Modernis.co, Malang – Di berbagai belahan dunia saat ini sedang dihebohkan dengan munculnya virus Covid-19. Pemerintah membuat suatu kebijakan agar penyebaran virus covid ini bisa dihentikan. Seperti pemberlakuan 3M, menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan.
Tidak hanya itu, semua kegiatan yang ada luar rumah harus dihentikan, hal ini membuat masyarakat harus tetap produktif namun tetap didalam rumah. Pemerintah mulai memberlakukan social distancing, dimana masyarakat harus menjaga jarak satu sama lain untuk mengurangi terjadinya pemaparan virus.
Di satu sisi penerapan sosial distancing memberi dampak positif pada bidang kesehatan untuk menekan jumlah penduduk yang menjadi korban. Namun di lain sisi, dampak negatif muncul pada bidang perekonomian karena sulitnya masyarakat untuk bekerja atau mencari penghasilan. Secara sosial tidak menutup kemungkinan persoalan rumah tangga muncul akibat kebijakan social distancing yang mengharuskan masyarakat untuk berada di rumah. Salah satu masalah sosial yang terjadi di masyarakat diantaranya adalah adanya kekerasan dalam rumah tangga.
Mengelola Ketahanan Keluarga di masa pandemi merupakan tantangan yang cukup berat bagi ketahanan keluarga. Akibat pembatasan sosial dan dampak ekonomi yang muncul dari pandemi Covid-19 ini membuat persoalan ketahanan keluarga di masa pandemi harus mendapat perhatian serius semua pihak. Keluarga dan berbagai elemen masyarakat harus menciptakan situasi yang kondusif untuk mengurangi tekanan psikis dan sosial terhadap keluarga akibat pandemi ini. Lingkungan akan memainkan peranan penting untuk mendukung munculnya kemampuan mengelola ketahanan keluarga di masa pandemi Covid-19 ini.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dari 1 Januari sampai 12 Mei 2020 juga telah menerima laporan 1201 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1526 kasus kekerasan terhadap anak. Namun tren laporan kekerasan terhadap perempuan dan terhadap anak menunjukkan penurunan selama masa PSBB. Namun pantauan telekonseling oleh sejumlah psikolog maupun pantauan psikolog puskesmas langsung ke masyarakat, ditemukan adanya beragam masalah keluarga dari yang ringan sampai yang berat selama masa pandemi ini. Trend kecemasan dan stress juga terjadi secara global.
WHO menyebutkan stres dan kecemasan akibat pembatasan kehidupan sosial menjadikan ketidakpastian, pemisahan, dan ketakutan. Laporan kenaikan KDRT juga terjadi di Belgia, Bulgaria, Perancis, Irlandia, Rusia, Spanyol, dan Inggris. Bahkan Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) memperkirakan akan ada 31 juta kasus kekerasan domestik di dunia jika karantina wilayah berlangsung hingga enam bulan.
Sejak ditetapkan sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional. Pada masa pandemi, terjadi peningkatan kasus KDRT. Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, KDRT menjadi kasus kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Dari 319 kasus kekerasan yang dilaporkan, dua pertiga-nya (213 kasus) merupakan kasus KDRT.
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). KDRT merupakan perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 angka1).
KDRT dapat berupa kekerasan fisik (physical violence), kekerasan psikologis atau emosional (emotional violence), kekerasan seksual (sexual violence), dan kekerasan ekonomi (economic violence). Di dalam UU PKDRT, tindak KDRT diatur dalam Pasal 5 dan dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu: kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; dan penelantaran rumah tangga. Tidak jarang seorang perempuan mengalami beberapa jenis KDRT secara sekaligus.
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain. Mengutip laporan Gelles dan Cornel (1990), Arivia menyatakan, hampir semua kasus kekerasan domestik (KDRT) dialami perempuan (Arivia, 2006). Korban KDRT juga bersifat lintas demografi, tanpa membedakan status sosial ekonomi, suku, agama, tingkat pendidikan, dan usia.
Hasil survei Komnas Perempuan ini menunjukkan, dalam masa pandemi, perempuan semakin rentan untuk merasa stres akibat beban kerja yang semakin bertambah. KDRT tetap terjadi, didominasi kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Peluang terjadinya KDRT semakin besar pada rumah tangga dengan pengeluaran yang semakin bertambah. Sebagian korban KDRT memilih tidak melaporkan kasusnya karena berbagai alasan.
Tindak kekerasan kebanyakan dilakukan suami terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan adanya budaya patriarkhi. Dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sehubungan dengan itu KDRT memiliki dampak mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga.
Dampak terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir korban. Misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban.
Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekonomi secara mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi serta ongkos perkara. Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan/pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri.
Meskipun KDRT ada undang- undang yang melindungi perempuan dari tindak KDRT, namun implementasinya masih mengalami kendala. Menurut Bonaparte (2012), ada beberapa hambatan:
- Korban mencabut pengaduan dengan berbagai alasan, seperti: demi keutuhan keluarga atau kondisi psikologis anak, korban tidak memiliki pekerjaan (secara ekonomi tergantung pada pelaku), korban takut ancaman dari pelaku/ suami, dan adanya campur tangan pihak keluarga atau alasan budaya/ adat/norma agama
- Kurangnya bukti, yang disebabkan beberapa hal: menghindari anak sebagai saksi, mengingat kondisi psikologis anak dan dampaknya, menjaga netralitas saksi dalam lingkungan rumah tangga,
Apabila pada situasi normal saja korban enggan melaporkan kasus yang dialaminya, maka dapat dipastikan upaya penanganan kasus KDRT semakin berat. Dengan adanya berbagai pembatasan dan kekhawatiran tertular Covid-19 atau kesulitan ekonomi sebagai dampak adanya pandemi.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh kementerian PPPA bersama dengan United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) yaitu membuat protokol penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dapat digunakan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan. Sehingga perempuan yang menjadi korban tetap terlayani dan lembaga-lembaga penyedia layanan tetap bisa memberikan penanganan kasus dengan merujuk pada protokol yang ada.
Protokol ini diadopsi dari Panduan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender yang disusun oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, Yayasan Pulih, dan Lembaga Penyedia Layanan Bersama Kementerian PPPA dan UNFPA pada tahun 2020. Protokol yang tersedia mulai dari protokol pengaduan; pemberian layanan pendampingan; rujukan ke layanan kesehatan; rujukan ke rumah aman atau shelter; layanan psikososial; layanan konsultasi hukum; hingga pendampingan proses hukum. Protokol covid-19 ini dapat diterapkan dalam penanganan kasus KDRT, karena KDRT merupakan salah satu bentuk dari kekerasan terhadap perempuan.
Oleh: Nabila Ridha Amalia (Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang)