Tikus Tikus Berdasi yang Merugikan Indonesia

mahasiswa umm

Modernis.co, Jakarta – Desas-desus tentang ulah tikus-tikus berdasi tentu tidak asing bahkan sering terdengar karena sudah menjadi pembahasan umum di masyarakat Indonesia. Di negara Indonesia sendiri masih banyak kasus korupsi yang merajalela, bahkan bisa terbilang kasus tersebut sudah menjadi hidangan utama di negara ini. Korupsi sendiri merupakan salah satu tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang bertujuan untuk kepuasaan pribadi atau orang lain.

Pada bahasa latin korupsi berasal dari kata “corruptio” atau “corruptus” dan secara harfiah, korupsi merupakan perilaku yang menyimpang dari kesucian, keburukan, kebusukan, kebejatan, ketidakmoralan, ketidakjujuran, dan mudah disuap. Tindakan korupsi diatur pada Perundang-undangan No. 31 pada tahun 1999, yang berisi tentang pemberantasan pelaku tindak korupsi yang berisi tentang pidana dan sanksi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan tindakan yang menyimpang dan dapat merugikan keuangan negara serta perekonomian negara. Dalam jenisnya korupsi memiliki beberapa jenis di antaranya:

a. Penyuapan (Briberry), merupakan bentuk pembayaran yang berupa uang ataupun lainnya (alat pembayaran), kemudian diberikan atau diambil dalam hubungan korupsi. Hal ini meyimpulkan bahwa korupsi merupakan perilaku atau tindakan dalam membayar atau menerima suap. Tujuan penyuapan sendiri adalah untuk melancarkan suatu urusan terutama ketika harus melewati proses birokrasi formal. Kegiatan ini bisa dilakukan oleh PNS, Hakim maupun Advokat. Seperti yang sudah diatur pada pasal UU 31 Tahun 1999 dan perubahannya yaitu; pada pasal 5 sampai 6 serta 11 sampai 13 UU 20/2021.

b. Penggelapan/Pencurian (Embezzlement), yaitu tindakan koruptor dalam melakukan penggelapan atau mencuri uang rakyat dengan cara pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar administrasi yang khusus untuk pemeriksaan, biasanya dalam memperlancar aksinya, para koruptor juga akan merobek dan mengahncurkan barang bukti suap tersebut. Para pelaku penggelapan ini bisa saja dilakukan oleh pegawai pemerintah dan pegawai pada sektor swasta. Ketentuan terkait penggelapan ini diatur pada pasal 8 sampai 10 pada Undang-Undang 20 tahun 2001.

c. Pemerasan (Extortion), merupakan jenis korupsi yang melibatkan aparat dengan melakukan sebuah paksaan untuk memperoleh keuntungan, biasanya dilakukan dengan menawarkan jasa dan meminta imbalan kepada pengguna jasa tersebut, hal ini didasari dengan unsur janji antara pelaku dan korban. Pemerasan diatur pada UU 20/2001 pasal 12 pada huruf (e), (g), dan juga (h).

d. Perbuatan Curang/ Penipuan (Fraud), diartikan sebagai tindak kejahatan ekonomi yang berwujud kebohongan atau perilaku tidak jujur. Dalam jenis korupsi ini biasanya terdapat keterlibatan dengan pejabat, dilakukan secara terorganisir dan relatif lebih berbahya dibandingkan penyuapan dan penggelapan karena berskala lebih besar. Dalam UU 20/2001 pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa, seseorang yang melakuakan perbuatan curang dan dilakukan dengan sengaja dalam memenuhi kepentingan pribadi dan bertujuan untuk melukai orang lain maka, akan diancam hukuman pidana penjara paling singkat selama 2 tahun serta denda paling ringan sebesar Rp. 100 juta.

e. Gratifikasi, merupakan sebuah hadiah yang diberikan kepada Penyelenggara Negara ataupun Pegawai Negeri , namun hal tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari setelah penerimaan. Fasilitas yang diberikan dapat berupa tiket pesawat, diskon, liburan, pinjaman tanpa bunga, uang, dan biaya pengobatan serta fasilitas-fasilitas yang lain.

Tindakan ini dianggap pemberian suap jika masih ada hubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban/tugasnya. Hal ini di kutip pada pasal 12B ayat (1) UU 21/2001. Sanksi yang diberikan atas tindakan ini yaitu hukuman pidana penjara selama 4 tahun (paling singkat) dan 20 tahun (paling lama) serta dikenakan denda dengan jumlah paling sedikit Rp. 200 juta kemudian denda paling banyak Rp. 1 miliar.

Untuk teori penyebab korupsi terdapat beberapa ahli yang berpendapat salah satunya Jack Bologne. Beliau menjelaskan bahwa yang menjadi faktor penyebab korupsi adalah keserakahan/greed, kesempatan/opportunity, kebutuhan/needs, dan pengungkapan/expose. Keserakahan berpotensi dimiliki setiap individu dan hal ini berkaitan dengan pelaku korupsi. Karena jika seorang individu memiliki sifat serakah yang berlebihan akan timbul pemikiran untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai apa yang diinginkan.

Adapun faktor yang membuka kesempatan melakukan korupsi seperti dalam organisasi, instansi, atau masyarakat luas dalam keadaan tertentu. Kedua faktor kebutuhan, hal ini sering berkaitan dengan individu dalam menunjang kehidupan yang layak dan wajar. Pada akhirnya pelaku akan memperoleh konsekuensi atas apa yang dilakukan, hal ini didukung dengan adanya faktor pengungkapan. GONE = Greed + Opportunity + Need + Expose.

Adapun faktor penyebab korupsi yaitu;

(1) Faktor Internal, faktor ini berasal dari diri sendiri atau pribadi yang terbagi menjadi dua aspek yang meliputi aspek individu ( sifat tamak, rakus, kurang kuatnya moral, dan gaya hidup yang terlalu konsumtif). Dan aspek sosial yang di mana lingkungan keluarga menjadi faktor utama dalam aspek ini. Karena, secara tidak langsung keluarga menjadi dukungan pendorong bagi sang pelaku.

(2) Faktor Eksternal, faktor ini disebabkan oleh beberapa aspek seperti, kurangnya kesadaran masyarakat tentang korupsi, yang mengakibatkan, mereka tidak sadar bahwa bisa saja menjadi korban ataupun pelaku. Kemudian, masyarakat juga kurang menyadari bahwa tindak korupsi bisa saja dicegah dan diberantas jika, mereka aktif berpartisipasi dalam agenda.

Adapun aspek lain yang mendasari tindakan korupsi seperti dalam bidang ekonomi, para pelaku belum merasa puas/cukup dengan penghasilan yang diterimanya sehingga muncul sebuah ide untuk melakukan tindakan korupsi. Kemudian pada aspek politis, para pelaku akan saling memperebutkan kekuasaan dan menimbulkan kemunculan ide yang menyimpang. terakhir dalam aspek organisasi, terdapat beberapa list yang termasuk pada aspek ini yaitu, kurangnya sikap kepemimpinan yang teladan, kultur organisasi yang kurang tepat, sistem akuntabilitas yang kurang, lemahnya pengendalian sistem manajemen, dan kurangnya pengawasan.

Untuk contoh, kita bisa memilih salah satu kasus korupsi yang ada di Indonesia. Yaitu kasus pada Setyo Novanto beberapa yang tahun lalu yang telah menjadi sorotan publik. Pasalnya kasus tersebut telah merugikan negara sebesar Rp. 2,3 Trilliun dengan proyek KTP elektronik pada periode 2011 hingga 2013 dan masuk ke dalam kasus korupsi terbesar di Indonesia.

Pada korupsi ini Setyo Novanto berhasil menggandeng nama lain seperti Irman Gusman dan Andi Narogong. Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa terdakwa melakukan tindakan korupsi secara sistematik karena, dilakukan dengan beberapa tersangka lainnya. Pembagian hasil korupsi pada kasus ini dibagi secara runtut, karena semua orang yang terlibat mendapat bagiannya masing-masing. Lalu, untuk tindakan pengadilan untuk menangani kasus tersebut, mereka menjatuhi vonis hukuman penjara dan sangsi kepada setiap pelaku secara adil. Hal ini bertujuan agar korupsi di Indonesia dapat terberantas dan berkurang.

Oleh: Ansa Meilia Safira Maharani, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi Akuntansi
 

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan fikiran-fikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment