Bajingan Bertubuh Manusia

adi munazir pengacara

Modernis.co, Malang – Belum sembuh luka bangsa soal OTT KPK terhadap salah satu petinggi partai berbasis Islam di Indonesia. Kini petinggi salah satu perusahaan BUMN juga diseret KPK untuk mempertanggungjawabkan perbuatan hina yang telah dilakukan. Kasus demi kasus korupsi benar-benar menjadi kenyataan yang menyakitkan bagi sejarah perjalanan bangsa besar bernama Indonesia ini.

Sejarah merekam dengan sangat baik bahwa koruptor adalah orang-orang yang memiliki figuritas dan pengaruh luar biasa dalam strata sosial. Mereka adalah sumber petaka yang memotong perjalanan distribusi kesejahteraan kepada masyarakat macet dan bahkan tidak tersampaikan. Pada titik ini saya berpendapat bahwa korupsi bukan soal kuantitas uang yang disikat akan tetapi lebih kepada busuknya mentalitas, gersangnya melihat masa depan dan telah gagal melihat Tuhan dalam sebuah amanat yang diberikan.

Suka atau tidak suka, makian dan hinaan yang meluap dari warga netizen kepada koruptor adalah sah dan wajar. Kemarahan itu adalah bagian dari ekspresi hukuman sosial yang bekerja secara alami kepada siapapun yang coba-coba berselingkuh dengan korupsi. Perselingkuhan itu melahirkan generasi berikutnya yang menetek dengan manja kepada tubuh-tubuh yang dialiri oleh fulus-fulus dari hasil yang haram.

Jika kita amati dalam-dalam, koruptor adalah bagian dari kelas menengah keatas yang berpunya akses terhadap segala sesuatu. Mereka juga merupakan kelompok orang-orang terdidik (educated people) dengan pengetahuan yang cukup. Namun kemudahan dan ilmu yang dimiliki disalahgunakan dengan menjadi bajingan yang melompat membawa noda hitam kerusakan tanpa mengira bahwa ada mata KPK yang melotot tajam.

Dalam satu waktu, saya pernah menemui dan berbicara dengan calon tersangka korupsi yang kini sudah meringkih dan menyesal dalam penantiaan putusan persidangan tipikor. Pada saat sebelum dia disurati KPK, ucapannya cukup gagah mengarahkan segala pertanyaan seputar keterkaitannya ke sudut yang tak bersalah. Dia berkali-kali berusaha menjelaskan diri dalam keadaan baik-baik saja serta memberi kesan selalu tampil bersih dari noda-noda korupsi yang telah dilakukan dengan kewarasan fikir.

Disisi yang lain, kita juga sering nyeri dan jengkel seketika melihat realitas lapangan dimana para bajingan koruptor itu masih saja membela diri di depan mata kamera para awal media. Tidak jarang sekumpulan kaum bedebah itu berani mempermainkan kemarahan publik dengan senyum pepsodennya. Seharusnya mereka menjaga muka mereka yang remuk itu dengan tidak lagi memberi senyum kepada para pewarta atas hinanya perbuatan yang telah dilakukan.

Pengalaman itu memberi saya gambaran bahwa para koruptor cukup lihai dalam bersilat lidah mereka bisa memoles mukanya untuk menyamarkan kebusukan dari pandangan orang-orang luar. Koruptor yang bajingan itu ternyata jumlahnya banyak dan mereka berkelompok membentuk jama’atul firon (gerombolan tikus) yang terkoneksi satu sama lain menghabiskan uang negara untuk membangun kepentingan dan pengaruhnya secara personal maupun komunal.

Jika tidak segera dikikis habis mereka akan bertumbuh menjadi segolongan kaum yang merusak tatanan good governance (pemerintahan yang baik). Maka diperlukan cara revolusioner untuk membuat mereka jera, maka saya mengusulkan agar hakim memainkan fungsinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi untuk memainkan palu thornya membumihanguskan koruptor dengan memvonis mati para koruptor.

Dalam konteks negara hukum para hakim bisa saja memainkan langkah progresifnya sebagai bagian dari independensi hakim tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Hakim yang berani memainkan ultra petita (putusan yang lebih dari tuntutan) atau bahkan memainkan refomatio in peius (putusan yang merugikan) sebagai contoh konkrit kepada koruptor dan atau calon koruptor yang masih belum terdeteksi oleh KPK bahwa kejahatan bangsat itu tidak layak lagi untuk dicoba-coba.

Memang tak mudah bagi hakim untuk mengambil langkah progresif dalam sebuah putusan kematian. Fikiran hakim masih sangat terpaut dengan aturan yang ada dengan dominasi hukum civil law yang normatif dan kaku memainkan vonis dalam sebuah putusan. Namun segala rintangan tersebut tampaknya bukan alasan bagi hakim untuk melakukan langkah progresif keluar dari pasal-pasal normatif dalam menghentikan badai korupsi yang mengoyak kepercayan publik.

Jika kita telaah lebih jauh, hukuman mati diatur dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan,” demikian bunyi Pasal 2 ayat 2.

Frasa ‘keadaan tertentu’ harus diterjemahkan secara progresif oleh para hakim dengan mendasarkan atas masifnya kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Mengingat sepanjang undang-undang itu lahir belum ada koruptor yang dimatikan nafasnya dalam putusan pengadilan di Indonesia.

Vonis mati bagi koruptor adalah untuk menukar rasa sakit masyarakat yang selalu dijadikan objek para bedebah (koruptor) untuk menunjukkan kepada khalayak dengan ucapan sakti bahwa kami bekerja sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Korupsi adalah arus besar masalah bangsa, satu-satunya lembaga negara yang sakti dan bebas kepentingan (non-politis) menghadapi kejahatan besar itu adalah lembaga kehakiman. Jika hakim berhasil mencontohkan hukuman mati kepada para koruptor maka hakim telah berhasil menyelamatkan rakyat Indonesia dari tipu-tipu gerombolan bajingan yang masih bertubuh manusia itu.

Oleh : Adi Munazir, SH (Konsultan Hukum  SLF Malang dan Pegiat Peace Literacy Network/PeaceLink)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan fikiran-fikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment