Modernis.co, Malang – Di saat orang menerima perbedaan, di saat yang sama ia juga menerima persamaan. Disebabkan persamaan dan perbedaan saling mengikuti secara harmonis. Seperti yang telah ditulis oleh Lao Tzu, “Di dunia ini, ketika manusia mengetahui apa itu baik sebagai baik, maka mereka akan mengetahui pula apa itu buruk sebagai buruk.”
Dunia yang diliputi dualitas, menyebabkan manusia harus pandai dalam menyikapinya. Tidak boleh bagi manusia untuk memihak salah satu dari dualitas yang ada. Jika manusia memihak salah satu dualitas, maka itu disebut sebagai dosa. Dosa berasal dari bahasa sansekerta yang berarti sombong yang sifat ini digambarkan sebagai raja kera Sun Go Kong yang selalu sombong tak terkendali.
Adapun sifat buruk yang lain seperti keserakahan yang digambarkan sebagai babi dan kebodohan yang digambarkan sebagai ikan. Sedangkan biksu Tong menggambarkan orang yang mampu menguasai ketiga sifat buruk itu tanpa membunuhnya, sehingga mereka justru menjadi pelindungnya.
Namun kita terpaksa tidak akan membahas itu, melainkan bahwa jika semua manusia tidak memihak salah satu dari dualitas di atas maka tidak akan ada yang namanya dosa. Maka coba perhatikan bahwa segala perbuatan dosa itu ada pasti karena melampaui batas. Melampaui batas dalam artian ialah bahwa manusia telah memihak salah satu dari dualitas secara ekstrim. Maka orang berdosa di saat yang sama juga merupakan orang yang tidak adil karena adil merupakan keseimbangan.
Merusak keseimbangan juga merupakan cara merusak alam semesta, dikarenakan alam semesta ini seimbang. Ramalan bahwa kiamat dengan hancurnya alam semesta barangkali akan terjadi ketika bumi diisi oleh keseluruhan manusia berdosa. Dengan demikian, membuktikan bahwa bumi merupakan pusat alam semesta.
Disebabkan alam semesta yang lebar ini nasibnya ditentukan oleh perilaku manusia yang hanya ada di bumi yang kecil ini. Dalam paragraf kedua disinggung terkait bagaimana manusia harus pandai menyikapinya. Cara sikap ini sangatlah misterius dan tidak mudah dipahami oleh manusia biasa. Diperlukan hikmah yang tidak cukup menggunakan akal saja dalam memahaminya.
Jika pun penulis menjelaskannya di sini, maka penulis bisa pastikan para pembaca akan menghadapi kesulitan dalam menerapkannya pada kehidupan. Oleh karena para pembaca seringkali susah memahami filsafat. Maka untuk menghindari kebingungan pembaca, penulis memutuskan untuk tidak membahasnya pada kesempatan kali ini.
Tulisan ini akan menekankan pentingnya memahami dualitas. Segala penindasan dalam sejarah penindasan itu sendiri timbul dari manusia yang memihak salah satu dari dualitas. Seperti adanya laki-laki dan Perempuan yang berbeda namun kita sudah sepakat untuk melihat mereka sama. Karena di mana ada perbedaan, di sana ada pula persamaan.
Merupakan kesalahan apabila kita melihat laki-laki dan Perempuan itu berbeda saja tanpa menghadirkan persamaan. Atau sebaliknya. Di sinilah segala penindasan itu dimulai dengan Perempuan yang selalu menjadi kurban. Pasti ada hikmah di balik adanya perbedaan dan pasti ada hikmah di balik adanya persamaan.
Manusia yang memihak salah satunya membuktikan bahwa ia tidak sanggup memahami hikmah. Secara mengerikan, Lao Tzu menulis, “Keduanya, sesungguhnya ialah sama namun seiring waktu ia menerima nama yang berbeda, marilah kita bersama menyebutnya sebagai misteri, misteri yang terpendam merupakan misteri yang yang terdalam”.
Sebagai laki-laki, bukan sebagai seorang pembela feminisme, yang selalu cacat itu, saya tidak terima jika Perempuan diperlakukan demikian. Oleh karena itu, saya selaku penulis akan menulis bahwa:
Selama ini Perempuan banyak diperlakukan sebagai tertindas oleh penindas. Semua itu membuat Perempuan mengerti akan pengorbanan yang ia layankan. Pengorbanan-pengorbanan yang telah terjadi, yang sudah tak terhitung selama sejarah pengorbanan itu sendiri, membuktikan bahwa laki-laki memiliki banyak hutang kepada Perempuan.
Baik mereka yang kakek-kakek, pemuda maupun anak-anak laki bahwa bayi laki-laki. Soalnya sudah menjadi tradisi turun temurun bahwa Perempuan selalu berkurban dan seolah-olah laki-laki tercipta sebagai penindas bagi yang tertindas. Jika tidak percaya, tanyakan saja pada ibu dan ayahmu.
Manusia yang sesungguhnya ialah laki-laki, saya sebagai pengagum Nyonya Dahlan, almarhuma Siti Walidah, sangat meyakini hal itu. Dalam sejarah filsafat, seringkali saya diberi tahu bahwa dalam diri manusia terdapat dua hal yang bertentangan, yakni akal dan nafsu.
Sehingga dalam rangka membentuk manusia ulung, metode filsafat seringkali menyebut bahwa manusia ulung ialah dia yang mengoptimalkan akal dan menjinakkan nafsunya (yang terdiri dari raja kera, babi dan ikan, ditambah binatang lain juga boleh sesuai selera nafsu). Sedangkan posisi akal dan nafsu ini lengkap ada pada laki-laki. Oleh karena itulah manusia yang sesungguhnya ialah laki-laki.
Lebih mengerikan pula bahwa Buddha dan Mahavira secara kompak menyatakan bahwa manusia yang bisa meraih pencerahan hanyalah manusia, bukan Perempuan yang dalam Islam justru disebut sebagai harta dunia itu sendiri. Ini membuktikan bahwa Perempuan adalah sumber nafsu dunia yang paling arif (tinggi juga kedudukannya).
Buddha bahwa secara tegas meninggalkan isterinya demi meraih kebenaran sejati (bisa-bisa Buddha digugat di pengadilan agama karena menelantarkan isteri dan anak, itu yang saya lakukan jika jadi isterinya), beliau juga keberatan ketika sang isteri hendak masuk jama’ah yang didirikannya.
Maka bagaimana dengan nasib Perempuan, yang sudah kita sepakati bahwa ia merupakan manusia jadi-jadian. Nah, di sinilah kita baru berbicara Islam.
Singkatnya, nabi Muhammad diperintahkan menyampaikan Islam kepada seluruh manusia yang ada di bumi. Namun sebagai manusia, beliau tidak mampu melakukannya. Beliau belum pernah sampai ke Tlogomas, Malang, Jawa Timur, Indonesia. Sehingga sudah menjadi tugas kita untuk menyambung dakwah al-Islamiah, dengan demikian kita membantu nabi Muhammad dalam berdakwah.
Sehingga pula, nabi Muhammad bukan tidak mampu menyampaikan Islam kepada seluruh manusia. Jangan seenaknya mengatakan nabi Muhammad gagal menyampaikan Islam kepada seluruh manusia yang ada di bumi!
Perempuan yang disebut sebagai manusia jadi-jadian seperti yang Aristoteles katakan, “Perempuan adalah manusia yang tidak lengkap” membuktikan secara fisik, Perempuan tidak mempunyai sesuatu yang dimiliki manusia. Anunya, maksud saya parahnya, ketika tidak memiliki sesuatu orang pasti memiliki sesuatu yang lain.
Filosofinya, ketika kita mendapatkan pasti secara bersamaan kita juga kehilangan. Contoh sederhana yang saya ambil dari pengadilan agama, ketika seorang suami kehilangan isterinya maka di saat yang sama ia mendapat kesempatan baru untuk cari yang lain.
Pastinya, laki-laki memiliki sesuatu yang tidak Perempuan miliki dan berlaku sama pula ketika diputar-balikan. Perempuan dalam Islam, memiliki lebih banyak aturan daripada laki-laki. Aturan ini sukar untuk disadari bila pegang Al-Qur’an saja setahun sekali.
Oleh karena Perempuan tidak memiliki apa yang laki-laki miliki, maka al-Qur’an sebagai batu ujian, menggenapi Perempuan dengan seperangkat aturan dibayar tunai. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa untuk mengetahuinya, para pembaca yang budiwati (yang budiman juga boleh) harus menyadari seperangkat aturan yang dimaksud di atas itu apa saja, lalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya anda akan merasakan sendiri bagaimana Islam menjamin hak-hak dan kewajiban Perempuan sebagai jawaban atas penindasan terhadap Perempuan selama ini. Ingat, separangkat aturan yang dibayar tunai! Dibayar tunai! Jadi jangan sia-siakan.
Oleh: Yusuf Afrizal (Mahasiswa Fakultas Agama Islam UMM)