Politisasi Agama dan Nalar Kekerasan

politisasi agama

Modernis.co, Malang – Sudah dua tahun terakhir negeri ini dilanda krisis lmoralitas keberagamaan. Banyak konflik-konflik intoleransi yang mengatas namakan agama terjadi. Akarnya, ketika pemilihan gubernur Jakarta. Lalu merambah pada pilkada di daerah lainnya di Indonesia.

Ternyata, konfilk tersebut tak kunjung usai pasca pemilihan. Kekecewaan terhadap kelompok oposisi menjadi ambisi tajam yang diselimuti dendam untuk memenangkan pemilihan berikutnya yaitu Pilpres 2019. Akhirnya narasi-narasi kebencianpun digaungkan, sebut saja sebagai contohnya “Partai ini, partai kafir, munafik”, “ ini Partai Setan, itu Partai Allah”, “orang yang ada di partai itu termasuk ahli neraka” dll.  

Belakangan agama sering menjadi alat politikus untuk mempengaruhi kelompok tertentu, dengan berdalih ayat-ayat qur’an dan hadits tanpa tahu tafsir dan asabunuzul-nya. Tidak menutup kemungkinan jika itu menyulut api perselisihan. Konfliknya bukan pada kalangan elit, melainkan pada akar rumput grassroot. Akhirnnya pemilihan bukan berdasarkan pada hati nurani masyarakat. melainkan ketakutannya pada doktrin yang dipegang.

Sikap kebergamaan yang seperti ini akhirnya menjadi kacau. Jika kata Agama yang berasal dari kata sansekerta “A” artinya tidak, dan “Gama” artinya kacau. Jadi, seharusnya orang yang beragama baik secara sikap, perilaku, maupun konsep berfikir tidak kacau. Sikap seperti ini yang menurut Aksin Wijaya sebagai orang yang beragama tanpa mengenal jalan tengah atas keberagamaannya.

Perseturuan antar agama baik Islam maupun agama lainnya sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Bahkan menurut Amstrong tidak ada agama yang tidak mempunyai sejarah pertumpahan darah. Islam dan Kristen di Barat. Kelompok Kristen Katolik dan Protestan di Amerika. Islam dan Hindu di India.

Dalam sejarah Islam sendiri. Konflik agama memulai perseteruannya pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW. kebingunan umat Islam kala itu, memilih siapa yang akan meneruskan estafet kepemimpinan sepeningalnya nabi. Banyak dari golongan umat Islam yang merasa dirinya pantas untuk melanjutkan estafet kepemimpinan Islam dengan berbagai argumentasinya. Namun, konflik tersebut tak selesai sampai di situ, puncaknya ketika terjadi pembunuhan Utsman sampai kepada perselisihan antara Ali dan Muawiyah.

Dari sini, mulailah Agama menjadi alat untuk memuaskan hasrat kekuasaan. Kala itu golongan Muawiyah yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan hampir mengalami kekalahan dengan Kelompok Ali bin Abi Thalib. Muawiyah memberikan sinyal untuk mengakhir peperangan (sebagai syiasah perang), sinyal tersebut ditanggapi Ali karena banyak umat Islam yang meninggal di medan perang. Peristiwa tersebut berujung pada suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian Arbitrase/ Tahkim.  

Tahkim adalah perjanjian di mana antara kedua pimpinan Islam yaitu Ali dan Muawiyah mengharuskan untuk melepas jabatan kepemimpinannya sebagai khalifah. Perjanjian tersebut berakhir dengan pengkhianatan Muawiyah dan pada akhirnya Muawiyah yang menjadi khalifah sekaligus mendirikan Dinasti Ummayah.

Akar Kekerasan  

Perebutan kekuasaan dalam sejarah Islam adalah sesuatu yang tak bisa dielakan kebenarannya. Bahkan, seringkali kekuasaan memunculkan perang saudara. Tak heran jika Islam dipandang sebagai agama peperangan walaupun pada kenyataannya bukan seperti itu. Upaya untuk mengembalikan wajah Islam yang rahmah sering kali mendapatkan tantangannya.

Tantangannya adalah kalangan Internal umat Islam yang tak kenal dengan perbedaan pandangan dalam Islam. Perbedaan tersebut seringkali menampilkan kekerasaan. Akhirnnya Islam lebih dikenal dengan wajah garangnya dari pada wajah rahmah-nya Soft-nya.

Akar kekerasaan dalam Islam bisa ditelusuri melalui corak pemikiran masyarakat Islam. Salah satu corak pemikannya ialah dikotomis-dialektis, di mana corak pemikiran ini hanya mengandalakan dua argumen, tanpa mengenal adanya jalan tengah antara dua argumen tersebut. Jika tidak beriman berarti ia adalah kafir. Jika tidak halal berarti haram.

Corak yang seperti ini bisa kita temui di beberapa tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok muslim seperti Khawarij, Wahabi, Salafis, Al-Maududi, Sayyid Qutb dll. Salah satu produknya ialah terdapat pada konsep jihadis, seluruh persoalan umat diselesaikan dengan kata jihad. Seolah-olah sedang meninggikan agama Allah, padahal ada kepentingan yang menyertainnya. Bahkan, seringkali menghilangkan sisi kemanusiaannya.

Model kekerasan menurut  Aksin Wijaya melalui elaborasi pemikiran Foucault dan Hassan Hanafi ada dua; pertama, kekerasan wacana; kekerasan yang dibentuk bukan hanya melalui ide-ide atau gagasan melainkan sesuatu yang memproduksi yang lain. Pengetahuan memiliki efek kuasa. Kekuasaan selalu membutuhkan dan memproduksi pengetahuan sebagai basisi kekuasaannya. Kekuasaan ini tidak beroprasi secara represif, melainkan melaui proses normalisasi dan regulasi dengan simbol-simbol wacana.

Sehingga ada upaya dan proses secara sistematis mempengaruhi suatu kelompok, tanpa disadari kelompok tersebut sudah terpengaruh. Kedua; kekerasan fisik; kekerasan fisik ialah kekerasan yang menindas, kekerasan seperti ini sering kali dilakukan penguasa melalui jalur ideologi dan budaya.

Dalam konteks dewasa ini menurut penulis umat sedang berada pada kekerasan wacana, di mana umat digiring sedemikian rupa dengan wacana atau opini publik, tanpa disadari ada oknum tertentu yang bermain dibelakang dengan berbagai macam kepentingan-kepentingannya. Seolah-olah sedang menegakan kebenaran padahal sedang memusakan kepentingan oknum tertentu.

Belakangan ini sering kali hal tersebut terjadi, terutama masalah Intoleransi, apalagi menjelang Pilpres 2019. Banyak oknum-oknum yang memanfaatkan masyarakat atau kelompok tertentu untuk melengserkan kekuasaan dengan cara yang tidak etis. Aksi bela sana-sini pun akhirnya bermunculan dalam waktu berdekatan.  

Inklusivisme Berpikir  

Teknologi kerap membawa perubahan hubungan antar masyarakat. Sebagai contohnya adalah kecepatan mendapatkan informasi yang tidak bisa dibendung. Orang berhak tahu atas segala informasi. Kesempatan seperti ini juga seringkali digunakan kelompok Islam sebagai jalan dakwah Islam. Sehingga output-nya cara pandang masyarakat Islam dalam memahami sesuatu. Termasuk paham keagamaan  yang pada akhirnya membuat sekte-sekte keberagamaan.

Mirisnnya pemahaman keagamaan yang di respon dapat diterima secara sendiri tetapi tidak dapat menerima pendapat orang lain. Gampangnya, ada sekelompok orang yang tidak menerima pendapat orang lain karena dirasa pendapatnya adalah yang paling benar Truth Claim.

Truth Claim seperti ini tidak membawa kepada humanisme beragama (beragama yang memanusiakan). Padahal, Nabi Muhammad Saw. sendiri berada di kota Madinah dengan berbagai macam perbedaan, suku, ras dan bahkan agama. Bagaimana bisa kita yang hidup dalam masyarakat yang plural tidak bisa menerima perbedaan.

Di sini, penulis menawarkan dua solusi; pertama, menerima teknologi-informasi sebagai suatu keniscayaan dan meresponnnya secara bijaksana. Artinya, perlu kirannya kita memilah-milih informasi dan memfilternya, mengingat teknologi adalah sumber informasi umat hari ini.

Kedua, menerima perbedaan pandangan, artinya tetap dengan pendapat yang kita yakini sembari menghormati pendapat yang lain. Hal yang seperti  ini tidak akan mampu terwujud tanpa adanya ruang-ruang dialogis baik intra umat beragama maupun antar umat beragama. Imam Ghazali pernah berkata “Seseorang yang tidak meragukan, dia berarti tidak bernalar. Seseorang yang tidak bernalar, dia sama sekali tidak akan dapat melihat. Seseorang yang tidak dapat melihat, dia akan tetap dalam kebutaan”.

Terakhir mengutip salah satu ayat dalam Al-Quran surat Al-Baqarah;216; “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

*Oleh : Baiturrahman (Kabid Keilmuan Tamaddun 2016-2017)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan fikiran-fikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment