Asa di Tengah Tangis

asa tangis

Modernis.co, Malang – Indonesia merdeka, itulah yang dicita-citakan pejuang bangsa dan turut juga diharapkan oleh semua kompenen bangsa. Gagasan untuk menghadirkan Indonesia merdeka menguras habis ide-ide para pejuang bangsa terdahulu.

Waktu, pikiran bahkan nyawa telah disumbangsihkan demi kemerdekaan Indonesia. Soekarno adalah bukti sejarah bahwa ada pemimpin negara yang mampu menyadarkan dunia bahwa Indonesia mampu berkiprah di kancah internasional.

Capain-capain pada masanya menjadi tolak ukur kesuksesannya dalam memimpin. Mengangkat harga diri bangsa di mata dunia Internasional; mengadakan konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila, mengadakan konferensi Asia-Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok, yang mampu menghadirkan kemerdekaan bagi negara di Asia-Afrika. Itu salah satu sumbangsih Soekarna dari sekian sumbangsihnya di mata seantero dunia.

Di bawah kepemimpinan Jokowi dan Jusuf Kala Indonesia pun mencapai banyak perkembangan. Pengadaan infrastruktur jalan menjadi salah satu program unggulan dalam rangka mendorong perekonomian serta meningkatkan daya saing. Basuki Hadimuljono menyampaikan “sampai 2018 telah terbangun 3.432 km jalan nasional, 941 km jalan tol dan jempatan dengan total panjang 39,8 km”.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah pembangunan infrastruktur jalan menjadi solusi yang dialami masyarakat? apakah dengan dibangunnya jalan mampu menjawab kecemasan masyarakat?

Hemat saya bahwa pembangunan infrastruktur sedemikian banyaknya secara tidak langsung menjadi momok yang luar biasa bagi masyarakat. katakanlah jalan tol. Apakah ada kebermanfaatan bagi kaum proletar yang makan saja susah?. Perlu mengucurkan banyak keringat hanya demi sesuap nasi. Apalagi membeli sebuah mobil pribadi yang mewah.

Kemudian disamping itu, dengan dilancarkannya pembangunan infrastruktur, akan menjadi modal strategis bagi pemodal luar negi guna memudahkannya dalam melancarkan keinginannya mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia dengan memanfaatkan terbangunnya jalur transportasi negara. Bahkan bukan hanya sumber daya alam, melainkan juga sumber daya manusia sekalipun sedikit demi sedikit dikuasai.

Terbukti hingga saat ini terlihat ada ketidak berpihakan oleh pemerintah terhadap rakyatnya. Semakin maraknya imigrasi masyarakat China ke Indonesia. Baik menjadi buruh maupun profesi yang lain. Yang secara tidak langsung menggeser eksistensi penghuni rumah itu sendiri.

Kegelisahan Sang Filosof

Yusuf El Fikhri namanya, filosof ynag menarik diri dari kerumunan masyaraakat pada usia tiga puluh tahun dan tinggal di sebuah tempat yang sunyi tepatnya di sekitar lembah Qadisa. Diceritakan beliau adalah orang yang baik dan berasal dari keluarga yang bisa dikatakan kaya. Namun naas, kebahagiaannya dipangkas habis oleh pahitnya kehidupan yang dihasilkan oleh keserakahan orang-orang yang mencari pangkat kekuasaan. Mengorbankan penderitaan orang lain demi terpenuhinya setiap apa yang dia inginkan.

Al-hasil Yusuf mencari kesunyian untuk menghindar dari wajah-wajah manusia yang hina. Menjual dirinya dengan harga yang lebih murah dari pada dirinya, baik lahir maupun batin. Dia ingin menyembunyikan diri dari orang-orang yang memuaskan dirinya-sendiri dengan ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Merasa paling benar dan wajib dihormati. Dia lari dari masyarakat ramai, sebab telah bosan menghormati orang-orang yang tidak selayaknya dia hormati.

Orang-orang yang menganggap bahwa rendah hati adalah sebuah kelemahan yang melekat pada diri insan dan kasih sayang merupakan sifat pengecut atas realita, sedang angkuh adalah kekuatan yang mampu mengantarkan kepada sebuah kepuasan diri. Dia bosen terhadap udara yang dia hirup setiap hari di tengah-tengah kerumunan masyarakat, bersama ketimpangan sosial yang sering kali menghantui dan menyisakan pilu. Menyanyat hati atas ketidakpedulian penguasa terhadap kemerdekaan sejati.

Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan lahir dan batin. Lahir, tubuh terawat dengan baik dan batin tidak terusik dengan kegelisahan. Dia lari dari para pengejar pangkat yang menabur paku di jalan, mencampakkan nasib seseorang, sementara menabur debu emas ke dalam mata mereka.

Menjauh dari perangkat yang hadir memakai jas hitam yang elegan, bersama beribu kata-kata tergores dengan tinta hitam diatas kertas putih tertata apik di podium kebanggaannya. Berpidato bak penyelamat Negara dengan segudang janji namun tak mampu merealisasikannya. Tipu muslihat, penjilat handal itu pantas disandangnya.

Dia mencari kesunyian, menjauh dari keramaian manusia yang membuatnya gelisah, kecewa, putus asa, merasa tersakiti atas simpatinya untuk merubah keadaan. Mengasingkan diri adalah keputusan terakhir yang dia ambil, jauh dari kerumunan orang dia mampu merasakan kebahagiaan. Hatinya yang riang menghanguskan kegelisahan yang seringkali dia rasakan dalam hatinya. Melihat pemandangan bukit-bukit yang diatasnya berdiri tegak pepohonan rimbun nan indah menjadi semangat dalam menjalani hidup menuju jalan sejati, yaitu jalan Tuhan.

Begitulah yang sang filosof rasakan pada masanya, Dia tidak mampu untuk menghadapi itu semua. Bobroknya perangkat negara membuatnya merasa iba pada negara.

Secercah Harapan dan Sikap Progresif

Tidak jauh dari kehidupan sang filoshof, Indonesia hingga saat ini mengalami degradasi iman, nafsuh kebinatangan yang membabi buta. Tidak jarang korupsi terjadi secara sistematis, bak induk ayam dibuntuti sang itik, kemanapun sang induk pergi sang itik ikut. Satu komando tanpa ada penolakan itulah kenyataannya. Janji-janji yang berserakan seringakali diabaikan oleh penguasa dengan alasan masih dikerjakan dan butuh penggandaan waktu.

Pelaksanaan program kerja yang tidak sesuai dengan kebutuhan realita masyarakat. kedaulatan rakyat dirampas. Di sisi lain mereka tidak sadar bahwa ada hati yang tersakiti, diri yang terdzalimi, kepercayaan yang dikhianati. Namun apakah kita hanya diam menikmati kekacauan ini, kemudian meratapinya sepanjang hari?.

Jika kita sambungkan dengan kegagalan sang Yusuf dalam menghadapi kehinaan yang ditonjolkan oleh para perangkat. Secara tidak langsung Yusuf mematikan secerca harapan suatu bangsa. Mestinya dendam kita terhadap kebrutalan rezim pemerintah, tidak harus kita melampiaskan dengan mengkerdilkan negara kita kemudian mengasingkan diri.

Mengapa kita tidak mengingatkan, mari kita merebut negara untuk mengembalikan pada hakikat eksistensinya yaitu demi menumbuhkan keadilan, menjauhkan dari kemiskinan, hegemoni, dominasi, pelanggaran hak-hak politik, sosial, budaya dan ekonomi rakyat. Seharusnya kita memandang untuk secercah harapan bukan olokan dan ejekan.

Oleh karena itu, menghadirkan sikap positif terhadap negara adalah langkah awal dalam memperjuangkan kemerdekaan sesungguhnya. Mansour fakih pernah mengatakan sebagai intelektual kita memiliki tugas untuk menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna masa depan kita sendiri.

Akhir kata, negara akan tetap hidup jika masyarakat masih memegang asa dibarengi dengan gerakan nyata demi terselamatkannya suatu negara. Kritik terhadap penguasa itu harus selalu terlontarkan, namun tetap memperhatikan keadaban. Mengingat kita sama-sama memiliki cita-cita yang sama yakni demi Indonesia yang berdaulat dan berkemajuan, sehingga kemerdekaan sejati dapat terwujudkan. Tegakkan kebenaran demi Indonesia menang.

Oleh : Salim Akbar (Aktivis IMM Tamaddun/Peneliti di PeaceLink Malang)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan fikiran-fikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment