Belajarlah Demokrasi Pada Korea Utara

nurbani yusuf

Modernis.co, Malang – Demokrasi bergantung pada cara pandang dan siapa yang mendefinisikan, bagi Korea Utara Pemilu adalah proses tanda bersetia kepada pemerintahan. Tak lebih. Sederhana tapi simple, bagi Kim Jong-Un Tuhan terlalu suci dan Agung untuk dibawa pada wilayah paling korup karena tipu-tipu.

Di tengah riuh demokrasi yang mengedepankan kritik, bahkan bully dan fitnah terhadap pemerintahan berkuasa, Korea Utara bisa dijadikan model bagaimana agar para pengkritik dan oposan dibungkam hingga akar nya. Tak perlu banyak cakap para pengkritik pemerintahan akan diamankan atau dihilangkan permanen atau sementara waktu.

Bergantung ringan beratnya pelanggaran yang dilakukan. Demokrasi Korea Utara telah berhasil meminimalisir dusta dan hoax. Kim Jong-un tak perlu lelah berdebat atau menemui pendukungnya buat janji palsu.

Semua pemilih berpartisipasi dalam pemilu untuk memantapkan kekuatan rakyat seperti batu. Seratus persen warga memberikan suaranya untuk perwakilan parlemen di setiap konstituen,” tulis KCNA kantor berita Korea Utara sebagaimana dikutip Reuters.

Adalah Kim Jong Un, memenangi Pemilu hampir absolut: 99,9%. Berbeda dengan Jokowi dan Prabowo yang terseok di kisaran 34% untuk Prabowo dan 45% untuk Jokowi. Meski dengan biaya ratusan milyar dan puluhan taktik di kemas.

Bagi Kim Jong-Un, Pemilu adalah proses tanda bersetia kepada pemerintahan. Patuh dan taat, mendukung penuh tanpa syarat —itulah demokrasi bukan kritik apalagi oposisi. Demokrasi bukan suatu sistem untuk menyampaikan uneg-uneg atau lazim disebut aspirasi. Jadi para parlemen tak perlu buat banner dan janji-janji manis yang tak mungkin ditepati.

Demokrasi tidak menjanjikan kesejahteraan tapi kebebasan memilih. Kebebasan bila diberikan kepada rakyat dengan status ekonomi rendah akan dijual dengan harga murah.

Indonesia menerapkan Demokrasi paling rumit di dunia, bahkan paling mahal dengan menghabiskan banyak energi, waktu dan beresiko tinggi. Kebebasan telah menjadikan pemerintahan kehilangan wibawa. Bandingkan dengan Kerajaan Saudi memperlakukan para pengkritik keluarga kerajaan semacam Kashogi dengan cara mutilasi.

Dengan begitu wibawa kerajaan tetap terjaga dan menjamin ke langsungan kerajaan, apa artinya seorang Jamaal Kashogi dibanding stabilitas politik. Raja Salman dan Kim Jong-Un hanya beda packaging tapi keduanya sama. Kerajaan dan demokrasi rakyat hanyalah washilah dan hanya mereka berdua yang berhak memberi tafsir.

Rakyat hanya sekumpulan bodoh. Ruwaibidhah yang tak perlu diberi ruang. Akal sehat hanya akal-akalan. Pemilu adalah dusta kolektif yang dirayakan dan dibenarkan ramai. Banyak biaya dan buang waktu dengan hasil buruk. Saatnya meninggalkan demokrasi. Korea Utara layak dijadikan model bagaimana memenangi pemilu dengan biaya murah hasil maksimal.

” .. Aku raih kekuasaan bukan karena kamu suka padaku, tapi karena pedangku. Aku tak akan mengayunkan pedang selama kalian tak mengganggu pemerintahanku meski dengan kritik yang keras sekalipun .. ‘ kata Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam pidato penuh gelora di Madinah di depan para pembesar Quraisy di Tahun Persatuan–sesaat setelah Ali ra kalah.  Wallahu taala a’lm

Oleh : Nurbani Yusuf (Pegiat Komunitas Padhang Mahsyar Malang/Kiayi Muhammadiyah Malang)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment