Yang Terbuang dari Negara Mayoritas Muslim Terbesar

negara muslim

“Allah bersumpah demi Pena dan segala yang dihasilkan dari Pena, namun sedikit sekali orang yang menulis dan membaca.” – Y.A.

Tuhan, jika aku dapat memilih, bisakah aku memilih terlahir dalam keluarga seperti apa, terlahir di negara mana dan dalam lingkungan seperti apa? Aku ingin sekali seperti mereka. Terlahir dalam rahim seorang ibu dan keluarga yang hidup tentram dalam lingkungan yang dapat menerima keberadaan mereka.

Namaku Bela. Aku adalah gadis berusia 18 tahun yang ditakdirkan terlahir dalam sebuah keluarga yang menganut keyakinan minoritas di Indonesia. Namun, aku tak pernah menyesal sama sekali. Justru aku sangat bersyukur kepada Tuhan, bahwa aku berbeda. Tuhan telah membukakan mataku bahwa perbedaanlah yang menjadikan manusia saling memahami.

Sayang sekali. Tanah yang menjadi tempatku hadir di dunia ini, bukanlah tanah yang dapat dengan mudah menerima perbedaan-perbedaan itu. Aku hanyalah salah satu dari mereka yang tertolak, terbuang, bahkan terasingkan dari tanah kelahirannya sendiri. Tanah yang katanya menjunjung tinggi toleransi dan keberagamaan. Namun, apabila ada suatu keyakinan yang tak sesuai dengan keyakinan yang ada, maka akan dianggap salah dan sesat.

Hidup sebagai kalangan minoritas bukanlah sebuah perjalanan yang mulus. Namun ayah dan ibuku selalu menguatkanku. Dahulu, sempat aku berkhayal, bagaimana jadinya jika aku menganut aliran yang diterima oleh agama-agama resmi itu. Namun seiring berjalannya waktu aku semakin mengerti. Bahwa Tuhan sangat menyayangiku dan selalu memberi hikmah dalam segala rencana-Nya.

Petang melukiskan malam. Aku memandangi langit sambil duduk santai di teras rumah seorang diri. Bintang-bintang berkelip di langit seakan sedang menghiburku. Mungkin bintang-bintang jauh lebih mengerti perasaanku daripada orang-orang itu. Setelah cukup puas aku masuk ke dalam rumah. Kutengok ayah dan ibu sudah tertidur pulas di kamar. Aku segera melangkahkan kaki masuk ke kamar dan menarik selimut, mencoba untuk terpejam. Namun, entah mengapa aku merasakan sesuatu yang janggal, sesuatu yang membuatku masih terjaga malam ini. Ternyata dugaanku tidak salah, malapetaka telah datang di antara sunyi malam.

Aku tidak tahu pukul berapa mataku terpejam, aku seperti mendengar suara dari kejauhan. Suatu suara yang semakin lama terdengar sangat jelas. Suara-suara cacian, makian dan teriakan mulai merusak telingaku. Aku sangat sadar jika aku tidak sedang bermimpi meskipun mataku terpejam. Saat aku membuka mata, aku melihat ayah ibu sudah terbangun, datang menghampiriku. Wajah mereka terlihat sangat panik. Sepertinya otakku sudah dapat mencerna apa yang sedang terjadi.

“Apa yang harus kita lakukan? Mereka mengepung kita tengah malam begini,” tanya ibu. “Kita temui saja mereka, biar dapat kita selesaikan baik-baik. Kita tanya apa mau mereka,” sahut ayah. Aku hanya mengangguk mengikuti di belakang punggungnya. Ibu menggenggam tanganku sambil terus mengucap doa. Tangannya sangat dingin dan terasa sedikit bergetar.

Setelah keluar dari rumah, kami disambut oleh puluhan orang dengan wajah yang sama sekali tak ramah. Mataku tertuju pada apa yang ada di tangan mereka. Beberapa ada yang membawa potongan bambu berukuran kurang lebih satu meter, ada yang membawa obor dan beberapa lagi menggenggam batu berukuran besar. Salah satu dari mereka memaksa kami meninggalkan desa. “Kami minta malam ini kalian angkat kaki dari kampung ini. Jika tidak mau, kami akan usir secara paksa!”.

Kami bergegas mengemasi barang dan angkat kaki dari rumah kecil kami. Sebenarnya tidak hanya kami yang mengalami pengusiran, tetapi ada sepuluh keluarga yang tinggal di sekitar rumah. Kami dipaksa angkat kaki dari kampung halaman. Berselang beberapa langkah dari rumah, warga dengan cepat merobohkan rumah kami dengan alat-alat yang dibawa. Kemudian membakar hangus puing-puing rumah yang sudah runtuh. Sepuluh rumah dan sebuah masjid telah hangus dan rata dengan tanah.

Sebagai pemipin dalam golongan kami, ayah berusaha untuk berdiskusi dan menengangkan warga yang marah. Dengan berat hati ayah mengiyakan permintaan warga untuk meninggalkan kampung karena melihat kondisi kami yang sudah kalah jumlah dengan massa. Terlebih ayah tidak ingin ada yang terluka dalam pengusiran ini. Ayah memerintahkan anggota golongan untuk berkumpul dan bersiap-siap pergi dari kampung.

Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar marah. Hingga air mata tanpa sadar mengalir deras dari bola mataku. Ibu terlihat sangat terpukul dan masih belum bisa menerima apa yang baru saja ia lihat. Ayah tetap terlihat tegar, mungkin untuk tetap menguatkan kami. Selama ini kami sudah cukup bersabar, diam dan terus diam menerima cacian yang tidak ada henti-hentinya. Oh Tuhan, cobaan apa lagi yang harus kami terima? Sampai kapan semua ini akan berakir?

Setelah berjalan kurang lebih satu jam dari kampung halaman, kami tiba di kampung sebelah.Sejauh mata memandang kampung ini terlihat begitu lengang dengan rumah berjajar rapi dikanan kiri jalan. Sepertinya kondisi ini cukup aman untuk berisitirahat sejenak. Kami pun belum memiliki tujuan di mana.kami akan menginap untuk sementara waktu. Ayah menyarankan agar seluruh rombongan beristirahat di sebuah pos kamling terdekat. Melihat dalam rombongan kami terdapat anak-anak yang sudah terlihat sangat kelelahan.

Tak berselang lama, ada seseorang pria tua mendekati kami. Ia mengenakan kaos putih berlengan pendek dan celana hitam panjang dengan sarung yang ia kalungkan di lehernya.Wajah keriputnya tersenyum menyapa kami. Setelah menanyakan asal muasal kami, ayah menjelaskan semua yang terjadi malam tadi. “Aku memiliki rumah kosong dekat sini, tidak terlalu besar, kalian bisa istirahat di sana beberapa hari,” kata pria itu. Tanpa berpikir panjang ayah dan warga mengiyakan tawaran tersebut.

Langkah kaki kami menyusuri jalan setapak menuju area persawahan. Terdengar suara kodok dan jangkrik saling bersahutan. Setibanya di rumah, pria.tua itu mempersilahkan kami masuk. Kami semua duduk di tikar yang cukup luas. Rumah ini berdindingkan anyaman bambu dan berlantaikan tanah dengan ukuranya kurang lebih 5×10 meter. Tidak banyak ruangan disini, hanya dua buah bilik serta satu kamar mandi.

Mungkin memang dibuat untuk tempat beristirahat para petani setelah bekerja di sawah serta untuk menyimpan hasil panen sementara. Rumah ini memang tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung kami. Setelah mengucapkan terima kasih pada pria itu, kami beristirahat.

Keesokan harinya pria itu datang kembali, ia membawakan beberapa makanan, ada singkong, ubi dan talas-talasan yang sudah di rebus dan 2 buah teko berisikan teh hangat. Aroma dari makanan tersebut membuat kami terbangun, mungkin karena perut kami yang begitu kelaparan karena sepanjang malam berjalan cukup jauh. Dengan bergegas tanganku meraih sebuah ubi yang masih panas. Terlihat sekali asap masih mengepul dari ubi itu. dengan lahap aku memakannya hingga habis.

Tiba-tiba kami mendengar sekumpulan orang mendekat, firasatku tiba-tiba menjadi tak enak. Mereka datang secara tidak ramah. Beberapa buah batu besar dilemparkan ke arah rumah. Kami saling berlindung. Pria tua itu bergegas keluar dari dalam rumah, entah apa yang mereka bicarakan tiba-tiba kami dipaksa keluar dari dalam rumah. Saat kami bergegas keluar, tanpa basa-basi sebuah batu besar dilemparkan ke arah kami.

Ayah berusaha melindungi, namun yang terjadi sungguh menyedihkan. Batu itu mengenai kepala ayah hingga terjatuh dan bersimbah darah. Aku langsung berlari kearah ayah dan menangis sekencang-kencangnya, “Tolong! Tolong ayah saya”, teriakku. Aku berusaha menutup luka di kepala ayah dengan tangan dan beberapa orang membantu membawa ayah ke puskesmas terdekat.

Tidak cukup sampai di situ, rumah yang kami tempati pun di bakar. Entah darimana mereka tahu keberadaan kami, sudah terlihat jelas betapa mereka tidak menerima kami di kampung ini. “Jadi, benar kalian aliran sesat yang tinggal di kampung sebelah?”, ucap salah seorang warga. “Jangan bawa aliran sesat ke kampung kami! pergi sana!” ucap warga yang lain. Mereka mengusir kami dan mengancam akan membunuh kami apabila tidak segera pergi.

“Kami tak segan-segan membunuh kalian jika tidak segera angkat kaki, cepat pergi dari sini” tambahnya. Pria tua tidak bisa melakukan apa-apa, ia hanya bisa membiarkan kami pergi tanpa mengatakan sepatah kata. Dari raut wajahnya, ia tampak iba pada kami, sepertinya ia takut jika warga semakin menjadi-jadi

Entah kemana lagi kami harus pergi, kami terus berjalan dari kampung ke kampung. Berharap ada salah satu kampung yang bisa menerima kami. kabar terakhir yang ku dengar dari anggota kami, ayah sudah meninggal dunia karena tak segera di tangani. Tak satupun puskesmas maupun rumah sakit yang menerima pasien dari golongan kami. Ayah telah dimakamkan di sebuah wilayah terpencil di mana tidak seorangpun tahu identitas ayah.

Selepas kepergian ayah,

Tindakan diskriminasif terhadap golongan agama tertentu yang sedang ku alami hanyalah sebagian contoh kecil yang terjadi di negeri ini. Masih banyak kekerasan-kekerasan  yang dialami oleh para golongan minoritas yang bahkan telah menyebabkan pertumpahan darah. Di negeri yang katanya menjunjung tinggi toleransi ini, suatu kemanusiaan telah dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan agama mayoritas yang merasa paling benar.

Bukankankah hanya Tuhan Yang Maha Benar yang berhak menghakimi? Bukankan setiap agama telah mengajarkan kita untuk hidup rukun dan tidak mengusik agama lain? Bukankah setiap manusia memiliki hak untuk menganut agama yang ia yakini? Aku hanyalah segolongan umat muslim, yang terbuang dari negera mayoritas muslim terbesar di dunia ini.

*Oleh : Zahra Maghfirotul Haq (Ketua bidang Keilmuan periode 2018 – 2019 IMM Revivalis UIN Malang)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan fikiran-fikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment