Modernis.co, Pandeglang – Ini cerita tentang jalan-jalan. Speedometer menunjukkan 40 – 50 km per jam di jalan hotmix dan beton. Selain faktor bulak-belok, kami juga tidak sedang berbalapan. Di luar jalan bagus, kecepatan kendaraan variatif sekali. Adakalanya harus 10 km/jam, karena tanjakan/turunan yang lumayan curam, dimana jalan sangat “menyakitkan” kendaraan. Apalagi kalau feel tidak memberikan dukungan. Klop deh.
Dalam jalan-jalan ini, waktu yang dihabiskan adalah kurang lebih enam jam, sejak berangkat dari penginapan sampai kembali pulang menuju kediaman. Ada lima kecamatan yang terlewati, dan puluhan desa dilalui. Beberapa kantor desa diamati. Sedangkan kantor kecamatan, hanya dua saja yang dilalui. Apakah ada korelasi antara jalan-jalan ini dengan kantor pemerintahan? Mari kita simak dari kata-kata dan makna pembicaraan.
Jika konsisten dengan dengan angka kecepatan dan waktu yang dihabiskan, maka jarak yang dilahap selama jalan-jalan adalah 240 – 300 kilometer. Wows, excessive. Tapi kami meyakini, jalan baik dengan jalan yang tidak baik, proporsinya 30:70. Jalan yang tidak baik itu bervariasi, antara tanah merah/hitam, batu-batu besar sepanjang memandang, jalan berlobang, aspal dasar tanpa pemeliharaan, dan lain-lain yang tidak terlukiskan.
Sebagai deskripsi sederhana, dari Sodong menuju jembatan di Kampung Mengkok itu jalannya hotmix. Namun, dari jembatan itu sampai pertigaan Jiput, jalannya cukup pahit. Dari Jiput itu menuju Kadu Sekul malah surprise, beton dan aspal yang masih cukup bagus. Kemudian kami ke Lebak Galuga, kondisi jalan masih OK. Jalan dari Lebak Galuga ke perempatan Bojong Sukamanah, is OK.
Petualangan baru dimulai setelah perempatan Bojong. Ada beda signifikan, kontras sekali di perempatan. Jika lurus dan belok kanan, model jalannya tidak beda dengan arah datang. Tapi jalan ke arah kiri cukup menantang. Daerah itu seakan dianaktirikan. Bisa jadi di dalam sana, tidak ada manusia yang butuh perhatian. Jalan dulu kah? Kemudian manusia berdatangan, ataukah manusianya dahulu, kemudian jalannya diperhatikan. Wallahu a’lam.
Tujuan kami jalan-jalan adalah “melanggar” PSBB. Istilah itu kami pahami sebagai promosi, silaturahmi, berkunjung, dan berbagi. Padahal, kami hanya membawa badan, pakaian, senyuman, dan sedikit informasi. Jadilah yang kami bagikan hanya informasi disertai manisnya senyuman kami. Alhamdulillah, dengan izin Allah, tidak satupun keluarga yang ditemui berani menolak/mengusir kami. Begitulah karena sama-sama mempunyai hati.
Dalam rencana, ada empat subyek yang akan ditemui. Plus, ada seseorang yang akan menjadi guide selama perjalanan silaturahmi ini. Dialah penunjuk jalan, dia seorang berpendidikan, Strata 2 Pendidikan. Ia seorang penduduk asli menempati wilayah para warga yang akan ditemui. Jika penulis merasa kesulitan untuk menembus keramahan penduduk, maka ada Nabi Harun a.s. untuk membantu dakwah Nabi Musa a.s.
Jika bagian dari jalan-jalan ini ada silaturahmi, mau tidak mau harus ada saat untuk berhenti. Ada salam untuk pembukaan, dan mestinya ditutup dengan pamitan. Di tengah-tengahnya ada why here n how get the benefit. Di setiap rumah, ada speak dan introduksi, “Kamu siapa darimana?” Jika di setiap rumah dialokasikan selama 15 menit, maka terkumpul waktu selama 75 menit alias 1 jam 15 menit.
Saat perjalanan, kami ditemui oleh Dluhur. Of course, ada tambahan waktu lohor kurang lebih 25 menit. Waktu ini harus ditambah lagi dengan sight-seeing karena best view di perbukitan. Betapa serasinya pemandangan. Lukisan Allah untuk kecerdasan makhluk dunia. Diantara pesawahan, Allah membuat kelokan sungai sebagai pemanis pandangan. Tentu, jangan ditanya tentang manfaat dan kegunaan. Itu sudah bukan perdebatan.
Oh my God, betapa Allah sangat begitu baik kepada manusia. Alam terhampar sangat indah, gemah ripah loh jinawi. Tongkat dan batu jadi tanaman. Selain sebagai hiasan, alam ini sebagai jaminan Allah dalam rejeki seluruh makhluk-Nya. Di alam, manusia harus belajar tentang harmoni dan rantai kehidupan. Jika terus menetap di kota, tentu sulit menemukan kedamaian bersama alam. Allah pun geleng-geleng melihat pilihan aneh manusia.
Jiput adalah satu kecamatan diantara 35 kecamatan di Kabupaten Pandeglang dengan luas 53,04 km2. Jika dibandingkan dengan luas Pandeglang 2.747 km2, maka Jiput adalah 1,93%-nya Pandeglang. Melihat hamparan yang dihadirkan, kemudian dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2019 sebesar Rp215,3 miliar, maka “sia-sia”lah manusia diberikan potensi dan kecerdasan untuk serasi bersama memakmurkan alam.
Tapi tidak apa. Allah tidak menciptakan semesta dan seluruh isinya secara sia-sia. Allah selalu menyediakan jaminan kebutuhan manusia, apapun cara manusia ingin menjangkaunya. Sebagaimana lingkaran, maka ada 360 cara bagaimana manusia bisa survive. Dari angka 360 itu, ada manusia yang kerasan di level 39, ada juga manusia yang senantiasa berusaha untuk mendekati puncak kesempurnaan.
Allah sengaja membuat perbedaan. Ada tinggi bersama pendek. Ada miskin bersama kaya. Ada bodoh bersama pintar. Kalau ditetapkan seragam, hidup di dunia akan mengalami kejenuhan. Dalam aneka warna kehidupan, ada manusia yang blend menjadi hitam. Ada juga manusia yang berhasil menyingkirkan ke-Akuan. Putih bersihlah mereka sebagaimana suci saat kelahiran. Warna-warna kehidupan itu bisa diperhatikan dalam kisah berikut ini.
Di keluarga pertama, saya bertemu dengan seorang ‘penjaga’ keluarga. Tanpa mereka, dunia ini tidak akan berkembang. Penulis bertanya, “Bu maaf, barangkali tahu rumahnya si X? Oh, tuh masuk ke gang. Saya ibunya.” Penulis pun disambut dengan hangat. Ada kepala keluarga yang antusias menemani dan bercerita tentang pengalamannya di dunia pendidikan. Pantaslah, semua anak-anaknya berhasil menjadi scholar.
Salah satu dari penerus keluarga itulah yang akan menemani jalan-jalan ini. Ia baru saja membangun keluarga. Ia telah menempuh pendidikan Magister. Ia adalah seorang dosen kependidikan di kabupaten tetangga. Ia sangat menghormati orang tuanya. Ia cinta sekali dengan titipan lahan pertanian yang dimiliki keluarganya. Ia tetap istiqomah untuk antusias dan responsive dalam segala aktivitasnya.
Sebagai informasi, perjalanan ini tentang hunting KIP Kuliah. Sebuah program yang diluncurkan oleh Negara untuk mewadahi potensi generasi bangsa. Barangkali diantara se-Indonesia ada yang potensial untuk lanjut studi, tapi mereka terbatas oleh materi. Kami berdua berangkat dengan semangat untuk masa depan.
Sebagaimana dahulu penulis pernah dikecewakan oleh guru-guru yang tidak layak digugu dan tidak layak ditiru.
Setelah dirasa cukup silaturahmi di keluarga pertama, kami dilepas ayahnya, kami akan menemui keluarga kedua. Ternyata, seorang anak dari keluarga kedua ini pernah menjadi siswa didiknya. Jaraknya tidak jauh. Sudah lama menjadi tetangga. Semangat belajarnya sangat tinggi. Oleh karena itu sayang sekali kalau terhenti gara-gara keterbatasan materi. Oleh karena itu, siapa yang memperjualbelikan ilmu, mereka terlaknat sampai mati.
Di keluarga kedua, kami disambut oleh kepala keluarga. Kami bertemu dengan anak cerdas tanpa ibu. Semangatnya masih membara, terutama untuk melanjutkan studinya ke level sarjana. Sekarang, ia hidup dengan ibu kedua. Tentu tidak sedekat dengan yang mengandungnya. Tapi ibunya yang sekarang memberi dukungan, meskipun anak itu “bawaan” dari suaminya, dan bukan anak kandungnya.
Apa yang kami sampaikan terkait beasiswa KIP Kuliah, tidak serta merta bisa langsung dicerna. Ada beberapa hal yang perlu ditekankan, terutama prinsip bersabar dalam proses. Artinya, untuk mencapai tujuan itu tidak bisa hanya duduk-diam, tapi perlu berjalan. Dalam perjalanan, sangat dimungkinkan terjadi hambatan. Tapi kalau tetap semangat berjuang, kemudian dipertegas dengan do’a, maka kita akan berhasil sampai tujuan.
Sebagai trigger, kami hanya cukup membangunkan saja. Setelah terbangun, apakah ia mau tidur lagi atau mau berjalan, dia sendiri yang harus menentukan. Jika sudah bangun tapi lama sekali tak jalan, kami akan kembali lagi untuk memberi alarm sampai bersedia jalan. Itulah rumus pembangunan. Tidur ke bangun ke jalan ke lari ke terbang. Semuanya harus bergandengan tangan demi kebahagiaan di masa depan.
Keluarga ini bersedia untuk menjemput masa depan, terutama untuk kemajuan anaknya. Kami meninggalkan formulir isian, dan mereka berjanji untuk menyegerakan. Kami mendapati orang tua yang tidak membatasi rentang kemampuan anaknya. Mimpi itu tidak boleh dibunuh. Mimpi anak muda itu seharusnya dipandu untuk mendapatkan solusi. Semuanya demi kebahagiaan bersama di masa depan. Dan itu harus dijemput.
Di keluarga ketiga, kami bertemu keluarga tanpa ibu. Ada tiga perempuan tangguh, satu diantaranya sudah berstatus mahasiswa. Ketiganya berada di rumah yang sama, tapi berbeda kartu keluarga. Ada yang terdata ke neneknya, ada yang sudah berpisah kartu karena sudah berkeluarga, dan seorang lagi tidak declare kemana. Semoga ibunya mendapatkan surge karena memiliki tiga anak perempuan.
Mereka tidak berterus terang tentang ibunya. Ayahnya sudah meninggalkan mereka. Kami mendapat kesan untuk tidak bertanya tentang ibunya. Apakah di luar negeri menjadi tenaga kerja wanita, ataukah berpisah bersama keluarga barunya, atau ada trauma yang ditinggalkan kepada mereka. Bagi kami, berita itu penting tak penting, tergantung tujuan dan respon yang ingin didapatkan.
Kami disambut kakak terbesar. Ia sudah berkeluarga dengan anak dua. Sebagai terbesar, ia menjadi leader. Ia menggantikan peran ibunya sebagai pemimpin keluarga. Ia bertanggung jawab terhadap adik-adiknya, termasuk menjaga keluarga dari gangguan. Oleh karena itu, ia meneliti kami. Beberapa hal ditanyakan, dan kami sangat memaklumi. Beruntung pendamping dan ia pernah sekolah di tempat yang sama.
Setelah beberapa saat perkenalan, kami diizinkan untuk membantu mengisi beberapa kolom di formulir. Seharusnya bisa langsung dibantu ke system online. Tapi masyarakat harus sesekali didorong untuk mengisi sendiri, supaya mereka tahu betapa berharganya ilmu dan pengetahuan. Apalagi data yang harus diisikan cukup banyak. Bahkan terlalu rinci untuk sebuah bantuan. Bisa jadi, beberapa hal membuat malas untuk menjelaskan.
Di keluarga keempat, inilah yang paling layak dibantu oleh pemerintah. Dimanakah mereka berada? diantara semua. Rumah dari GRC. Luasnya tidak memadai, jika secara negara telah menentukan harus 8 m2 per setiap orang. Jumlah anggota keluarganya banyak, termasuk kakek dan neneknya. Secara kebetulan, orang yang kami Tanya di pinggir jalan adalah kakeknya. Dialah yang menjadi penunjuk jalan.
Posisi (letak) rumahnya di deretan kedua. Tanpa bertanya, rumah di depannya termasuk Keluarga Sejahtera III. Sementara keluarga keempat ini termasuk pra-Sejahtera. Warnanya dalam peta adalah merah. Seharusnya pemerintah sadar bahwa tiap hari di-alarm oleh warganya. Tanda merah adalah tanda ‘musibah’. Jika pemerintah abai, tidak hanya salah secara konstitusi, tapi secara agama telah khianat.
Kami sangat beruntung karena keluarga ini murah senyum. Rumah yang sempit itupun menjadi lega, meskipun secara angka banyak penduduknya. Itulah satu-satunya yang hakiki dari Allah, bahwa ukuran kebahagiaan itu hospitality. Pemerintah Indonesia harus banyak bersyukur karena warganya diteduhi oleh keramahan. Mereka sangat qanaah dengan kondisi yang ada. Padahal, ada banyak hak yang tidak dipenuhi oleh Negara.
Masyarakat dibiarkan bertarung bebas. Si kaya semakin merajalela, sementara si miskin “semakin” merana. Di level atas, hanya seribu keluarga yang menguasai ekonomi Indonesia. Di level bawah, sudah tak ada lagi yang bisa diperas. Di tengah-tengah malah saling menginjak dengan sesame saudara. Mana ada perenang sungai bisa mengalahkan perenang professional, kecuali atas semangat dan izin Allah.
Kami berdo’a dalam hati, semoga keluarga ini tetap diberkahi oleh Yang Kuasa. Betapapun sempitnya dunia, tidak akan berarti apa-apa kalau Allah telah melapangkan dada. Semoga ada kesadaran untuk berpendidikan. Satu-satunya jalan untuk melakukan perbaikan keadaan adalah keterdidikan. Jangan bertarung dalam kekayaan dunia, karena hanya akan menyengsarakan masyarakat pinggiran. Tapi dengan ilmu, semua dimungkinkan.
Dalam perjalanan, sambil menuju keluarga kelima, kami mengelus dada. Hanya itu yang kita bisa. Hanya Engkau Yang Serba Bisa. Oleh karena itu, kami haturkan sebanyak-banyaknya do’a, Semoga semua yang mengingat-Mu di pagi dan sore, dalam keadaan lapang maupun sempit, berbalas kebahagian yang paripurna. Hal ini akan menjadi modal untuk menyelesaikan tugas dunia.
Di keluarga kelima, ada sedikit enggan untuk masuk. Hal itu karena penampilan rumahnya yang tidak masuk dalam bayangan. Tentu bukan karena pembedaan, tapi tentang ukuran yang sudah dipatok (setting) sejak start di keberangkatan. Namun, karena sudah berada di depan rumahnya, silaturahmi harus tetap jalan. Toh ini hanya sebuah usaha dan permulaan. Sisanya harus diserahkan kepada Yang Memiliki Keputusan.
Hidup ini harus dinikmati dengan kepasrahan.
Jika usaha sudah dilakukan, urusan keberhasilan jangan ditetapkan. Kita minta Allah untuk intervensi sesuai kebutuhan. Manusia jangan hidup berdasarkan keinginan, karena raga dan jiwa telah disempurnakan. Keinginan itu belum tentu kebutuhan. Sementara kebutuhan yang sebenarnya, jarang manusia yang menyadarinya.
Jika demikian yang terjadi, manusia akan hidup dalam tekanan. Padahal, perintah Allah adalah mencari ketenangan dalam kedamaian. Jika hidup tertekan, apakah mungkin terlahir senyuman? Jangan-jangan, siksaan itu sudah dirasakan saat sekarang. Siapa saja yang menyalahi kodrat, bersiap-siap nanti digugat. Wahai para penjabat, seberapa teguh melaksanakan amanat?
Wallahu a’lam
Oleh : Agus Nurcholis Saleh (2020).