Modernis.co, Malang – Kamis (25/01) Sekitar pukul 13.32 setelah menerima telepon dari kampung (baca : mama), banyak hal yang menjadi topik pembicaraan, mulai dari kakak perempuan saya yang baru melahirkan anak perempuannya. Masalah keuangan keluarga dan sampai pada biaya kuliah yang sampai sekarang belum terbayar sebagai syarat KRS Online di kampus.
Bak disambar petir, dihadapkan pada kenyataan orang tua tidak mampu untuk membayar kuliah, kakak pertama yang sedang menyelesaikan S2 Jurusan Pendidikan Agama Islam juga membutuhkan biaya kuliah, bahkan istrinya yang sedang sakit pun membutuhkan biaya operasi, belum lagi memikirkan biaya ekonomi dan pendidikan istri serta anak-anaknya.
Judul tulisan sudah terbesit di pikiran untuk di tulis sejak duduk di kelas 3 SMA di Makassar, antara ingin mengejar cita-citaku sebagai Anggota TNI. Kembali pada kenyataan bahwa saya dilahirkan dari keluarga yang bisa dikatakan penghasilan sehari-hari hanya untuk biaya makan sehari.
Semasa SMA, saya dihadapkan dengan buku karya Hamdan Juhannis, Melawan Takdir. Sosok Hamdan Juhannis dalam buku itu adalah Saya. Kenapa tidak, Orang yang secara kemampuan finansial tidak cukup untuk bersekolah ke Jerman, Born.
Istimewanya Hamdan Juhannis punya tekad untuk tetap bersekolah tanpa biaya dari orang tuanya. Selama 7 tahun di Sulawesi buku itu adalah gambaran kecil dari kisahku. Bedanya, Saya dengan Hamdan Juhannis adalah Hamdan Juhannis masih terhitung berdarah biru karena masih keluarga dekat dari Jusuf Kalla yang kurang beruntung, sedangkan saya adalah berasal dari keluarga yang berdarah “abu-abu” yang kurang beruntung sejak lahir.
Persamaannya Hamdan Juhannis dan saya adalah tekad yang membawa kami jauh dari tempat kelahiran, jauh dari keluarga. Orang menganggap bahwa saya terbuang,
Perkataan itu sejak SMP menggema di telinga saya, karena memang sejak usia 11 tahun saya sudah merantau jauh dari kampung. Sering juga saya dihadapkan dengan pertanyaan teman, “Kok Gak pulang kampung”? Alasan yang paling ampuh bernada candaan, “Saya lagi bantu satpam jaga kampus”. Untuk menyembunyikan ketidakmampuanku membeli tiket pulang.
Anda pasti pernah mendengar lagu Oppie Andaresta yang berjudul ‘Cuma Khayalan’, yang liriknya berbunyi: “Pengen punya mobil mewah lengkap dengan AC, tape dan sopir pribadi. Khayalan itu muncul ketika berjalan kaki dari kos ke tempat kuliah. Melihat yang lain berkendara motor pribadi dengan santai.
Biaya Kuliah Mahal, Cuti dan Dispensasi Bertamu
Kembali pada topik biaya kuliah yang belum terbayar. Sebelum melakukan proses pengeraman mata kuliah, terlebih dahulu saya dan mahasiswa pada umumnya harus menyelesaikan pembayaran SPP terlebih dahulu. Bahasa sederhananya, “Bayar Dulu Baru Masuk”.
Mungkin bagi sebagian mahasiswa yang ekonomi keluarganya terjamin, membayar SPP adalah satu proses administrasi yang mudah, atau bahkan sekali kedip mata uang SPP hadir di depan mata.
Berbeda hal-nya dengan saya, 1-2 bulan sebelum pembayaran sudah harus menelepon saudara untuk urusan biaya Kuliah. Sebelum dikirim harus ada kuliah dengan bobot 6 SKS dari saudara, iya walaupun tujuannya memberi semangat agar tekadnya dipacu lagi.
Sudah sejak menjadi mahasiswa baru pada tahun 2017 saya terkendala dengan biaya kuliah. Sampai pernah Ikut aksi di kampus terkait biaya kuliah di kampus yang semakin mahal. Saya kira bahwa itu hanya akan berdampak bagi mahasiswa baru 2018, 2019 atau bahkan 2030. Tetapi, terkendala biaya kuliah juga menghampiri saya.
Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2018, saya pernah menulis tentang liberalisasi di sektor pendidikan di dunia kampus. Kini fenomena tersebut nampak menyerang seperti penyakit yang sulit disembuhkan. Sistem pembayaran mata kuliah tidak memandang ekonomi keluarga baik kelas bawah, menengah dan kelas atas.
Saya yang tergolong ekonomi keluarga kelas bawah sangat merasa tertekan seperti dikejar debt collector ketika pergantian semester tiba. Sampai kapan liberalisasi pendidikan terus berjalan? Sampai kapan anak-anak muda berpotensi tidak kuliah karena terkendala biaya kuliah? Toh, akhirnya jika tidak sanggup bayar, cuti dan dispensasi datang bertamu.
Oleh : Mahdi Temarwut (Aktivis IMM Tamaddun dan Pegiat Literasi Forsifa UMM)