Kampus dalam Cengkraman Kapitalisme Ekstraktif

Modernis.co, Jakarta – Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena kampus yang terlibat dalam industri pertambangan mulai mencuat dan menjadi perdebatan hangat. Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi pusat intelektual dan inovasi akademik, justru terlibat dalam praktik eksploitasi sumber daya alam.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah universitas masih memegang teguh prinsip akademik dan keberlanjutan, ataukah telah berubah menjadi institusi bisnis yang tunduk pada kepentingan kapitalisme ekstraktif?

Kampus yang menambang bukan sekadar isu ekonomi, tetapi juga persoalan etika, demokrasi, dan keberlanjutan lingkungan. Keputusan universitas untuk terlibat dalam aktivitas tambang tidak hanya berdampak pada lingkungan sekitar, tetapi juga pada independensi akademik dan relasi kuasa antara universitas, pemerintah, serta korporasi.

Dalam teori kapitalisme akademik, perguruan tinggi tidak lagi sekadar lembaga pendidikan dan penelitian, melainkan institusi yang semakin berorientasi pada pasar. Sheila Slaughter dan Larry L. Leslie (1997) mengemukakan bahwa universitas di era neo-liberal mulai beroperasi seperti korporasi, mencari keuntungan melalui kerja sama industri, paten, dan kini pertambangan.

Beberapa universitas di Indonesia telah menunjukkan kecenderungan ini, misalnya dengan berinvestasi dalam industri ekstraktif atau bekerja sama dengan perusahaan tambang. Model bisnis seperti ini berisiko mengaburkan batas antara kepentingan akademik dan kepentingan bisnis. Kampus yang semestinya menjadi pengkritik sistem justru menjadi bagian dari sistem yang dieksploitasi.

Selain itu, pendekatan ini juga dapat mengarah pada perubahan dalam kurikulum akademik. Ketika universitas mulai bergantung pada industri tambang, ada kecenderungan bahwa riset dan materi ajar akan semakin diarahkan untuk mendukung industri tersebut, sehingga mengurangi keberagaman intelektual dan kebebasan berpikir kritis.

Kampus Menambang di Indonesia

Di Indonesia, keterlibatan kampus dalam industri tambang bukan sekadar teori. Beberapa universitas diketahui memiliki kerja sama dengan perusahaan tambang besar, baik dalam bentuk penelitian, eksplorasi, maupun eksploitasi sumber daya alam. Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana institusi akademik justru turut serta dalam praktik yang sering kali bertentangan dengan nilai keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

Misalnya, sebuah Universitas Negeri X yang diketahui memiliki saham di perusahaan tambang dan Universitas Y yang terlibat dalam proyek eksplorasi tambang di daerah konflik agraria. Keterlibatan ini sering kali tidak melibatkan partisipasi mahasiswa dan dosen dalam pengambilan keputusan, sehingga demokrasi kampus tergerus oleh kepentingan ekonomi segelintir elit universitas.

Tak hanya itu, beberapa universitas juga menyediakan program studi dan pelatihan khusus yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan industri tambang, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap lingkungan dan sosial. Hal ini menimbulkan dilema etis bagi akademisi yang ingin mempertahankan prinsip independensi dan keberlanjutan.

Salah satu dampak paling serius dari fenomena kampus menambang adalah melemahnya demokrasi kampus. Demokrasi kampus yang sehat menuntut adanya transparansi dan partisipasi mahasiswa serta akademisi dalam pengambilan keputusan strategis. Namun, keterlibatan kampus dalam bisnis tambang sering kali dilakukan secara tertutup, tanpa keterbukaan terhadap civitas akademika.

Selain itu, kebebasan akademik juga terancam ketika universitas mulai bergantung pada pendanaan dari perusahaan tambang. Kritik terhadap industri ekstraktif yang dilakukan oleh akademisi dapat ditekan atau disensor demi menjaga hubungan baik dengan perusahaan mitra. Ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah universitas masih menjadi ruang kebebasan berpikir, ataukah telah berubah menjadi alat kepentingan bisnis?

Beberapa contoh menunjukkan bagaimana akademisi yang meneliti dampak negatif pertambangan mengalami tekanan dari pihak universitas atau bahkan kehilangan pendanaan riset mereka. Fenomena ini berpotensi merusak integritas akademik dan membatasi perkembangan ilmu pengetahuan yang benar-benar objektif.

Dampak Sosial dan Lingkungan

Keterlibatan kampus dalam pertambangan juga membawa konsekuensi sosial dan lingkungan yang serius. Secara ekologis, pertambangan dapat menyebabkan deforestasi, pencemaran air, dan degradasi lahan yang berdampak buruk bagi masyarakat sekitar. Ironisnya, kampus yang seharusnya menjadi pelopor penelitian lingkungan justru berkontribusi pada kerusakan alam.

Dari sisi sosial, proyek pertambangan sering kali memicu konflik agraria dengan masyarakat lokal yang tanahnya terdampak eksploitasi. Ketika kampus menjadi bagian dari industri ini, universitas secara tidak langsung turut serta dalam konflik sosial yang merugikan masyarakat kecil. Ini menimbulkan paradoks: kampus yang seharusnya membangun peradaban justru menjadi bagian dari eksploitasi dan ketimpangan sosial.

Banyak kasus di mana masyarakat sekitar tambang mengalami dampak kesehatan akibat polusi udara dan air, tetapi kampus yang terlibat dalam bisnis tersebut tidak mengambil tanggung jawab sosial untuk membantu atau mencari solusi bagi masyarakat terdampak.

Daripada terlibat dalam industri tambang, universitas seharusnya berinvestasi dalam penelitian dan inovasi berkelanjutan. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain: Pertama, meningkatkan investasi dalam riset energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan. Kedua, mengembangkan model bisnis akademik berbasis inovasi, seperti inkubator startup berbasis teknologi hijau.

Ketiga, menguatkan transparansi dan demokrasi kampus dalam setiap keputusan strategis, khususnya yang berdampak besar pada masyarakat. Keempat, memperketat regulasi dan kode etik akademik untuk memastikan bahwa kampus tetap berfungsi sebagai pusat ilmu pengetahuan yang bebas dari kepentingan bisnis ekstraktif.

Sudah semestinya, kampus kembali pada prinsip utamanya: mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan mengeruk sumber daya alam dengan mengorbankan lingkungan dan keadilan sosial.

Fenomena kampus menambang mencerminkan bagaimana kapitalisme akademik telah mengubah universitas menjadi institusi bisnis yang lebih berorientasi pada keuntungan daripada nilai akademik dan sosial. Keterlibatan kampus dalam industri ekstraktif membawa dampak serius terhadap demokrasi kampus, kebebasan akademik, serta keberlanjutan lingkungan dan sosial.

Alih-alih ikut serta dalam eksploitasi sumber daya alam, universitas seharusnya menjadi pusat inovasi berkelanjutan yang mendukung kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Jika tidak, kampus akan kehilangan jati dirinya sebagai menara gading ilmu pengetahuan dan justru berubah menjadi lubang tambang kepentingan kapitalisme.

Oleh: Aris Munandar (Mahasiswa Magister Politik Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment