Modernis.co, Malang – Di masa pandemi Covid-19 saat ini, Indonesia seharusnya mampu menjaga stabilitas hubungan social-humanity sebagai stelsel sosial yang fundamental dalam pranata sosial. Penuntutan Hak Asasi Manusia menjadi sebuah keniscayaan yang konkrit terjadi di negara ini. Pemerintah memiliki mandat tertinggi dalam menjamin terpenuhinya hak rakyat dalam segala aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya hak untuk hidup yang diperoleh dari sumber daya alam sebagai muara kehidupan.
Sejak disahkannya UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 sekaligus menambah catatan baru problematika negara yang kian waktu satu permasalahan pun belum kunjung usai. Sehingga rakyat pun melakukan demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah demi menuntut sebuah hak yang bagi rakyat sangat bernilai. Tentu, Indonesia sebagai negara demokrasi sejatinya dapat melindungi hak-hak rakyat sebagai tanggung jawab bangsa yang terus diemban pasca kemerdekaan.
Dekadensi HAM
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Terlebih pada kasus-kasus yang menyeret Hak Asasi Manusia (HAM) perlu dihilangkan dalam jiwa manusia (Pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM).
Pengaruh pandemi Covid-19 merasuki segala sektor, termasuk sektor pendidikan dan ekonomi. Realitas sosial membuktikan kejanggalan yang terjadi selama belakang ini menuai aksi demonstrasi. Di tengah musibah besar, pemerintah bukannya mengarahkan negara menuju kehidupan sosial yang baik, namun melagalkan UU baru yaitu UU Cipta Kerja. Isi pasal tersebut menuai kecaman rakyat yang dinilai merugikan hak-hak rakyat dalam melangsungkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Laju perekonomian mengalami penurunan dan berdampak bagi para buruh. Rata-rata para pekerja di pabrik mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara serentak. Sejak pemerintah mulai menerapkan pola hidup New Normal, ruang gerak pekerja diatur sedemikian rupa. Aturan tentang jumlah gaji pokok juga diterapkan. Para buruh tidak lagi menerima upah seperti keadaan sebelumnya, hak kesejahteraan pun terenyahkan.
Para pelajar dan mahasiswa menginginkan kemerdekaan dalam belajar. Dalam artian, pendidikan yang berjalan selama masa pandemi Covid-19 dengan menggunakan metode daring (dalam jaringan) dianggap kurang efektif dalam proses belajar mengajar. Mereka mengeluhkan kualitas jaringan internet yang buruk. Meskipun Kemendikbud telah memberikan subsidi kuota belajar, namun hal itu belum terjamahkan dengan merata bagi mereka yang berada di wilayah pelosok dan sulit mengakses internet.
Hak Asasi Manusia sebagai objek kajian sosial-kemanusiaan akan terus berlanjut dibahas hingga masa yang akan datang. Menilik persoalan pelanggaran HAM dengan motif penindasan dan perenggutan esensi hak rakyat menjadi problematika negara yang harus diselesaikan. Pemerintah sebagai penjamin keberlangsungan hidup rakyat yang beriklim demokrasi harus dapat menunjukkan progres bangsa dalam segala sektor kehidupan. Sehingga, hak asasi manusia yang bersifat merdeka dapat terlihat secara konkrit.
HAM di Negara Demokrasi
Hak Asasi Manusia (HAM) telah melekat dengan jiwa dan raga manusia itu sendiri sejak lahir ke dunia dengan porsi yang sama, bersifat merdeka, konkrit dan absolut serta berlaku dimanapun dan kapanpun. Konsekwensinya, setiap manusia harus melindungi Hak Asasi Manusia yang lainnya dan tidak diperkenankan untuk menindas hak asasi mereka. Kesadaran sosial tidak akan tumbuh kecuali dengan menghilangkan keegoisan demi merekatkan relasi kemanusiaan di tengah dekadensi sosial yang memprihatinkan.
Upaya pemimpin negara bersama pejabat yang lainnya dalam menekan laju pertumbuhan kejahatan sosial belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Di tengah pandemi Covid-19, suara rakyat Indonesia kembali terdengar dari setiap sudut daerah. Melakukan demonstrasi untuk menuntut hak rakyat yang dianggap telah dilucuti atas dasar pemerintahan otoriter. Tindakan responsif rakyat menjadi bukti sebarapa besar entitas HAM di negara demokrasi.
Rakyat, pemimpin dan negara yang berdaulat menjadi syarat terbentuknya negara. Ketika pejabat menyakiti hati nurani rakyat secara tidak langsung mereka telah melukai sendi negara. Sejatinya, pemimpin mampu memimpin dan membina rakyat dengan integritas yang dimilikinya. Tetapi, jika para pemangku kekuasaan tidak dapat menunjukkan kinerja kepemimpinannya, maka rakyat tidak akan melegalkan amanat negara kepada mereka.
Menurut Mahfud MD, “Berdaulat secara formal memang sudah, tetapi apa manfaatnya bagi bangsa? Saat ini yang harus diperjuangkan adalah hak asasi manusia. Keadilan tidak ada, sungguh-sungguh harus ditegakkan”. Indonesia harus membedah persoalan material yang berkorelasi dengan kondisi rakyat dalam pemenuhan hak asasi manusia. Perkara hak setiap manusia bukan dijadikan sebagai sesuatu yang biasa, hak itu bersifat absolut.
Negara lain pasti berkaca pada Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjamin kebebasan berpolitik, berekspresi, bersosialisasi dan berinteraksi dalam persoalan HAM. Rakyat Indonesia akan bangga jika pemimpinnya mampu menjadikan negara tercinta sebagai pionir social-humanity di kancah Internasional sebagai bukti keotentikan sistem demokrasi. Dengan demikian, iklim sosial-politik Indonesia bersinergi secara efektif.
Oleh : Denny Firmansyah (Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang)