yang belum rela kekuasaannya direbut oleh Biden.
Orang nomor satu di AS yang menjadi simbol bagi Amerika dalam penerapan demokrasi, justru ia sendiri yang merusak demokrasi dengan penolakannya terhadap hasil pemilu yang dimenangkan lawan politiknya.
Maka benar yang dikatakan oleh Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky dalam buku mereka “How Democracies Die” yang menyebutkan bahwa para politisi AS selalu memperlakukan lawan politiknya sebagai musuh, mengintimidasi pers, hingga bahkan menolak hasil pemilu.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Amerika saja, melainkan di seluruh negara yang mengadopsi demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Prinsip kebebasan dalam demokrasi seringkali menimbulkan perpecahan tajam di tengah masyarakat. Masing-masing pihak selalu merasa benar dengan pendapatnya. Melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Manipulasi dan spekulasi dalam proses politik sudah menjadi hal yang wajar dalam demokrasi.
Budaya adu domba dalam sistem demokrasi acapkali dilakukan demi mendapatkan legitimasi rakyat, meskipun itu ditempuh dengan cara-cara kotor, seperti menyebarkan berita hoax dan provokasi. Sama seperti yang dilakukan oleh Trump. Di hadapan ribuan pendukungnya, ia meminta mereka untuk mencurahkan kemarahan serta protes di Capitol Hill saat acara pengesahan kemenangan Biden berlangsung. Seperti inikah wajah asli demokrasi?
Apa yang terjadi di kuil demokrasi Capitol Hill telah mempertegas kondisi Amerika sebagai kiblat demokrasi dunia yang berada diambang kehancuran. Masihkah berharap pada sistem rusak ini? Sistem yang sebenarnya sudah lama mati.
Sudah saatnya kita membuka mata. Sistem demokrasi yang dilandasi prinsip sekularisme sejatinya adalah sistem yang sangat rapuh. Demokrasi gagal membawa ketenteraman.
Amerika yang dilihat dunia sebagai simbol negara demokrasi, nyatanya tak luput dari aksi kekerasan dalam proses demokrasi itu sendiri. Upaya-upaya adu domba yang dilakukan penguasa demi merebut kembali kekuasaannya, serta tidak adanya kesatuan suara dalam proses politik yang katanya merepresentasikan suara mayoritas.
Hal ini menunjukkan bahwa umat di dunia membutuhkan alternatif sistem yang berbeda. Sebuah sistem pemerintahan yang tidak mudah dikendalikan oleh sekelompok orang atau partai berkuasa. Sebuah sistem di mana penguasa tidak bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi bertanggung jawab kepada pemilik otoritas yang sesungguhnya, yaitu Allah SWT.
Kini demokrasi sudah tidak bisa diharapkan lagi. Sesungguhnya ia sudah lama mati. Hanya para penguasa serakah yang ingin menghidupkannya kembali.
Insiden di Capitol Hill adalah kenyataan bagi demokrasi yang tak dapat mengelak dari takdir kematiannya, dan vandalisme di kuil demokrasi adalah perayaannya. Oleh sebab itu, marilah kita beralih dari sistem demokrasi yang sudah kehilangan supremasinya menuju sistem Islam yang memberikan keberkahan bagi semesta.
“Tak ada yang kekal di dunia ini. Semua akan menemui ajalnya. Semua akan mati, termasuk demokrasi ” (Doni Riw).
Oleh: Retno Purwaningtias, S.IP (Aktivis Muslimah)