Sejauh 150.000 km

sejauh 150 km

Modernis.co, Salatiga – “Sampai sejauh 150.000 km perjalanan jangan biarkan ilalang yang tinggi menutupi bunga-bunga indah dalam kebun hidupmu. Karena kau tak akan pernah tau kapan langkahmu akan terhenti. Hidup adalah kesempatan yang berharga bagimu,” ucap seorang wanita berusia 59 tahun itu dengan suara pelan.

Dua puluh detik yang begitu singkat tetapi menjadi momen yang tak akan kulupa. Kata demi kata yang terucap dari mulut wanita itu mendorong aku untuk terus bergerak. Bergerak melewati 150.000 km perjalanan hidup. Angka 150.000 km bukan angka kecil. Itu artinya perjalanan hidupku masih panjang.

Berbagai jalan pasti akan aku lewati. Dibalik derita pasti ada bahagia. Dibalik kurang pasti ada pelengkap. Dibalik tangis pasti ada tawa.
Siang itu terik mentari terasa menyengat jagat. Aku dan wanita itu duduk bersebelahan di salah satu bangku Taman Tingkir kota Salatiga.

Angin berhembus. Dedaunan yang ada di pohon bergerak oleh tiupan angin. Dan rambutku pun ikut bergerak sesekali. Saat itu aku begitu menikmati suasana siang. Siang yang membuat hatiku terasa damai. Damai karena bisa merasakan kasih seorang wanita yang sudah kuanggap ibu sendiri.

Wanita itu tak lain adalah pengganti Ibuku yang kerap kupanggil “Bunda Ainur”.

Empat tahun lamanya aku merasakan kebersamaan dengan Bunda Ainur di kota Salatiga. Sejak menempuh pendidikan ke tingkat Perguruan Tinggi di Salatiga aku menemukan sosok ibu yang hebat. Hebat bukan karena sudah sekolah tinggi. Tapi hebat karena tetap kuat dan tegar menghadapi liku-liku kehidupan ini.

Meski hanya merasakan pendidikan sampai tingkat taman kanak-kanak Bunda Ainur selalu menunjukan karakter yang baik. Aku sungguh beruntung bisa bertemu dengan sosok ibu yang baik.

Untuk pertama kalinya aku bertemu dengannya di Komunitas sosial “New Hope” di Salatiga. Lewat pertemuanku di Komunitas “New Hope” inilah tali persaudaraan kami terjalin.

Kehidupan sejak kecil memang tak pernah melihat Ibu dan Bapak. Kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan Bus . Hidup dirawat oleh nenek dan tinggal di rumah sederhana yang terbuat dari tembok papan kayu, membentuk diriku berproses untuk hidup mandiri.

Saat usiaku menginjak 7 tahun sudah terbiasa bekerja. Membantu berjualan pukis nenek di pasar itulah yang aku alami di usia yang tergolong masih belia.

Kurang kasih sayang orang tua membuat aku merasa berbeda dengan teman –teman yang lain. Aku sering minder dalam pergaulan. Namun kini , aku menemukan sosok ibu yang diidamkan. Aku senang bisa selalu dekat dengan Bunda Ainur.

Beliau bagaikan bunga gardenia. Hidupnya yang selalu memancarkan kemurnian, kejujuran dan kebaikan.

Bunda Ainur memang bukan seorang ibu yang berpendidikan tinggi. Masa kecilnya tak sempat mengenyam bangku SD. Hal ini dikarenakan keadaan orang tuanya yang hanya seorang buruh bangunan. Tak mampu membiayai pendidikan Bunda Ainur.

Meski tak sempat sekolah tinggi namun Bunda Ainur memiliki pribadi yang baik terhadap semua orang. Pernah aku marah pada seseorang teman kuliah. Karena aku tak punya banyak teman, beliau selalu ajarkanku untuk selalu bersabar.

Sebagai seorang Ibu dari tiga orang anak tanpa suami, Bunda Ainur tak pernah lelah berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Meski harus hadapi kenyataan harus bercerai karena suami selingkuh, Bunda Ainur tak berlarut dalam kesedihan. Ia tetap semangat berjuang keras untuk anak-anaknya agar nasibnya tak sama dengannya.

Dengan penuh semangat ia bekerja keras. Ia tak pernah malu dengan pekerjaan yang dilakukan. Meski hanya sebagai seorang asisten rumah tangga orang Belanda yang tinggal di Salatiga, ia tak pernah mengeluh dengan keadaan. Apapun selalu ia syukuri.

Empat jam sudah aku duduk di bangku Taman Tingkir Salatiga. Menikmati waktu bersama dengan Bunda Ainur.Saat ini adalah waktu terakhir aku bersamanya. Karena sebentar lagi aku akan meninggalkan Salatiga. Aku akan segera pergi ke Tangerang. Di sana aku akan bekerja sebagai guru BK di salah satu sekolah swasta terkenal di Tangerang.

“Bunda Ainur saat-saat ini adalah waktu terakhirku bersamamu. Aku sebetulnya masih ingin di Salatiga. Tapi waktunya sudah selesai Bunda. Perjuanganku menimba ilmu pendidikan di Fakultas Psikologi UKSW sudah selesai, ucapku pada wanita yang selalu tegar hadapi apapun,”

“Perjuanganmu masih panjang Ina . Masih banyak kilometer-kilometer perjalanan hidupmu harus kau tempuh. Jangan menyerah. Gapai mimpi-mimpimu,” ucap Bunda Ainur.

“Siap Bunda Ainur. Aku akan terus berjuang,”. Sampai pada titik ini aku baru bisa melepaskan kebencian pada kemiskinan. Hidup dalam kebencian hanya akan membuang waktu. Dan aku akan kehilangan banyak kesempatan.

Memang aku tak akan pernah bisa memilih dari keluarga seperti apa. Tapi aku bisa memilih jalan hidupku yang terbaik. Terus bergerak maju. Tidak memandang ke belakang. Dan selalu berfikir positif.

Saat ini adalah momen yang berbahagia dalam hidupku. Dan Bunda Ainur yang hanya ikut merasakan kebahagiaanku. Dan titik ini bukanlah kilometer terakhir dalam hidupku. Masih ada kilometer yang masih kutempuh. Perjuanganku masih panjang.

Oleh: Devita Andriyani

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment