Kontroversi Sufisme

kontroversi sufisme

Modernis.co, Malang – Tasawuf (Arab: تصوف, ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Biasa juga disebut sebagai cara atau jalan menyucikan diri dalam mendekat kepada Allah. (Annemarie Schimmel. Pustaka Firdaus. 2009. hal 3).

Cara atau jalan penyucian tersebut di kelompokkan menjadi dua oleh Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam bukunya Fifi Ma Fihi Rumi mengatakan, yang pertama adalah, membuang segala keperluan dunia dan fokus beribadah kepada Allah. Kedua, dalam beribadah kepada Allah, mengikutsertakan semua urusan dunia untuk sama-sama menuju-Nya.

Sementara secara umum istilah “sufi” dikatakan berasal dari kata suf (Arab: صوف), yang artinya kain wol, merujuk kepada jubah atau khirqah yang biasa dikenakan para Sufi pada awal abad ke 8. Sufi biasa dikatakan orang yang menempuh jalan sufisme atau orang yang mendalami ilmu Tasawuf. (Wikipedia)

Sufisme atau Tasawuf pada awal perkembangannya melahirkan tradisi mistisisme Islam berupa menjauhi hal duniawi (zuhud) sebagai senjata melawan gaya hidup yang materialistis dan hedonistik. Kelahiran Sufisme atau Tasawuf ialah untuk menentang kehidupan penuh keglamoran yang di praktikkan para pemimpin dan golongan Eli.

Gaya hidup ini meresahkan ulama-ulama teolog pada kebanyakan umat Islam yang mulai meninggalkan syariat. Sehingga diusunglah oleh ulama-ukama teolog jalan mistis yang fokus kajiannya pada Al-Qur’an dan Al-Sunah.

Dari pemahaman mendalam terhadap kajian Al-Qur’an dan Al-Sunah, kemudian di terapkan dengan mengorbankan harta untuk memuliakan anak yatim, memelihara hidup golongan peminta serta tidak segan untuk habis-habisan berdedikasi demi kemaslahatan umat yang kemudian menjadikan para sufi atau orang yang mendalami tasawuf berpaling dari kesenangan dan kegemilangan dunia.

Seiring berjalannya waktu, dalam pengertian masyarakat awam yang dominan terhadap sufisme atau Tasawuf malah melenceng. Banyak tokoh Sufi atau ahli tasawuf yang oleh masyarakat di anggap sebagai orang yang luluh dalam kecintaan kepada Allah (Majdhub) dan Allah mencintai mereka (dicintai dalam artian mereka berkehendak sebagaiaman kehendak Allah dan sebaliknya).

Sehingga dari anggapan bahwa Allah mencintai mereka (kaum Sufi) yang semakin besar, masyarakat tak karuan mengagungkan mereka dan masyarakat meminta rahmat tidak lagi secara langsung kepada Allah, tapi bisa melalui perantara para Sufi.

Kepada para Sufi masyarakat bisa meminta pertolongan dari berbagai kemelaratan dan ketakutan, meminta harta dan menganggap mereka sebagai wakil yang bisa menyampaikan semua harapannya secara langsung kepada Allah.

Juga, karena anggapan bahwa seorang Sufi berkedudukan sangat dekat dengan Allah, masyarakat menjadikan para Sufi yang walaupun sudah meninggal, makamnya sering diziarahi guna dimintai syafa’at. Seakan-akan meraka menganggap Tuhan menyerupai Raja dunia zalim yang untuk memperoleh belas-kasihannya harus melalui para Sufi yang ada di sekitarnya.

Tidak heran kalau pada abad kesembilanbelas pengaruh sufisme seperti yang masuk di wilayah Arabiah, dengan keras ditantang oleh Muhammad. Abdul Al-Wahab (1793-1787) dan dikatakan sebagai bid’ah atau kesesatan karena tidak bersumber pada ajaran Islam yang asli (Prof. Dr. Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, jakarta, 1992, hal. 24)

Sufi Abangan

Sedikit kesamaan interpretasi, di Indonesia sekarang Sufi atau tasawuf dimaknai sebagai jalan membuang semua hasrat duniawi demi penyatuan dengan Tuhan. Sehingga tersusunnya Maqomat (tingkatan/tahap kedekatan/penyatuan). Maqomat yang disusun secara teoretis di garis besarkan pada empat tingkat di antaranya Syariat, tarekat, hakikat dan makrifat.

Dalam mencapai makam tertinggi upaya yang dilakukan para Sufi (abangan) suka menyendiri di belantara, padang gurun dan gua-gua. Mereka menjauhi kehidupan sosial, menghabiskan waktu hingga bertahun-tahun dalam penyendirian yang hanya Allah yang tau (Wallahu a’lam)

Entah bagaimana dan seperti apa proses penerapan syariat dalam penyendirian Sufi abangan tersebut. Sehingga tidak sedikit para Sufi abangan ini kembali ke masyarakat asalnya dengan pengakuan bahwa mereka sudah mengenal Tuhan, sudah menyatu dengan Tuhan dan sudah mencapai maqom makrifat yang merupakan puncak pencarian.

Pada maqom tertinggi berupa Makrifat ini banyak yang mengaku Syariat tidak berlaku lagi kepadanya dengan klaim bahwa ke-Aku-annya adalah Tuhan. Cara ini tergolong ekstrem dan sering mendapatkan penolakan dari masyarakat karena adanya ungkapan Maha Suci aku (Subhani) seperti yang diungkapkan oleh Al-Halaj pada masa-masa awal kemunculan tasawuf.

Sufi sejati

Berlainan dengan Sufi abangan, Sufi sejati adalah orang-orang yang erat berbaur dengan masyarakat. Kebanyakan diantara menjadi guru-guru agama, memecahkan masalah-masalah sosial dan memberikan teladan yang baik terhadap kehidupan Umat dan masyarakat dimanapun mereka berada.

Sufi sejati adalah mereka yang dengan segenap kemampuan dan harta yang ada pada dirinya dikorbankan demi kepentingan umat, masyarakat dan demi kepentingan agama. Mereka tidak mengasingkan diri, tidak pula mencari Tuhan dalam sunyi. Mereka mencari Tuhan disetiap langkah yang mereka lalui, baik dengan-dari kerumunan masyarakat atau keluhan orang-orang yang merintih lapar.

Hal yang ini selaras dengan apa yang diungkapakan oleh Abu Sa’id Ibn Abi al-Khair yang dikutip oleh Sayyed Hossein Nasr (lih: warisan Sufi 1. 2002. Hal. 11). Yang mengatakan, pelayanan kepada sesama adalah seluruh peribadatan. Peribadatan terhadap Tuhan tidak hanya dilakukan dengan manik-manik tasbih, jubah kesalehan atau sajadah semata.

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan fikiran-fikiran anda via website kami!

Leave a Comment